XVIII

100 8 3
                                    

Tetesan-tetesan air di permukaan gelas mengalir, menggenangi meja kayu. Terang saja, gelas berisi cairan berwarna kuning mencolok dan es batu itu tidak berpindah sedikit pun sejak setengah jam yang lalu. 

Di gelas tersebut, tampak pantulan wajahku yang lesu, serta Singto dan Krist yang menatapku.

"Kau sebingung itu ya, New?" tanya Singto, sorot matanya memperlihatkan rasa prihatin (atau mungkin kasihan). 

Aku mengangguk. Aku bahkan tidak tahu apa yang aku tidak ketahui. Aku juga kesulitan mendeskripsikan perasaanku ketika menemui Singto.

"Minumlah dulu, mungkin kau akan merasa baik setelahnya," kata temanku seraya menggeser gelas tadi ke arahku, meninggalkan jejak berair sepanjang beberapa senti.

Aku merengut mendengarnya. "Aku tidak tahu mengapa mereka berpikir aku menyukai saudara mereka sendiri. Apa tindakanku selama ini menyiratkan demikian?"

Singto melirik Krist yang juga duduk di hadapanku. 

"Kau pasti lapar, New, aku buatkan makanan ya," ujar Krist, lalu melangkah ke dapur sebelum aku mengucapkan apapun (dan sebelum perutku meraung-raung). 

Usai kepergian Krist, Singto mendekatkan wajahnya ke arahku. "Apa kau senang menghabiskan waktu bersama Tay?"

"Hmm..." gumamku, setelah meminum cairan kuning mencolok yang Krist sebut sebagai jus jeruk itu. Ergh - rasanya aneh, padahal dia bilang manis dan enak. 

"Aku... jadi tahu banyak hal setelah menghabiskan waktu dengan Tay," jelasku, hati-hati. "Aku jadi tahu bahwa perasaan manusia begitu rumit, tidak bisa sesederhana sedih dan senang. Aku jadi mengerti bahwa hubungan antara adik dan kakak tidak selamanya mudah, meski kalian berada di keluarga yang sama sejak kecil.

"Tay itu menyebalkan, dia suka membuatku jengkel dengan sikapnya yang acuh tak acuh. Dia juga kasar dan sering memarahiku," tuturku, lalu tersenyum karena pikiranku mengulang momen-momen yang kami habiskan bersama. "Tapi dia juga baik, dia memasak sesuatu ketika aku lapar meski rasanya tidak enak, dia juga membaca semua buku yang aku pinjam dari perpustakaan. Dulu dia sering memarahiku karena mengambil camilan kesukaannya di kulkas karena aku lapar, tapi akhir-akhir ini ia meletakkan semua camilan di atas meja di ruang tamu... dan dia tidak pernah memarahiku lagi."

Tanganku memegang tangan Singto, lalu meletakannya di dadaku. "Tubuhku juga jadi mengeluarkan bunyi dan getaran aneh begini setiap kali membicarakan Tay. Apa aku sakit, Singto?"

Temanku mengangguk pelan, lalu menarik tangannya dari genggamanku. Ia pun mengeluarkan ponselnya, kemudian mengarahkannya ke wajahku. "Kau harus lihat wajahmu di cermin, New. Merah sekali seperti udang yang dimasak," katanya.

"Aduh," keluhku. Perkataan Singto ada benarnya, kedua pipiku memerah. Pantas saja rasanya sedikit panas.

"New," kalimat yang keluar dari bibir temanku terhenti.

"Ada apa?"

Laki-laki berambut kelam itu menatapku dengan sungguh-sungguh, tidak ada secercah gurauan di kedua matanya. "Kau tahu siapa dirimu, 'kan?"

Kepalaku mengangguk. "Ya, aku pembantu dewa kematian." 

" - Kau tahu kan kalau kita berbeda dengan Tay?"

Ah. 

Sadar bahwa aku tidak bereaksi atas pertanyaannya, Singto pun meneruskan kalimatnya. "Kita bisa hidup berdampingan dengan manusia dengan wadah ini, tapi sesungguhnya kita tidak memiliki wujud. Manusia akan bertambah tua lalu mati, sedangkan kita akan tetap seperti ini hingga - entahlah, aku bahkan tidak tahu sampai kapan aku akan begini."

"Tapi kau dan Krist..." ucapku mencari pembelaan, walau ada satu porsi kecil di hatiku yang memahami arah penjelasannya.

Singto langsung mengalihkan tatapannya ke arah Krist yang tengah menggoreng sesuatu di depan kompor. "Krist dan aku sudah tahu risikonya," bisiknya.

Aku terdiam mendengar kalimat temanku.

"Aku menyukai Krist dan kau menyukai Tay, tapi kita tidak bisa mendapat apa pun dari perasaan ini, New. Tidakkah kau sadari kalau bekerja sebagai pembantu dewa kematian adalah kutukan?" tuturnya dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

"I-itu kan tugas kit - "

"Iya, tapi sampai kapan?" balasnya. "Kau tidak mau menua bersama Tay? Atau mungkin berkeluarga dengannya?"

"Wow, Singto, tunggu," selaku seraya mengarahkan telapak tanganku ke arahnya. "Aku belum sampai situ. Aku hanya ingin bersama Tay."

Sejujurnya aku tidak pernah terpikir untuk menua bersama Tay atau berkeluarga dengannya. Dia sudah punya Neen dan aku ragu ia mau membuka diri setelah kematian Lee. 

Tugasku hanyalah menjaganya, mungkin sampai akhirnya jiwanya dijemput oleh (pembantu) dewa kematian lain. 

Dan aku akan melihat jiwanya pergi, barangkali bersatu dengan Lee. 

Ya, mungkin seperti itu.

Kusentuh dadaku. Tapi kenapa rasanya sakit sekali?

Jemari Singto bergerak menghapus air matanya ketika mendengar Krist berhenti menggoreng sesuatu di dapur. Ia pun meminum jus jerukku, namun alisnya mengernyit ketika menelan cairan kuning tersebut.

"Kalau kau ingin bersama Tay," katanya sembari menjauhkan gelas tersebut dari kami. "Gunakanlah waktumu sebaik-baiknya. Tapi, kalau kau sudah tidak tahan, kau bisa menjauhinya."

***

Sudah hampir 15 menit aku duduk di lorong, di depan pintu masuk apartemen Tay. 

Setelah mendengar perkataan Singto tadi, dan melihat betapa sahabatku sungguh berbeda ketika di depan Krist, aku jadi ragu untuk menemui Tay.

Meskipun (pembantu) dewa kematian bisa memengaruhi jiwa manusia, namun sesungguhnya kami tidak memiliki kuasa apa pun akan dunia. 

Teman-temanku yang pernah mencoba melarikan diri, pada akhirnya berakhir di kantor Godji lengkap dengan segala petuah dan hukumannya.

Tapi, sebagai (pembantu) dewa kematian, peranku hanya sampai satu titik. Aku harus sadar di mana posisiku sesungguhnya, 'kan?

Kudengar suara pintu dibuka dan kulihat Tay berdiri menatapku di depan pintu.

"New?" 

Belum sempat aku menjawabnya, Tay melanjutkan pertanyaannya. "Ayo cepat masuk, Neen membelikanmu donat."

Selagi aku masih bisa, aku akan menggunakan waktuku sebaik-baiknya.




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 28, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Eternity | a Tay New storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang