9

60 8 4
                                    

Jimin selesai dengan part time nya di hampir tengah malam tatkala ia tergesa buat pulang dan mengecek keberadaan Jungkook. Alih-alih menemukan Jungkook yang biasa menunggunya di depan tangga, yang ia jumpai justru kegelapan seolah Jungkook tak berada di sana, seolah tak satupun pernah menjejakkan kaki di rumahnya. Jimin tak tahu akan keberadaan Jungkook, kemana pemuda itu pergi buat melarikan diri, kemana pemuda itu pergi buat menyembunyikan diri, Jimin tak tahu. Maka tatkala Jungkook tak sudi buat terima panggilannya, Jimin memilih buat menyusuri tempat di mana sekiranya Jungkook berada.

Jungkook bukan seorang pemuda yang suka habiskan malam diluar sekadar membuang waktu sia-sia. Dibandingkan hang over di pub dengan minum sebanyak-banyaknya, Jungkook lebih suka menarik selimut sembari membaca. Persis sama seperti Namjoon yang enggan buat lepas dari buku bacaannya. Ah, persoalan Namjoon, dia mendatanginya sewaktu sore tatkala ia tengah bekerja. Wajah dan tampilannya nampak begitu letih, sampai-sampai Jimin tak tega buat tanyakan masalah yang menimpa Jungkook dengan abangnya. Dan lebih tak tega lagi begitu Namjoon berkata tentang seberapa menyesalnya dia, seberapa egoisnya dia yang tak pikirkan posisi Jungkook yang kesulitan sebab merasa tak ada satupun yang berpihak padanya.

Jimin tak pernah berpikir bahwa memiliki keluarga sama repotnya dengan tak memilikinya. Jimin mungkin kesulitan buat menopang hidupnya sementara ia tak punya wali yang sudi buat menghidupinya—atau mungkin maksudnya adalah menolak dan mengusir walinya sebab terlalu besar rasa sakit di hatinya, ketimbang kebutuhan makan yang sebetulnya masih bisa dipenuhinya.

Jimin ingat Taehyung pernah berkata padanya persoalan hidup harmonis dengan keluarga sederhana, kala itu Taehyung bilang ia tak sudi buat jadi orang yang hidup cuma pas-pasan dan merasa bahagia dengan bermodalkan kesederhanaan dan kebersamaan. Katanya, "orang-orang kaya itu munafik, Jim. Mereka bilang mau jadi orang sederhana yang bahagia dengan cukup waktu dan kasih sayang yang dibagikan buat anak-anak mereka. Tapi, toh mereka tak akan sudi buat hidup melarat, apalagi cuma punya uang yang cukup buat makan. Jangan tersinggung, tapi memang begitu kenyataannya." Yang diam-diam Jimin setujui dalam hati. Sebab memang benar apa yang Taehyung ucapkan, dirinya pun bahkan tak sudi hidup cuma punya cukup uang buat makan, kalau ditanya mau apa ya Jimin akan jujur menjawab dia mau punya uang banyak agar satu bulan kedepan ia tak perlu khawatir tidak bisa makan. Sebab sebenarnya, semua orang itu sama munafiknya. Mereka sama brengsek dan tak tahu dirinya, sebab mereka cuma menyalahkan keadaan mereka tanpa ada niatan buat mengubahnya, mereka cuma berandai-andai sebab mereka tak mampu buat memperbaikinya. Dan Jimin menyadari hal itu lah yang tengah terjadi pada Jungkook dan keluarganya.

Hampir setengah dua pagi tatkala Jimin menyeberangi persimpangan dan melihat segerombolan orang tengah berada dalam perdebatan panjang. Jimin menemukan Jungkook berada di antara mereka, kaos abu-abunya nampak mencolok dari gerombolan yang punya baju gelap menempel di badan mereka. Ada lima orang dalam gerombolan itu, termasuk Jungkook yang nampak gelisah dari kejauhan. Mereka bersembunyi di antara celah bangunan kedai yang sudah tutup sedari lama. Hampir-hampir Jimin berteriak tatkala mereka menarik Jungkook buat menjauh dari sana, alih-alih melakukannya Jimin justru berlari demi menghindari ribut-ribut yang tak diinginkannya. "Jeon Jungkook?" panggilannya yang sontak buat mereka semua tersentak pada waktu yang sama. Mereka buru-buru berlari sementara Jungkook sibuk menyembunyikan barang yang dipegangnya.

Jimin hampir memukul muka Jungkook saat itu juga tatkala melihat apa yang tengah Jungkook genggam di telapaknya. Alih-alih memukul Jungkook dan membuatnya boyok, Jimin justru lebih geram buat merebut barang yang Jungkook bawa. Sembari berhati-hati menyembunyikannya di balik jaket yang dikenakannya, Jimin berkata pada Jungkook buat pulang bersamanya. Jimin tak berucap sekalipun satu patah kata, dan Jungkook harusnya mengerti seberapa kecewanya ia. Jimin membuang seluruh bubuk yang ada di dalam plastik kemasan ke dalam tempat sampah dan menyiramnya dengan air sisa yang ditemukannya dari sana, setelah lebih dulu memastikan tempat mereka membuang benda itu adalah titik buta yang tak ada cctv menyorot pada mereka. Jimin membawa pulang plastik kemasan itu dengan Jungkook yang masih membisu di belakangnya.

"Jelaskan!" pinta Jimin pada Jungkook yang masih enggan bersuara. Sungguh, sebetulnya Jimin tak ingin marah, toh ia pun tak punya hak buat melakukannya, apapun yang teman-temannya lakukan adalah privasi mereka urusan mereka dan sudah sepatutnya Jimin tak ikut campur dengan apa yang mereka lakukan. Tapi, begitu melihat Jungkook, rasanya Jimin tidak rela, rasanya Jimin ingin melampaui batas dan marah sepuasnya, bukan marah karena ia membenci apa yang Jungkook perbuat melainkan marah karena Jimin kecewa, karena Jimin peduli dan tak sudi melihat Jungkook hancur sementara ia dalam keadaan membuka mata. "Kenapa diam? Sekarang kau bisu?" ucap Jimin, terlampau kasar. Kalau hari biasa sudah pasti hal-hal seperti itu cuma ditanggapi sebagai gurauan semata, tapi begitu melihat Jungkook enggan buat mengatakan sepatah kata pun buat menjelaskan, harusnya Jimin tahu ia tak boleh mengatakannya, sebab alih-alih merintih seperti yang biasa Jungkook lakukan padanya, hari itu Jungkook justru berdecih dan berteriak muak padanya. "Jangan ikut campur!" ucap Jungkook padanya.

"Jeon Jungkook! Kau tinggal di rumahku, dan aku merasa bertanggung jawab sebab aku lebih tua darimu." Sejujurnya Jimin bukanlah orang yang sabar, bukan orang yang tenang yang tak akan naik pitam kala dirinya di tentang. Jimin justru terkesan mudah di pancing dan tersulut emosi, seperti tatkala Jungkook dan Taehyung berkelahi, karena kesal pada akhirnya ia melayangkan pukulan pada wajah Taehyung dan buru-buru menyeretnya keluar. Jimin pikir, ia bisa jadi lebih sabar saat dihadapkan dengan Jungkook sebab Jimin sering kali memposisikan dirinya sebagai Jungkook buat memahami perasaannya, tapi toh ternyata sama saja, Jimin tetap marah begitu Jungkook membuatnya kecewa.

"Kau mungkin salah mengartikan, Jimin. Kau pasti berpikir karena aku tinggal di rumahmu, kau jadi merasa bertanggung jawab tentang aku. Kau pasti berpikir karena aku lebih sering bercerita denganmu, kau jadi merasa kau penting buatku. Tidak, tidak sama sekali." Jungkook bangkit dan berdiri di hadapannya, nampak menjulang dengan obsidian yang menatap nyalang padanya. "Kau berucap seolah kau paling tahu apa yang aku alami, sementara kau bahkan tak tahu bagaimana rasanya jadi aku. Bagaimana kau bisa tahu? Huh? Kau mana tahu, rasanya punya ayah dan diabaikan sepanjang hari, sepanjang tahun, sepanjang aku hidup. Kau mana tahu rasanya dikecualikan dan cuma dibutuhkan buat jadi pelengkap, pengganti, penyempurna. Kau tidak akan tahu." Ah, Jungkook pasti lupa, ia lah yang paling tahu bagaimana rasanya diabaikan, ia lah yang paling tau rasanya di kecualikan, rasanya jadi pengganti dan penyempurna. Tapi, Jungkook benar. Tak seharusnya Jimin menyamakan apa yang ia rasakan dengan apa yang tengah Jungkook alami, sebab rasanya pasti berbeda, sebab Jungkook pasti lebih sakit dan menderita. Lantas, mengapa rasanya sakit sekali, tatkala Jungkook mengingatkan betapa tak bergunanya ia, betapa tak dibutuhkan Jimin bahkan buat sekadar mendengar keluh kesahnya. Lantas, mengapa rasanya sakit sekali buat menerima kenyataan yang harusnya sedari lama Jimin sadari.

"Kau benar, maaf sebab aku tak bisa kurangi sedikit saja beban yang kau punya. Maaf Jungkook, seharusnya aku tak sok tahu tentang apa yang kau rasa." Jimin berbalik, membuka pintu dan mempersilakan Jungkook buat istirahat dan tenangkan pikiran.
"Sebegitu marahnya kau, Jungkook. Sebegitu marahnya kau sampai-sampai kau hancurkan sendiri dirimu agar mereka melihat seberapa sakit yang mereka lakukan padamu. Sebegitu marahnya kau, Jungkook, sampai-sampai kau tak peduli buat rusak dan hancur seorang diri." Jimin betul-betul keluar dari kamarnya, setelah memastikan pintu tertutup rapat di belakangnya.

Tidak, tidak. Jimin tidak marah, alih-alih sakit hati Jimin rasanya ingin menangis saja. Sedih sekali melihat bagaimana raut Jungkook tatkala dia menghujatnya, menyerang Jimin tepat pada kelemahannya. Jimin yakin Jungkook tak bermaksud buat berkata demikian dan melukainya. Jungkook pasti hanya butuh waktu seorang diri sementara Jimin masih di sana, menunggunya dan meminta penjelasannya, Jungkook pasti hanya berniat buat mengusir Jimin dari hadapannya lebih cepat dengan memukulnya telak pada luka lamanya.

Ya, Jungkook hanya butuh waktu buat tenangkan otak dan pikirannya. Buat berdamai dengan badai yang menghancurkan hatinya tanpa sisa. Jungkook hanya butuh waktu, sebab tak lama setelah Jimin pergi dari kamarnya, samar-samar ia dengar Jungkook terisak pilu sembari menyalahkan dirinya, menyesali perbuatannya.

;

Mumet banget asli ngerjain skripsi, kok kalo di fanfic bisa enak tuh gimana ya? Tau-tau udah sarjana gitu?

Bear the Brunt (Jungkook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang