6

58 10 0
                                    

Jimin sadar ia lebih banyak melamun setelah bertemu dengan ayahnya beberapa waktu lalu. Masih memikirkan persoalan ucapannya pada sang ayah yang terlampau kasar. Tapi sungguh, Jimin hanya merasa lelaki itu datang cuma sekadar formalitas saja, sebab Jimin sudah terlanjur melihatnya, sebab dia sudah terlanjur mendapati Jimin berada di sekitarnya, berada di dekat Taehyung yang selalu lelaki itu puja kehadirannya. "Kalau ini persoalan tanggungjawab, tidak perlu repot-repot merasa bertanggungjawab. Kalaupun ini tentang rasa menyesal, tidak perlu menyesalinya. Saya hidup lebih baik dari yang anda kira." Ingat sekali Jimin, pada bagaimana wajah itu berubah kala memandangnya. Kala bagaimana raut itu nampak kecewa dan terluka. Tapi ia tak peduli, terlampau egois untuk mendengarkan lelaki itu membela diri.

Lelaki itu hanya memandangi jemarinya, menyentuh cincin yang melingkari jari manisnya, begitu Jimin berdiri dan menyerahkan debit card milik ayahnya. Jimin hampir-hampir tak mendengar apa yang lelaki itu katakan kalau saja ia memutuskan untuk segera melangkah dari sana. "Kami menginginkanmu." Ucapnya. "Kami sangat menginginkanmu. Ayah, ibumu, bundamu. Kami menginginkanmu, Jimin. Tapi ayah terlalu serakah, ayah terlalu egois dan bodoh." Jelasnya.
"Maaf, karena kebodohan dan keegoisan ayah, justru kalian yang terluka. Jadi, tolong, bantu ayah mengurangi rasa bersalah kepadamu. Kurangi pekerjaanmu, nak. Tolong jaga kesehatan." Lelaki itu lebih dulu bangkit, menggenggamkan debit card itu di tangannya, kemudian pergi.

Entah lah, Jimin pun lupa akan hitungannya. Berapa banyak hela napas berat ia buang sia-sia. Bukan hanya pada ayahnya dan seluruh keputusan yang telah mereka sepakati bersama, tapi juga pada Jungkook, yang entah mengapa ada yang aneh yang Jimin rasakan pada Jungkook semenjak mereka pergi bersama ke kafe waktu itu. Jimin berpikir keras, apa sekiranya yang terjadi dan mengganggu Jungkook hingga membuat pemuda itu enggan untuk bicara atau bahkan menatapnya. Mungkinkah Jungkook kesal sebab ia meninggalkannya terlalu lama? Mungkinkah Jungkook kecewa dengan keputusan yang telah diambilnya? Pertanyaan-pertanyaan serupa terus menggerombol masuk dalam kepala, bingung, sebab tak tahu kesalahan apa yang telah Jimin buat sampai membuat Jungkook tak sudi dan enggan buat menatap pada wajahnya.

Jungkook jadi lebih sensitif, walau sebetulnya Jungkook memang sensitif pada setiap hal yang ada di sekelilingnya, tapi bukan itu yang Jimin maksudkan. Jungkook jadi lebih sering mempermasalahkan hal kecil yang bahkan tak sampai masuk di akal, kemudian kala ditanyakan alasan Jungkook berucap sesuatu yang tak mampu di terima nalar, aneh, rancu, tak dapat dimengerti. Tapi Jimin pikir segalanya itu hanya karena Jungkook terlalu lelah akan masalah yang dihadapinya seorang diri, Jungkook mungkin terlalu putus asa dengan jalan keluar yang tak ditemukan buat melepaskan diri.

Jungkook itu tegar, kalau dihadapan banyak orang. Jungkook itu teguh kalau tak ada siapapun yang menemukannya kelimpungan mencari barang yang ia tinggalkan. Jungkook benci sekali terlihat lemah, benci ketika orang-orang memandangnya bukan pada keteguhan dan kesempurnaan yang dirinya sandang. Setidaknya itu yang Jimin ingat sebelum ia menemukan Jungkook menangis tersedu di pojok ruangan. Taehyung datang hari itu, menyentak paksa pintu depan sementara dirinya berjengit kaget sebab suara dobrakan yang terdengar. Jimin tak sempat bersuara sebab Taehyung buru-buru naik ke lantai dua. Taehyung terlihat marah, marah sekali sampai-sampai garis otot wajahnya mengeras, dan Taehyung jarang sekali marah kalau masalah itu hanya masalah remeh yang bisa diselesaikan dengan mata terpejam sebelah. Dan Jimin—sebagai pemilik rumah— merasa perlu untuk menghentikan Taehyung sebab Jimin tahu ke mana arah Taehyung menetapkan langkah.

Jimin berdiri di ambang anak tangga tatkala ia dengar Taehyung dan Jungkook melontarkan amarah dengan membabi-buta. Ada suara pecah belah, dan Jimin tak tahu siapa kira-kira yang telah melakukannya, sebab Jimin pun tak punya cukup nyali untuk mendekat dan melihat apa yang tengah terjadi di dalam kamarnya. Baik Taehyung maupun Jungkook, mereka sama tinggi egonya, ketimbang marah dan berteriak mereka kerap kali luapkan amarah dengan adu pukul dan liat siapa pemenangnya. Ketimbang meninggikan suaranya mereka lebih sering mengumpat sembari layangkan tangan ke muka, bukan seperti yang mereka lakukan di dalam kamarnya, jadi, Jimin bertanya-tanya meski seharusnya ia tak berhak ikut campur urusan mereka, masalah seperti apa yang membuat Jungkook kalang kabut buat menghadapinya, masalah apa yang membuat Kim bersaudara berkomplot dan seolah menyudutkan Jungkook di satu titik yang ia sendiri tak mampu memahaminya.

"Pikir, Jung, pikir. Kau menyalahkan semua orang sementara kau tak sudi mendengar apa yang hendak mereka jelaskan." Jimin tersentak tatkala mendengar suara Taehyung yang sampai ke indera pendengarnya. "Pulang, Jung. Pulang!" Lagi, suara Taehyung membumbung memenuhi inderanya, sementara ia masih terpaku di tempatnya berpijak dan enggan melangkah pergi dari sana, atau masuk dan memaksa mereka menjelaskan permasalahan pelik yang mereka hadapi hingga timbulkan kerusakan di dalam rumahnya. "Lantas apa? Aku tau apa yang akan mereka katakan, lantas apa? Huh? Apa yang akan mereka lakukan buat memperbaiki semuanya? Coba katakan padaku, apa yang akan mereka lakukan buat menebus segalanya? Uang? Ya, sebab mereka cuma bisa gunakan uang!" Suara Jungkook terdengar parau, meski masih terdengar marah tapi Jungkook juga terdengar pasrah.

"Coba bilang, sewaktu kau kecelakaan, sewaktu kau tabrakan dirimu bertahun-tahun lalu, apa yang ayahmu lakukan? Ayahmu memberi mereka uang, upah buat tutup mulut supaya kau aman. Sewaktu aku berkelahi dan membuat teman sekelasku nyaris mati, apa yang mereka lakukan? Mereka menyuapnya dengan uang. Lalu, mereka juga berniat membeli otakku dengan uang. Hidupku, napasku, lalu apa yang tersisa buatku? Bilang padaku, apa yang tersisa buatku selain muak dan pikiran buat mati. Bilang padaku!" Jimin nyaris berbalik dan melangkah pergi, nyaris saja mempercayai mereka buat selesaikan masalah mereka dengan pikiran tenang orang dewasa. Tapi, begitu mendengar suara tamparan dan geruduk dari dalam kamar, Jimin justru memantapkan langkah buat berlari menghantam pintu dan meraih Jungkook menjauh dari Taehyung yang bersiap layangkan tangan. "Kim Taehyung!" Jimin berteriak di depan wajah Taehyung yang padam oleh amarah yang membuncah dari kepala.

"Lancang." Ucap Taehyung pada Jungkook yang ia sembunyikan di belakangnya, tidak mempengaruhi apapun, sebab Jungkook justru memandang Taehyung dengan mata menyalak dan wajah murka. "Lancang sekali caramu bicara. Seolah kau tidak nikmati uang yang mereka beri buat kau berfoya-foya." Jujur, Jimin tak paham dengan situasi yang mereka ciptakan, Jimin tak paham akan pandangan mereka yang saling membenci. Jadi, Jimin seret Taehyung keluar hari itu. Tak peduli bahwa pemuda itu memberontak dan menyentaknya berulang kali, tak peduli bahwa pemuda itu berucap kalimat kasar yang menyakiti hati.

Dan, Jungkook menangis, di pojok ruangan dengan kedua tangan yang terkepal. Miris sekali mendengar isak tangisnya, bagaimana pemuda itu menghirup napasnya kepayahan, bagaimana pemuda itu menyeka air matanya yang jatuh sia-sia. Jimin terluka melihatnya. Sebab, Jungkook nampak tak berdaya. Sebab Jungkook nampak sepertinya kala ia tak punya lagi tempat bersandar sementara semua orang menolak kehadirannya. Sebab Jungkook, nampak sepertinya. "Sakit, sakit sekali, Jim." Bisikknya hari itu, sembari tunjukkan jemarinya yang terluka.

Aku takut jadi dewasa. Dan Jimin penasaran akan kata yang Jungkook ucapkan tiap kali ia datang padanya dengan deraian air mata. Jimin penasaran dengan luka tak nampak yang Jungkook simpan baik-baik hanya untuk dirinya. Jimin takut, ia takut Jungkook akan hancur sama sepertinya.

;

Bear the Brunt (Jungkook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang