2

140 20 2
                                    

Bagi Jimin, hidup itu bukan hanya tentang meraih mimpi. Jimin hidup dengan harapan agar ia bisa bertahan esok hari. Jimin hidup agar ketika ia membuka mata, ia masih bisa merasakan cahaya pagi. Usianya 12 tahun kala ia melepaskan mimpinya untuk pergi. Hidupnya bukan lagi untuk meraih mimpi, bukan lagi untuk merangkai dan mendekap erat-erat semua hal yang ada dalam mimpi, hidupnya hanya untuk bertahan agar ia bisa menghembus napas di lain hari.

Usianya sebelas ketika ibunya di diagnosa mengidap kanker di paru-parunya dan harus bertahan tiap hari dengan kepayahan. Usianya sebelas saat ia berhenti bertanya tentang keberadaan adiknya yang mereka tinggalkan. Dan hanya butuh 5 tahun bersama ibunya sebab wanita tangguh itu tak lagi mampu bertahan. Jimin kehilangan pilar, Jimin kehilangan penyangga dan kesulitan menyongsong hidupnya sendirian. Uang asuransi yang ditinggalkan ibunya lebih dari cukup untuknya menyambung hidup. Tapi, Jimin kehilangan arah, Jimin kehilangan tujuan, lalu kemudian ia hidup terkatung-katung tak tentu arah.
Jimin hancur, tapi Taehyung datang hari itu, saat usianya 16 mengajaknya berteman sebab diapun merasa kesulitan. Senyumnya manis sekali hari itu, kala ia menyebutkan nama dengan satu tangan disodorkan. Kim Taehyung. Nama itu terasa begitu benar saat ia mengucapkan. Terasa begitu dekat namun jauh disaat yang bersamaan.

Taehyung datang bersama yang lain. Menambal hidupnya yang kosong dan berlubang. Menutupi seluruh permukaan dengan satu dekapan panjang. Taehyung datang, bersama Seokjin kemudian Namjoon di belakang. Dan mereka datang, bersama Yoongi dan Hoseok bersamaan. Kemudian Jungkook, yang olehnya Jimin belajar menjadi sekuat zirah perang. Jimin merasa cukup, memiliki tempat dan rumah yang di dalamnya ada teman-temannya yang mengizinkannya untuk bersandar. Jimin merasa cukup, tapi, Jimin merasa tak cukup untuk bisa mereka andalkan. Seperti, tatkala Jungkook menangis sebab dia gagal meraih sebuah gelar yang harusnya dengan mudah dia genggam. Kala Taehyung pingsan sebab nyeri di kepalanya yang membuatnya kualahan. Jimin merasa kurang, sementara mereka selalu memastikan Jimin berkecukupan.

Sedikit berlebihan sih, tapi sungguh, Jimin merasa cukup dengan mereka yang tinggal dengannya. Bukan karena makanan yang memenuhi lemari esnya. Bukan karena ia tak perlu repot-repot membayar seluruh tagihan listrik dan airnya. Tapi, Jimin merasa cukup hanya dengan kehadiran mereka, sebab kala mereka ada di sisinya Jimin merasa ia punya tenaga, tenaga yang cukup untuk pura-pura bahagia. Sebab, tak bisa dipungkiri, mereka semua memang hanya berusaha untuk selalu menutupi luka mereka. Alih-alih menyembuhkannya, mereka lebih sibuk untuk menutupinya.
Dan, tiap kali memandang Jungkook, rasanya Jimin melihat dirinya sendiri. Tiap kali melihatnya lemah sebab dia gagal meraih hal yang diinginkan, Jimin seperti melihat dirinya yang gagal dan di tolak semua orang.

"Kenapa tidak menari lagi sih Jim." Jungkook bertanya tatkala Jimin selesai menamai file yang baru dieditnya. Jungkook mengenakan sebuah topi, membuat obsidian segelap jelaga miliknya tersembunyi dalam bayangan topi yang dikenakannya. Sembari tersenyum, Jimin menjawab, "capek. Lebih baik belajar jadi akuntan, jadi sewaktu lulus aku punya jaminan." Jungkook nampak tak puas dengan jawaban yang diberinya, satu alisnya yang terangkat jelas menandakan ketidakpuasannya. "Kau suka menari loh Jim." Katanya lagi, dan Jimin terbahak karenanya. Jungkook memang benar, ia cinta menari, kalau saja bisa suatu hari nanti ia ingin menikah dengan satu tarian sebab terlalu menyukainya. Tapi, cintanya pada menari bisa membunuhnya kapan saja. Jadi jawabannya, "kalau menari terus aku bisa mati kapan saja. Nyawa yang kupunya sekarang adalah hasil jeri payah ibuku, aku tak mau menyia-nyiakannya." Ucapnya lugas, dan apakah Jungkook puas? Jujur Jimin tak tahu, sebab Jungkook hanya diam sembari menggenggam secangkir mocaccino yang masih hangat di permukaan tangannya.

Jungkook pernah menemukannya berdarah-darah di suatu sore. Hari itu, obsidian Jungkook menatap pada luka dikedua lututnya. Kedua tangan Jungkook bergetar tatkala menekan kuat pada kedua lukanya. Bibirnya gemetar sebab menahan tangis, dan meneriakkan bantuan. Tapi Jimin, ia hanya diam, bukan karena lemas sebab darahnya banyak keluar, melainkan baik dan lembutnya hati Jungkook membuatnya sadar. Jungkook masih sembilan belas sementara dia memerankan seorang lelaki dewasa yang tegar, sedang dia masih butuh sebuah pelukan.
Hari itu, Jungkook jadi satu-satunya orang yang tahu bahwa ia mengidap von willebrand disease, dan satu-satunya orang yang terjaga sepanjang malam untuk mencari dan memahaminya di situs pencarian.

Apapun itu, sebab Jungkook selalu mengetahuinya lebih dulu, Jimin bergantung pada Jungkook, pada bagaimana caranya memandang apa yang Jimin hadapi, pada bagaimana caranya menilai apa yang ia alami. Mereka-mereka mungkin hanya menilai Jungkook dari ambisinya. Menilai Jungkook dari keangkuhan dan pesonanya. Menilai sebelah mata pada Jungkook yang menjunjung selalu kebanggaannya. Tapi, Jungkook lebih dari apa yang ada pada pikiran mereka, lebih dari apa yang ada dalam angan mereka. Jungkook sering kali menjelma menjadi seorang bocah yang kelewat manja. Jungkook sering kali berubah menjadi seorang lelaki muda yang cengeng dan lemah hatinya. Suatu hari, tatkala Jimin hendak mengunci pintu rumah, Jungkook datang dengan ketukan pelan. Kala ia melihat pada manik Jungkook yang berkaca, hidung merahnya mengerucut dan jemarinya mencengkeram ujung kaos hitamnya. Jungkook berucap pelan sekali kala itu, katanya "aku tidak mau jadi dewasa. Aku tidak mau tumbuh jadi dewasa. Jiminie, tolong aku, aku takut jadi dewasa." Dan Jimin tak tahu bagaimana cara mengatakan pada Jungkook kala itu, betapa takutnya ia, sebab ia melihat Jungkook yang hancur dengan tekanan yang terus menimpanya. Betapa takutnya ia sebab melihat Jungkook kecil yang bersembunyi pada dewasanya yang hanya pura-pura. Betapa takutnya Jimin sebab ia tak cukup tangguh untuk membagi pelukannya.

"Aku tidur di rumah ya malam ini." Ucap Jungkook, kala Jimin tengah merapikan barangnya dan memasukkannya ke dalam ransel hitam miliknya. "Pulang sana, kau kan sudah lama numpang tidur di rumahku." Ucap Jimin setengah bercanda, setengahnya lagi ya memang begitu adanya. Jungkook berhari-hari singgah di tempatnya, bukan ia tak suka, tapi Jungkook seolah tengah menghindari saudara-saudaranya, dan Jimin tak enak hati karenanya. "Kenapa kau jadi perhitungan begitu sih." Jungkook berdiri, membuntutinya, mendebatnya dengan seluruh kalimat tidak terima.

Jimin tidak tahu, tapi obsidian Jungkook menampakkan dirinya yang dulu.

*

Bear the Brunt (Jungkook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang