IV

323 43 4
                                    

Terkadang api amarah dapat membuat segalanya menjadi lebih mudah, bahkan bisa membuatmu kebal dari rasa sakit di sekujur tubuh karena luka di dalam hatimu terasa jauh lebih pedih. Kesedihan, kekecewaan, kecemasan dan kebingungan semuanya berpadu di dalam api tersebut.

Lalu semuanya terpulang kepada dirimu sendiri - berani memainkannya atau memilih untuk memadamkannya.

Selama 20 tahun aku bekerja sebagai (pembantu) dewa kematian, jamak kusaksikan manusia-manusia yang pergi akibat kemurkaan. Mereka lenyap di Gerbang Akhir dengan dendam yang masih tersisa, padahal, menurutku, mereka seharusnya bisa pergi dengan lebih baik. 

Gaok gagak mengagetkanku dan hampir membuatku terjatuh dari balkon sebuah apartemen. Ketika kupandangi langit kelam untuk menemukan sumber suara, aku melihat seekor gagak terbang mengitari bangunan apartemen sambil sesekali bersuara. Sepertinya itu burung gagak peliharaan Arm karena di lehernya tergantung tali emas tipis - tali yang sama yang bisa kau temukan di pergelangan tangan majikannya. 

Aneh. Tidak biasanya seekor burung gagak menyertai tugasku, terlebih hewan peliharaan Arm yang jarang ia keluarkan dari kandang. 

Atau mungkin Arm menyuruh peliharaannya untuk menilai kinerjaku di lapangan?

Keresahan menjalar di hatiku. Kumohon, pintaku dalam hati, siapapun boleh menilaiku asal jangan Arm. Dia terlalu bingas dan dingin dalam menilai seseorang.

Aku hendak menghubungi Godji saat terdengar suara barang jatuh dari dalam apartemen. 

Kuhela napas panjang. Saatnya bekerja. 

Sambil mengecek berkas di tanganku, kumelayang memasukki ruang tengah yang didominasi warna biru, dari sofa hingga bingkai-bingkai foto yang tergantung di salah satu dinding. Di foto tersebut nampak sepasang suami istri dengan dua orang perempuan yang kuyakini adalah buah hati mereka.

Yup, masih sesuai dengan berkas.

Sayup-sayup terdengar rintihan pilu perempuan dari dalam sebuah kamar yang menjadi tujuanku sesungguhnya. 

Berbeda dengan ruang tengah yang tertata rapi, kamar yang kumasukki terlihat berantakkan; Seprai biru bermotif bunga-bunga kamomil terpisah dari kasurnya, buku-buku berceceran di berbagai titik, lampu meja jatuh dan pecah, pakaian-pakaian bertebaran di seluruh penjuru, terutama di depan lemari kayu. Bias sinar bulan dan lampu jalanan dari kaca jendela menjadi penerangan tunggal di ruangan ini.

Di tengah kekacauan itu, sesosok perempuan yang hampir transparan duduk mengesak di atas kasur. 

"Hai," sapaku, ramah seperti biasanya. "Sudah waktunya."

Perempuan itu berhenti menangis, lalu menatapku dengan matanya yang sembap dan merah, meski tidak ada sisa-sisa tetesan air mata di keduanya. "Waktunya?"

"Iya, waktunya kau pergi," jawabku, tetap dengan senyuman di bibir.

"Kau siapa? Apa kau utusan dari neraka?" tanyanya dengan nada menuduh sambil perlahan menjauh dariku.

"Eh, bukan... aku hanya (pembantu) dewa kematian."

"Dan kau yang akan mengantarku ke neraka?"

"Hmm..." gumamku. "Bukan, aku hanya mengantarmu ke Gerbang Akhir."

"Apa Gerbang Akhir itu pintu masuk ke neraka?"

Baru kali ini aku bertemu manusia yang terlalu banyak bertanya. 

"Bukan, Gerbang Akhir adalah... Gerbang Akhir."

Perempuan itu bersedekap, lalu melayang ke arahku. "Jadi, apa tugasmu di sini?"

Eternity | a Tay New storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang