11

60 7 2
                                    

Jimin menyembunyikan Jungkook di kamar ibunya. Kamar yang bahkan buat memasukinya Jimin butuh berulang kali bolak-balik buat siapkan hatinya. Kamar itu menyembunyikan terlalu banyak rahasia. Kamar itu terlalu banyak  menabur duka. Tiap kali Jimin rindu pada ibunya, alih-alih melihat foto tersenyum wanita itu Jimin justru memilih buat berbaring di ranjangnya, buat bayangkan kala tubuh itu mendekapnya, menghangatkannya.

Ibu suka sekali mengumpulkan foto Jimin. Dulu, ibu mati-matian menabung buat beli kamera, alih-alih buat memenuhi kebutuhan pribadinya. Katanya, "Jimin harus lihat seberapa hebatnya Jimin dari mata ibu." Sewaktu Jimin bertanya. Jimin tak mengerti mengapa ibunya berkata begitu, Jimin tak pernah mengerti maksud di baliknya. Lalu, tatkala ibu meninggalkannya, tatkala sendiri dan kesepian menderanya, tatkala Jimin merasa dirinya dibuang dan tak ada yang menginginkannya, yang mencintainya setulus ibu mencurahkan seluruh cinta. Lantas, suara ibunya terdengar lembut di telinga, berucap bahwa dia ada di sisinya, satu-satunya yang cinta dan bersedia susah payah buat dirinya. Pada foto-foto yang di pajang di tiap sisi dinding di kamar ibunya. Jimin ingat sekali, tatkala mereka baru pindah dan harus ribut mempermasalahkan letak foto sebab Jimin harus memanjat tangga buat meletakkannya sesuai dengan yang ibunya pinta. Dinding itu penuh dengan foto mereka, nampak diisi penuh dengan tawa. Ah, rupanya Jimin pernah merasa sebahagia itu, ya.

Jungkook sempat menolak tatkala Jimin menuntunnya masuk ke dalam kamar ibunya. Jimin tak bertanya mengapa Jungkook menolaknya, mungkin Jungkook merasa tak nyaman sebab Jimin tak pernah izinkan siapapun buat memasukinya, mungkin juga Jungkook takut kalau-kalau ibunya datang dan menghantuinya, well sebenarnya opsi kedua terdengar mustahil sih, sebab Jungkook sendiri tak percaya dengan kehidupan selain yang dia alami. Jungkook sempat berdiri termangu di depan pintu sementara Jimin merapikan tempat tidur dan mengganti selimutnya dengan yang baru. Lumayan berdebu sih, sebab Jimin lama sekali tak mendatanginya, alih-alih menghindari dan ogah buat masuk ke dalamnya. Jimin menyadari tatkala ia mengatakan bahwa seluruh keluarga Kim tengah mencari Jungkook dan hendak melaporkan tentang kehilangannya, Jungkook nampak lebih gelisah dibandingkan dengan dirinya yang tertangkap basah oleh Jimin tengah membawa 2 gram narkotika.

Jungkook sempat bercerita banyak, sebelumnya. Sembari menangis dan sembunyikan diri dalam pelukannya. Pilu sekali bagaimana Jungkook menangisi kesalahannya, pada bagaimana dia berucap bahwa dia telah menyesalinya, pada bagaimana dia berkata bahwa dia salah tetapkan langkahnya. "Aku menghancurkan segalanya, Jimin. Alih-alih memperbaikinya aku justru menghancurkannya." Tangis Jungkook kala itu. Dan Jimin cuma bisu, cuma jadi patung yang bergerakpun rasanya Jimin tak mampu.

Jungkook jelas yang paling kesulitan, jelas yang paling banyak rasakan kesakitan. Tatkala Jungkook di dera masalah dalam keluarganya, masalah yang sebetulnya cuma ada dalam kepalanya, dan berpikir bahwa benda haram yang kala itu ada di tangannya akan hilangkan segala masalah yang terus-menerus menghimpitnya, alih-alih menyelamatkannya benda itu justru perlahan menggerogoti akal dan pikirannya. Membuat Jungkook menutup mata dan lupa dengan segala hal yang jadi tanggung jawabnya. Membuat Jungkook lupa bahwa kesadaran yang dia punya tergerus makin tipis tanpa sepengetahuannya. Jungkook yang paling terluka tatkala menyadari dia telah merusak segalanya, tubuh dan pikirannya, nama dan kehormatan orangtuanya, prestasi dan segala penghormatan yang disandangnya. Jungkook yang paling terluka begitu menyadari bahwa dia telah kehilangannya segalanya. Yang cuma mampu menangis sementara tangis dan air matanya tak akan mampu kembalikan segala yang pernah dia punya.

Hari itu Jimin memilih buat bolos dan menemani Jungkook seharian. Beralasan bahwa ia tengah demam tatkala teman-temannya mengajak Jimin ikut serta mencari Jungkook. Jimin sedikit merasa bersalah sih sebetulnya, banyak malah, tapi tatkala melihat Jungkook menggigil menahan keinginannya buat hisap narkotika, Jimin merasa lebih berdosa kepadanya. Jimin mengobrak-abrik situs internet dan mencari informasi tentang bagaimana cara menangani seseorang yang tengah sakau—Jungkook dalam hal ini. Melihat bagaimana Jungkook gelisah dan menggigiti kukunya sendiri, Jimin merasa kesal sebab tak ada yang bisa dilakukan untuk membuat Jungkook merasa lebih baik.

Jimin mengoceh banyak hal pada Jungkook, hal-hal yang bahkan sama sekali tidak penting dan murahan, sekadar mengalihkan Jungkook dari apapun yang tengah dia pikirkan. Jungkook lebih banyak diam, lebih sering menggerakkan tubuhnya ketimbang menjawab tiap lelucon yang Jimin berikan. Jimin seribu persen khawatir, meski tiap kali Jimin bertanya Jungkook suguhkan senyum dan jawab dirinya baik saja, tetap tak bisa lenyapkan rasa khawatir Jimin yang mendesak hingga dada.

Pagi itu, Jimin menonton film bersama Jungkook di kamar ibunya. Bersembunyi dalam selimut dan mengomentari tiap-tiap adegan yang tayang di layar televisinya. Jungkook cuma mengangguk saja sambil bergumam singkat tiap kali Jimin tanya pendapatnya. Tidak, tidak. Jimin bukannya sakit hati sebab diabaikan seperti itu, Jimin justru khawatir setengah mati, tiap kali melihat Jungkook nampak tak bisa lagi mengontrol emosi, tiap Jungkook berjengit tatkala Jimin menyentuh ujung kaosnya. Jimin setengah mati khawatir sampai-sampai tak bisa berhenti dan menyembunyikannya. "Jung, kau oke?" tak tahan Jimin buat tak semburkan tanya tatkala Jungkook tak berhenti mengetukan kepala dengan jemarinya. "Aku oke." Jawabnya singkat, yang jelas tak bisa Jimin percayai kebenarannya.

Taehyung dan Yoongi datang siang harinya, membawa makanan dan berkeinginan buat melihat keadaannya. Jelas Jimin merasa ketar-ketir tatkala mendapati mereka melotot begitu Jimin keluar dari kamar ibunya. Jimin pandai berbohong, asal tahu saja. Masalah berbohong dan menutupi segala hal, Jimin adalah juaranya. Tapi, tatkala Taehyung berniat buat mengintip pintu di belakang tubuhnya, Jimin tak bisa sembunyikan panik yang pelan-pelan merambatinya. Beruntung, Jungkook pun pandai berakting sepertinya, diam dan tak bunyikan suara. Jimin mengunci pintu itu cepat-cepat dan mendorong Taehyung menjauh darinya, sedikit mengancam buat menularkan demam—yang sama sekali tidak ada— kalau Taehyung memaksa dekat-dekat dengannya.

"Aku sudah minum Paracetamol." Ucap Jimin tatkala Yoongi bertanya soal demamnya. Mereka sibuk menata makan malam buatnya, sementara Jimin justru khawatir pada Jungkook yang kalau-kalau merasa kelaparan di kamar ibunya.
Mereka lama sekali pergi dari rumahnya, hampir pukul enam tatkala mereka memutuskan buat pergi meninggalkannya dan mulai mencari Jungkook yang tak diketahui keberadaannya. Jimin cuma mengangguk saja tatkala mereka menceritakan kemana saja mereka pergi dan sejauh apa perkembangan pencarian Jungkook yang mereka lakukan tanpa henti.

Sewaktu Jimin meletakkan makanan yang sengaja ia sisakan buat Jungkook makan, tatkala Jimin masuk ke dalam kamar ibunya dan di sambut suara geruduk, Jimin tak berekspektasi apapun kecuali Jungkook yang bersembunyi darinya. Tapi, tatkala Jimin menemukan Jungkook terbaring di atas lantai dan kejang dengan mata terbuka, Jimin, ia ragu soal apa yang harus diperbuatnya. Sebab Jimin ketakutan melihat Jungkook nampak tersiksa, sebab Jimin ketakutan dan tak mampu berbuat apa-apa. Jimin tak tahu, yang ia lakukan justru menghentakkan kaki sebab kebingungan yang merambatinya, Jimin justru ikut-ikutan menangis tatkala mencoba menenangkan Jungkook yang mengulurkan tangan padanya. "Tunggu, tunggu sebentar. Tolong tunggu sebentar, tolong bertahan." Ucap Jimin pada Jungkook sebelum ia memilih berlari keluar rumah dan memohon bantuan.

Harusnya Jimin tak melakukannya, harusnya Jimin tak diam-diam menyembunyikan Jungkook sementara Jimin bahkan tak tahu bagaimana cara yang benar buat menanganinya. Harusnya, Jimin tak menurut pada Jungkook dan setuju sebab merasa Jungkook cuma korban dari keegoisan dunia. Harusnya, harusnya, harusnya. Kalimat itu terus-menerus memenuhi kepalanya, bahkan Jimin tak tahu bagaimana caranya mengendarai sepeda motornya dan sampai di tempat tujuannya.

Jimin mengetuk rumah itu tergesa. Tak peduli pada motornya yang ambruk di halaman luasnya. Tatkala menyadari, tangan Jimin gemetar tanpa henti, dan Jimin ketakutan setengah mati. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Jungkook tatkala Jimin tak ada bersamanya, bagaimana kalau keputusan Jimin meninggalkan Jungkook justru keputusan yang salah. Dan Jimin semakin ketakutan saat memikirkannya.
"Tolong, kumohon tolong aku." Jimin cuma bisa berlutut dan mengatupkan jemari-jemarinya, begitu dia membuka pintu dan wajahnya yang tegas nampak mengeras tatkala mendapatinya berlutut di depan rumah megahnya.

;

Setelah sekian purnama, finally aku lanjutin ini.
Aku emosi banget sama Wattpad belakangan ini, sampe aku males banget buat nulis di sini lagi, so childish so selfish ya..

I have a lot of struggles di proposal aku, udah hampir 2 Minggu dan proposal aku gak di koreksi sama Dospem, pengen banget marah dan nyela beliau di depan mukanya, kesel banget rasanya..

Thanks buat yang masih baca..

Semangat terus kalian, semua..

Bear the Brunt (Jungkook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang