14

31 5 0
                                    

Jimin menemui Jungkook pagi itu, setelah debat panjang dengan Hoseok dan adu keras kepala dengan Yoongi. Masih ditambah marah-marah sebab kedua abang sepupunya (yang baru ditemukan) itu bersikeras mengantarnya, Jimin menolak, tentu saja, beralasan bahwa ia ingin mengurangi sakit kepala berlebih dengan membawa mereka yang berpotensi mengomel habis-habisan sepanjang jalan atau bahkan sepanjang hari.

Jimin pikir dirinya masih harus berperang dengan petugas dan staf yang ada di sana hanya sekadar untuk menemui Jungkook, tapi Jimin cuma butuh sebutkan satu nama dan mereka lantas mempersilakan dengan terlampau santun dan tabah menuntunnya ke tempat Jungkook di sembunyikan. Di balik lorong-lorong panjang itu, mereka menyembunyikan Jungkook sedemikian apiknya. Tanpa ada satupun yang tahu, tanpa ada satupun yang dapat menemukannya.

Wajah Jungkook yang pucat dan tatap matanya yang sayu adalah hal pertama yang menyambut Jimin begitu memasuki ruangan itu. Obsidiannya yang biasa nampak cemerlang, kala itu seolah kehilangan cahaya dan cuma berisi lelehan air mata yang siap terjun bebas kapan saja melalui pelupuknya.
Ada kelegaan di wajah itu, di senyumnya yang tak sampai mata, juga pada napasnya yang diam-diam dihelanya.

Sekilas, Jimin temukan wajah Taehyung yang menyelinap masuk dalam ruang ingatnya. Pada mata bulat Taehyung yang berkaca tatkala Jimin terjatuh dari sepeda roda empatnya. Mata Taehyung yang digenangi air mata tatkala melihat Jimin tersungkur sebab mencoba berlari dengan sepasang sepatu roda dikedua kakinya. Ah, mereka memang nampak serupa, alih-alih mirip dengan Jimin yang lahir dari ayah yang sama, Taehyung justru nampak lebih mirip dengan Jungkook dan Kim bersaudara yang menjulang tingginya. Sejenak, dadanya terasa sesak dan penuh dengan kegusaran tatkala bayangan wajah ayahnya menyelinap dikepalanya, ucapan ayahnya yang pelan malam itu justru membuat Jimin hancur lebih cepat. Sanggup kah dirinya? Sementara dunia terlalu keras buat Jimin pijaki dengan kedua kakinya yang letih, dunia terlampau raksasa buat Jimin yang sekecil butiran debu yang berterbangan di sekiling mereka.

"Bagaimana kabarmu?" Jimin bertanya pada Jungkook yang buru-buru berdiri dari ranjangnya dan berhambur memeluknya. Tubuh Jungkook terasa lebih hangat dari biasanya, mungkin karena demam yang menyerangnya, atau mungkin karena tubuh Jimin yang kedinginan dimakan cuaca.
"Ih, kau mandi tidak sih? Badanmu lengket sekali seperti permen karet." Ucap Jimin sembari mendorong Jungkook darinya, lantas membuat lelaki itu berdecih karenanya.

Sejujurnya, Jimin ingin sekali menangis tatkala sabit miliknya menangkap perawakan Jungkook yang memelas menatapnya. Jelas sekali penyesalan menggelayuti kedua bahunya. Kepalanya yang seketika menunduk tatkala Jimin suguhkan senyum begitu menyayat hatinya. Jimin tak cukup tangguh buat bisikan pada Jungkook bahwa segalanya akan baik-baik saja, sementara dirinya sendiri ketakutan akan apa yang menanti di hadapannya. Meski demikian, Jimin pun menolak buat tunjukkan pada Jungkook bahwa dirinya ikut hancur bersama Jungkook yang lantak dan hampir lebur.

Alih-alih berbagi dekapan dengan Jungkook dan berinya kekuatan, Jimin justru sibuk dengan barang bawaanya. Satu paper bag besar berisi pakaian Jungkook yang dirinya simpan di lemari kamarnya, satu paper bag lainnya berisi buku dan komik buat Jungkook habiskan hari tanpa bosan sebab mereka melarang Jungkook buat memegang ponselnya, sementara paper bag satunya berisi kimbab buatan Yoongi juga beberapa camilan kesukaan Jungkook yang sengaja Hoseok belikan untuk Jimin bawa. Jimin sempat mengoceh pada Jungkook tentang pakaian dan makannya, juga untuk tidak terus-terusan membaca buku dan lupa buat memakan makanannya, Jungkook sih hanya menggumam sembari memasukan kimbab ke dalam mulutnya.

Setelahnya, Jimin menutup mulutnya dan Jungkook pun enggan buat bersuara. Jimin sendiri bingung bukan kepalang buat sampaikan apa yang semalaman Jimin pikirkan pada Jungkook dan selesaikan detik itu juga, sebab Jimin muak dengan resah yang terus-menerus melandanya. Sementara Jimin tak tahu akan apa yang kala itu Jungkook risaukan, sebab diamnya tak nampak seperti biasanya. Ah, harusnya Jimin tahu, Jungkook adalah satu-satunya yang paling risau akan apa yang terjadi di luar sana, saudara-saudaranya yang kelimpungan buat mencarinya juga keluarganya yang seolah hampir mati sebab kekhawatiran yang tak ada ujungnya. Jimin baru saja hendak buka suara, tatkala Jungkook lebih dulu haturkan kata, "bagaimana caramu membawaku semalam?" tanyanya. Bagaimana ya cara menjelaskan rasa tatkala dada Jimin seolah dihantam kuat oleh ribuan kepalan tangan yang membuatnya sesak dan hancur seketika pada satu waktu yang sama.

Jimin memilih untuk diam sesaat sembari memikirkan cara terbaik buat jelaskan pada Jungkook, tapi, "jangan katakan.." Jungkook berucap penuh dengan tekanan, dan Jimin cukup paham bahwa pemuda itu tengah memikirkan hal yang sama dengan dirinya, bahwa yang sebetulnya membawa Jungkook ke tempat itu malam sebelumnya bukanlah dirinya, melainkan, "ayahmu?" Jimin tersenyum, bukan jenis senyum tulus yang enak di pandang mata, melainkan senyum miris setengah terluka, lantas dirinya mengangguk.
Jimin tidak repot-repot mencegah Jungkook buat berdiri dan berjalan cepat ke arahnya sembari marah-marah sebab Jimin sudah lebih dulu tahu bahwa Jungkook akan melakukan hal itu. "Apa sih yang kau pikirkan?" tanyanya. "Sumpah ya, kau sendiri yang bilang tidak sudi buat menemuinya." Jimin masih diam, sebab Jungkook berucap yang sebenarnya. "Apa yang harus kau berikan buat membayarnya?" tanyanya, tepat sekali mengenai sasaran di mana ada ingatan tentang apa yang ayahnya pinta buat Jimin lakukan sebagai jaminan untuk membawa Jungkook ke pusat rehabilitasi, malam itu.

Jungkook memegang bahunya, seketika menyadarkan Jimin pada lamunannya. "Apa pun itu, jangan lakukan." Kata bocah itu. Lantas, Jimin berbisik, "kupikir aku hampir kehilanganmu." Kala itu, Jungkook dengan cepat berbalik menggeram kesal pada Jimin lantas kembali menatapnya, "aku tidak akan mati, ya ampun, yang benar saja, apa sih yang kau pikirkan? Makanya kalau di kelas itu jangan.. bla bla bla.." mari lewati saja percakapan itu, sebab Jimin muak tiap kali Jungkook menceramahinya. "Kok jadi kau sih yang mengomel? Harusnya aku dong, kau kan yang buat masalah." Jimin balas mengomeli Jungkook dan mendorongnya, setengah bercanda buat usir ketegangan yang kala itu menghimpit mereka. "Habisnya kau tolol sekali, sih."

Sebetulnya, tiap kali mereka tengah membicarakan hal yang begitu serius, hal yang begitu genting dan harus diselesaikan dengan benar, selalu ada ketegangan di antara mereka. Sesuatu yang membuat mereka bisa-bisa adu pukulan alih-alih kembali berdiskusi buat selesaikan masalah mereka. Maka, tiap kali salah satu atau masing-masing dari mereka hendak meledakkan amarah, alih-alih layangkan pukulan, mereka akan memilih buat suguhkan candaan, mencairkan ketegangan lebih dulu dan dinginkan pikiran. Lantas, mereka akan kembali membahasnya dan selesaikan baik-baik dengan cara yang sempurna.
Maka, hari itu, tatkala Jimin dan Jungkook berhenti buat membahas persoalan ayah Jimin yang mengantarnya ke pusat rehabilitasi dan menyembunyikan keberadaannya, bukan serta merta membuat mereka melupakan bahasan itu, melainkan mereka menguburnya buat sementara waktu dan mencari penyelesaian terbaik buat menyudahinya.

Seharusnya, Jimin memberikan banyak candaan untuk membuat Jungkook nyaman. Akan tetapi, nampaknya hari itu tak ada satupun bahasan yang bisa buat dijadikan candaan, sebab segalanya begitu penting dan genting. Maka, dengan setengah hati, Jimin kembali mengangkat topik serupa, "aku dan ayahku sudah memikirkan hal ini, dan aku setuju dengan apa yang dirinya katakan." Ucap Jimin, seketika membuat Jungkook menatapnya dan berpaling dari buku bacaannya. "Kita harus memberitahukan keluargamu. Secepatnya." Ucapnya lagi, dan Jungkook kembali memalingkan muka, menghindari tatap mata Jimin sebab dirinya sadar akan apa yang Jimin maksudkan. "Kau tahu, kita tak akan bisa menghindarinya. Apapun itu, yang akan terjadi setelah ini, mari selesaikan bersama." Jimin menyentuh bahu Jungkook yang kaku akan ketegangan. Dan pemuda itu pun menjawab, "aku tak cukup tangguh buat menghadapi mereka." Ucapnya. "Jung, kau tak perlu menjadi tangguh untuk bertemu dengan keluargamu. Mereka pasti punya cara, jauh lebih baik ketimbang cara kita yang serampangan dan amatir."

Butuh waktu buat meyakinkan Jungkook, butuh ketabahan dan kesabaran buat membujuknya dan butuh ekstra tenaga buat mendekapnya dan mengusap punggungnya. Sebab, alih-alih Jimin, Jungkook ribuan kali lipat lebih hancur. Jungkook hancur sebab kemarahannya justru membawanya ke tempat paling gelap yang pernah dipijaknya. Jungkook hancur, sebab dia pikir dirinya telah berakhir, tanpa ada satupun yang mampu meraihnya dan menyelamatkannya. Jungkook hancur sebab dirinya berpikir demikian.

;

Hope u enjoy it guys

Bear the Brunt (Jungkook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang