14. Jangan marah, Sha

681 132 4
                                    

Budayakan tekan bintang setelah membaca, ya.
Maafkan typo.
.
.
.

Disha membuka tasnya sambil menghela napas beberapa kali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Disha membuka tasnya sambil menghela napas beberapa kali. Hari ini ia kesal. Ditambah kerjaan menumpuk untuk acara besok. Rasanya otaknya seperti dihantam batu besar. Sakit sekali.

"Enggak. Gue gak boleh sakit. Besok acaranya, dan gue baru sakit sekarang? Kemarin lo ke mana aja sakit?" tanya Disha sambil menatap dirinya lewat pantulan cermin.

Ia merebahkan tubuhnya ke kasur, kemudian memejamkam matanya perlahan dan mulai terlelap begitu saja. Saking lelapnya, ia bahkan tidak terbangun oleh dering ponselnya. Benua menelepon gadisnya itu berkali-kali, namun tidak ada respon. Cowok itu langsung mengusap wajahnya agak kasar dan menghela napas berat.

"Jangan marah, Sha," gumam Benua dengan wajah paniknya.

"Lagian, kenapa gue mesti pulang duluan, sih?" omelnya pada diri sendiri. "Kan, bisa bilang dulu."

Ia memutuskan mengambil kunci motornya dan bergegas pergi, tentunya ke rumah Disha. Setidaknya, ia harus memastikan Disha tidak semarah itu. Jika Disha marah, ia tidak tahu bagaimana cara meredakan amarahnya.

Motornya melaju dengan cepat, lalu berhenti di depan sebuah gerbang setelah 15 menit perjalanan. Ia melirik melalui celah, memeriksa apakah Disha ada di luar atau tidak. Namun yang ia lihat malah wajah seorang pria paru baya yang mendekat ke arah gerbang. Buru-buru Benua mundur, bahkan hampir menjatuhkan motornya.

Pria itu membuka gerbang dan terkejut melihat Benua. Keduanya saling diam selama beberapa saat sebelum akhirnya Benua menyapa lebih dulu. "Malam, Om," sapa Benua agak kikuk.

"Malam."

Ia menggaruk belakang kepalanya, lalu tersenyum canggung. "Disha ... Ada?"

"Kamu ini ..."

"Oh, saya ..."

"Pacar Kak Disha, Yah," kata Deva yang baru saja datang dati luar membawa sekantong snack yang ia beli.

Daren--pria itu terdiam menatap Benua selama beberapa detik, kemudian tersenyum. "Disha sakit. Udah tidur anaknya. Kamu telat datang."

Sungguh jawaban yang tidak Benua bayangkan akan dilontarkan oleh Ayah Disha. Ia sudah pernah datang dan sarapan bersama keluarga Disha, tapi saat itu Ayah Disha tidak ada. Hanya ada Mamanya saja. Ia pikir, Ayah Disha tidak akan seramah ini. Senyum pria itu sama persis dengan Disha.

"Ah, gitu, ya, Om."

"Kak Benua, aku kasih tahu, ya. Kak Disha kalau sakit itu mirip sama beruang yang lagi hibernasi. Gak akan bangun sebelum ada gempa disusul tsunami," kata Deva sambil memakan es krim nya.

BENUA √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang