3

99 20 6
                                    

Jimin tak punya nama keluarga. Orang lain tentu akan menganga keheranan kala mendengarnya, tapi Jungkook adalah satu-satunya yang mengangguk paham tanpa repot-repot bertanya. Padahal, kalau saja Jungkook melontarkan satu saja pertanyaan, Jimin pasti akan ceritakan segalanya, semua, sejujur-jujurnya. Butuh dua tahun untuk Taehyung mengetahui hal tersembunyi dari namanya, pada penggalan namanya yang sebenar-benarnya. Tapi, Jungkook hanya butuh satu tahun untuk mengungkap segalanya, Jungkook hanya butuh waktu satu tahun, untuk mengetahui hal paling tabu yang disembunyikannya.

"Mr. Ji?" Jimin sering kali tak sadar tatkala orang lain tengah menyerukan namanya. Sebab sebagian dari mereka, memanggil bukan pada nama yang akrab di pendengarannya. Ia tentu tak bisa menyalahkan mereka, sebab mereka tak tahu-menahu pasal nama yang disandangnya. "Mr. Park memanggilmu, Jimin." Ucap Taehyung yang tengah merapikan barang-barangnya. Sebetulnya Jimin mendengar dosen tambun itu berulang kali menyerukan sebuah nama, namun ia tak sadar sebab ia mengira pria itu tak memanggilnya, dan tatkala menyadari yang pria itu panggil adalah dirinya, "sialan Kim, kenapa kau tidak bilang dari tadi, sih." Ia menggerutu pada Taehyung yang lantas membolakan matanya, sembari berjalan mendekati dosen itu setelah menjawab, yes sir, singkat, Jimin mendengar Taehyung sempat menggumam tak terima pada Jungkook yang masih sibuk dengan ponsel di tangannya, "dia yang punya nama, tapi kenapa aku yang terus-terusan mengingatkannya, sih?"

Pria itu sejujurnya tak membicarakan sesuatu yang penting, hanya menegurnya sebab lelet menjawab panggilannya, selebihnya pria paruh baya itu hanya memberinya nasehat tentang mata kuliah yang diambilnya. Bukan sesuatu yang layak untuk dikhawatirkan. Tapi, tentu saja Jungkook dan Taehyung yang berdiri di bangku semula sambil menungguinya, memilih untuk berlebihan mengkhawatirkan dirinya. Terlebih lagi Jungkook yang mungkin merasa dia lebih tahu tentangnya. Tapi, ia hanya tersenyum pada dua pemuda itu dan menyodorkan ibu jarinya.

Baik Taehyung maupun Jungkook jelas tahu apa yang tengah ia alami. Kesulitan untuk menyusun dan membayar hal-hal yang harus ia penuhi. Tapi mereka tak berucap banyak, alih-alih membawakan sekoper penuh uang-seperti yang pernah dilakukan Yoongi- mereka berdua justru lebih giat menyemangati. Uang yang ibunya tinggalkan harusnya cukup untuknya seorang diri, tapi nyatanya mereka melewatkan hal lain yang mereka lupa untuk tetap terpenuhi. Kalau saja Jimin tetap menari, setidaknya ia akan punya pegangan untuk membuatnya bertahan dan tak begitu ketakutan untuk buru-buru mati. "Jim, apapun itu pokoknya jangan berpikir untuk menari lagi." Jimin terkekeh kala mendengar Jungkook berbisik di depan telinganya tatkala mereka berjalan di koridor.

Jungkook yang pertama mengetahui persoalan dirinya yang tak bisa lagi menari. Jungkook yang pertama mengetahui di dalam dompetnya ada sebuah kartu yang disembunyikannya, yang orang lain tak ketahui. Kartu donor organ, dari pihak asuransi. "Jimin, apa kau bahkan siap untuk mati?" kala menemukan kartu itu dalam dompetnya, Jungkook buru-buru bertanya, dan ia tertawa kala mendengarnya, dengan merebut kembali dompet miliknya ia jawab Jungkook yang menantinya, "justru karena aku tak siap buat mati, aku persiapkan semua ini. Aku takut aku tak layak bahkan untuk bermimpi, jadi kubiarkan jantungku menghidupkan orang lain dan membuatnya meraih mimpi." Ucapnya. Jungkook mengangguk, nampak cukup puas dengan jawabannya. Tapi, seharian itu, Jungkook nampak merenung seorang diri, kala ia bertanya dia menjawab bahwa dirinya telah berdosa sebab menyia-nyiakan kehidupannya, padahal hari itu tak satupun dari mereka yang membahas pasal dosa atau semacamnya. Jadi, dengan tertawa Jimin tepuk bahunya dan berkata, "selagi kau berusaha untuk memperbaiki, Tuhan pun akan lupa pada apa yang kau buat pada dirimu sendiri." Jimin bahkan tak tahu apa yang tengah Jungkook alami, sebab pemuda itu sibuk bersembunyi dan enggan untuk peduli, pada mereka yang terus-menerus menawarkan bahu buat disandari.

Jimin ingat, kala suatu hari Jungkook memergoki dirinya yang merenung sembari menimang debit card ditangannya. Sakit sekali kala Jimin menatap Jungkook yang miris saat melihatnya. Dengan begitu sombong, ia junjung tinggi-tinggi kartu yang tengah dipegangnya. Terpaksa setengah mati kala harus menggunakannya, padahal ibunya telah mengingatkan untuk tak pernah menyentuh sepeserpun isinya. Tapi, Jimin jelas-jelas membutuhkannya, persetan kalau harus ditemukan orang itu pada akhirnya, setidaknya ia masih bisa hidup tanpa mengundang tatapan miris dari sahabat-sahabatnya. Sebab, bukan lagi ego yang Jimin pikirkan, melainkan karena dirinya yang begitu banyak menyusahkan, begitu banyak memanfaatkan mereka hanya untuk dimintai bantuan. Mereka jelas tak akan mempermasalahkan hal itu, tapi Jimin sadar diri sebab dirinya ogah untuk mendapatkan tatapan yang membuatnya iritasi.

Tak pernah sekalipun Jimin berpikir, bahwa orang itu—yang katanya ayahnya— akan menemuinya lebih cepat dari yang ia kira. Sebab seingatnya, pria itu bahkan tak pernah peduli akan kehadirannya, pada dirinya yang curi-curi pandang dan memohon untuk diperhatikan. Pria itu bahkan tak menoleh sedikitpun kala sang ibu membawanya pergi dari rumah besar dan mewahnya. Dia tak peduli, bahkan pada Jimin yang memohon di hadapannya untuk dibiarkan tinggal bersama adiknya. Pria itu tak peduli, bahkan pada bagaimana ia dan ibunya bertahan hidup tanpa bantuannya. Tapi, mengapa lelaki itu memberi ibunya sejumlah tabungan dan rutin dikirimi uang? Kalau lelaki itu benar tak peduli, lalu untuk apa dia bersusah payah dan menghabiskan uang untuk dirinya dan ibunya yang tak pernah dipedulikan? Mungkin dia merasa bertanggungjawab sebab telah menjadi salah satu penyebab lahirnya ia di dunia. Lantas, kala lelaki itu menemuinya seminggu setelah ia ambil sejumlah uang dari tabungannya, mengapa dia justru menangis alih-alih bersimpuh dan memohon untuk mengampuninya?
"Ini ayah, Jimin." Katanya. Tentu, Jimin jelas ingat pada wajahnya, wajah angkuh yang enggan menatap ibunya dan terus menerus menyakitinya.

Jungkook ada di sana dan melihat segalanya. Jungkook berdiri di sana dan mendengar semuanya. Hari itu, Jungkook jadi satu-satunya yang tahu nama keluarga yang harusnya tersemat pada namanya. Hari itu Jungkook tak memandangnya seperti sedia kala, melainkan menatapnya dengan benci dan murka. Sebab, dia merasa kecewa, sebab Jungkook merasa Jimin telah menyembunyikan segalanya.

;

Bear the Brunt (Jungkook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang