Jimin tidur di atas tilam yang hangat, tilam yang Jimin punya di gubuk reyotnya, harusnya tak punya teknologi canggih buat hangatkan badan secara otomatis selayaknya yang Jimin tiduri malam itu. Maka, tatkala kantuk Jimin mulai kuasai dirinya lagi, Jimin buru-buru melebarkan matanya, buat mengusir rasa nyaman yang pelan-pelan menghanyutkannya.
Ruangan itu redup tatkala Jimin putuskan buat membuka lebar kedua kelopaknya. Kepalanya pening dan padangannya berputar, tapi Jimin masih sanggup mengenali sosok wanita yang duduk di sisi ranjang yang ditidurinya. Wanita itu cantik sekali, rambut panjangnya yang berwarna coklat tua nampak indah bahkan tatkala wanita itu mengikatnya. Ada garis-garis tipis kerutan di bawah matanya, tapi garis itu tak mampu sedikit saja pudarkan paras cantiknya. Jimin hampir-hampir tanpa sengaja memanggil sosok itu, yang tengah menunduk sembari menggenggam erat-erat jemarinya, tak menyadari bahwa Jimin telah lama membuka mata dan diam-diam memperhatikannya.
Jimin ingat, betul-betul ingat bagaimana akhirnya ia sampai di tempat itu dan berbaring santai di atas tilam mahal yang dulu cuma mampu Jimin pandang dari kejauhan. Jimin ingat, tatkala ia menangis sembari mengatupkan kedua tangannya dan berlutut di hadapan ayahnya. Jimin ingat tatkala ia sempoyongan dan tak acuh pada sepeda motornya kemudian mengetuk pintu besar itu dan mengemis buat diberi belas kasihan. Jimin ingat, ingat sekali alasan yang mendorongnya buat menjilat kembali ludahannya. Sahabatnya, Jungkook, tengah berada di ujung kehancuran. Dan Jimin tak sudi buat saksikan Jungkook hancur sementara pemuda itu bisa saja hidup lebih baik dari yang diinginkannya. Susah payah Jimin melewati gerbang tinggi besarnya yang nampak apik mengungkung indah bangunan di dalamnya. Susah payah Jimin mempertahankan kedua tangannya dari gemetar yang membabat habis sisa-sisa kewarasannya.
Lelaki itu merengkuhnya dalam kebingungan, tatkala menemukan Jimin berlutut di atas lantai marmer di depan rumahnya yang megah dan menawan. Sesegukkan sembari menjelaskan, sementara lelaki itu mencoba memahami tiap-tiap kata yang ia ucapkan meski dengan kepayahan.
Jimin takut setengah mati, tatkala mereka membawa Jungkook ke pusat rehabilitasi. Tubuh Jungkook yang pucat ia sembunyikan dalam dekapannya yang tak cukup tangguh buat menenangkannya. Jimin takut sekali kalau-kalau Yang Kuasa minta Jungkook buat pergi, Jimin takut, sebab kalau hal itu sampai terjadi Jimin harus korbankan seluruh waktu yang dipunya buat menyesali kesalahannya. Dan Jimin tak siap buat kembali ditinggalkan dan ditendang pergi dari hidup semua orang. Jimin tak cukup kuat buat tanggung semuanya sendirian, Jimin tak cukup tangguh buat memulai semuanya dari awal.
Hari itu adalah malam paling dingin yang pernah Jimin rasa seumur hidupnya, selain hari dimana Jimin terusir dari rumah ayahnya juga hari dimana sang ibu memilih kembali pada Tuhan tanpa mengajaknya. Dingin sekali sampai-sampai mantel tebal ayah yang membalut tubuhnya tak sanggup buat halau dingin yang mengerjainya, atau bahkan tatkala ayah mendekapnya sembari mengusapi punggungnya, bahkan tubuh besar itu tak sanggup buat lindungi Jimin dari dingin yang merayap membekukannya. Dingin sekali sampai-sampai kedinginan itu juga tumpulkan akal sehatnya sampai-sampai Jimin tak mampu buat kenali dingin atau ketakutan kah yang tengah menghantuinya, bahwa sebetulnya dingin itu tak ada, bahwa sebetulnya tubuh Jimin gemetar karena ketakutan yang menggelayutinya alih-alih dingin udara yang melayang di sekelilingnya.
"Wake up yet?" Jimin dengar suara sang ayah dari pintu yang terbuka, lantas wanita itu mengangkat pandangannya. Jimin putuskan buat bangun, buat melenguh lantas duduk dengan mandiri dan menatap mereka, bertepatan dengan lampu yang menyala. "How's your feeling?" wanita itu bertanya, jemari-jemarinya merambat lantas menggenggam hangat kepalan tangannya. Jimin berkeinginan buat diam lantas memilih buat pulang tatkala ia bangun dari tidurnya, namun begitu wanita yang dulu cuma mampu Jimin kagumi diam-diam bertanya super lembut dan pengertian Jimin tak kuasa buat diam dan membiarkannya tidak diacuhkan. "Better." Ucapnya. Jimin sempat mendengar mereka berucap sesuatu sebelum senyap dan canggung menguasai mereka.
Rasa-rasanya Jimin ingat sewaktu Jimin masih singgah di rumah besar itu, tatkala ia berlarian bersama Taehyung dengan pedang-pedangan yang mereka bawa di tangan lantas mereka meneriakkan jurus-jurus karangan buat modal berakting dan jatuh begulingan. Tatkala ayah, bunda juga Taehyung duduk di meja makan yang dikelilingi banyak makanan, lantas ibu menaikannya di atas bangku dan membuat mereka duduk bersisian, yang pada akhirnya bahkan kehadiran Jimin di sana cuma jadi patung yang diabaikan, sementara ibu duduk sendiri di dapur, di ruang paling belakang. Kala itu, Jimin tak punya cukup keberanian buat tanyakan, mengapa ibu nampak dijauhi dan dibuang, Jimin tak cukup berani buat bertanya mengapa mereka cuma diam saja tatkala Jimin ada di sekeliling mereka.
Ada banyak sekali pertanyaan di kepala Jimin kala itu, pada bagaimana dan mengapa Jimin merasa tak berhak buat bicara pada ayahnya alih-alih cuma melihatnya dari balik pintu atau jendela kamarnya. Mengapa Jimin bahkan tak berhak buat mengadu pada ayahnya tentang orang-orang yang sering kali menghujatnya, menyudutkan ia dan ibunya. Juga, pada bagaimana dan mengapa ibunya harus mengemis di kaki ayahnya sekadar buat membeli barang yang Jimin butuhkan. Pada mengapa ibu sering kali menangis diam-diam kala Jimin telah terlelap di atas tilam.
Banyak, banyak sekali yang terjadi di rumah itu, selama sepuluh tahun usianya mendekam di sana, dan meski ia cuma ingat sedikit saja. Semua yang ada dalam kepalanya cuma hal-hal yang menyakiti hatinya, semua yang Jimin ingat cuma kenangan jahat yang dulu tak Jimin pahami maksudnya.Jimin menangis, merasa bodoh sebab mengingat hangat yang mendekapnya beberapa waktu lalu berubah jadi dingin yang membuat gemetar tubuhnya, yang tak bisa Jimin tampik dengan tangannya. Jimin menangis, merasa tiba-tiba dunianya yang perlahan pulih menjadi rubuh dan hancur tepat di hadapannya. "Maaf, maaf. Tapi saya mau pulang." Jimin sadar tatkala ia mulai menangis, dua orang itu berulangkali menanyakannya, menanyakan keadaannya, bahkan ayah yang tengah berdiri di ambang pintu dan berusaha menjaga jarak dengannya. Jimin tak mampu beri jawaban, pun tak mampu buat berikan alasan, satu-satunya yang Jimin pikirkan cuma cepat-cepat pergi dari sana dan pulang ke rumahnya, sebab makin lama ia menetap di sana makin nyeri hati dan rasanya.
Wanita itu sempat memeluknya, sempat menghapus air matanya juga memberi satu kecup pada keningnya. Wanita itu sempat memintanya buat singgah lebih lama, bahwa Taehyung tengah tak ada di rumah mereka, bahwa Taehyung tak akan pulang hingga ia tak perlu mengkhawatirkannya. Tapi, yang sebetulnya Jimin khawatirkan justru adalah hatinya. Jimin tak sanggup tinggal lama-lama, sebab di banding gubuk reyotnya yang dingin dan menyakitkan sepeninggalan ibunya, rumah besar itu justru lebih kuat menghantamnya, dengan luka dan kenangan lama.
Ayah mengantar Jimin pulang ke rumahnya. Banyak sekali yang dia katakan meski Jimin tak sekalipun menjawab dan memilih buat diam. Begitu sampai, Jimin cuma berharap ia bisa segera melangkah menjauhinya, alih-alih di tahan lebih lama di dalam mobil hitam mengkilapnya.
"Kita sudah buat kesepakatan, Jimin tidak lupa kan?" tanya lelaki itu. Jimin mengangguk dan tertawa dalam hati, kesepakatan setan, ucapnya diam-diam. "Saya tidak lupa, dan saya akan melakukannya. Terimakasih. Permisi." Ucapnya, buru-buru keluar dan berlari masuk ke rumahnya. Nyeri sekali hatinya, mengingat janji yang Jimin lakukan, kesepakatan yang telah ia janjikan, benci sekali Jimin mengakuinya bahwa ia menyesal, sebab buat menyelamatkan Jungkook Jimin harus berikan bayaran, mahal, yang bahkan Jimin ragu ia bisa bayarkan.Setengah sepuluh malam, kala itu. Sewaktu Jimin menutup pintu rumahnya dan mendapati Yoongi ada di sana dengan ponsel yang menyala. Yoongi sempat berucap, "dari mana? Siapa yang mengantarmu?" yang tak Jimin jawab, alih-alih berlari dan mendekapnya dengan tangis dan isakan, tak peduli bahwa mungkin saja Taehyung mendengar, mungkin saja ada orang lain di sana yang tak seharusnya tahu apa yang tengah Jimin rasakan. "Kak, tolong aku." Ucapnya, putus asa.
;
Hai?
It's been a looooooong time😄
Sorry, and thanks.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bear the Brunt (Jungkook)
FanficBear the brunt [IDM] Put up with the worst of some bad circumstance. Sebab, kala keangkuhan itu runtuh, hancur dan rubuh, yang Jimin lihat hanyalah bocah sembilan belas yang memohon untuk satu dekapan hangat yang utuh. Jungkook Brothers Series Publi...