Jungkook itu seorang pemuda mandiri, dan terbiasa melakukan segala hal seorang diri. Bukan karena dia tak percaya orang lain bisa membantu untuk meringankan sedikit beban yang tengah dipikulnya. Melainkan Jungkook lebih suka melihat keberhasilan yang diraihnya dengan usaha dan kerja kerasnya. Sebut Jungkook angkuh sebab merasa dia bisa menyelesaikan segalanya, tapi memang tak ada hal apapun yang tak bisa dikerjakannya. Sejujurnya, Jungkook tak benar-benar bisa melakukan segalanya, tapi pemuda itu selalu berusaha. Tak peduli apakah hasilnya akan jadi sempurna, setidaknya—bagi Jungkook— dia telah mencoba. Seperti kala pintu kamar mereka tersangkut sebab rusak pada bagian engselnya. Dan Jungkook—dengan sok— melewati ke dua saudaranya yang saling menyalahkan dan berusaha memperbaikinya. Selalu begitu, Jungkook memang selalu seangkuh itu.
Ia dan Taehyung menunggu, di atas ranjang sembari memperhatikannya. Bisik-bisik tentang bagaimana raut wajah itu bertekuk dan serius menekuni pekerjaannya. Tapi toh, Jungkook tetap gagal melakukannya. Alih-alih mengaku bahwa ia tak mampu, pemuda itu justru menatap para abang di belakangnya yang diam-diam memperhatikan dan berbalik menyalahkan. "Orang tolol mana sih yang menyuruhku memperbaikinya? Sudah tahu susah begini, panggil tukang saja kan bisa." Katanya. Menahan tawa ia dan Taehyung bersembunyi di balik bantal dan menutupi muka. Duh, jelas-jelas bocah songong itu yang mengajukan diri buat memperbaikinya, tapi justru menyalahkan orang lain saat ia gagal atau mungkin memang tak bisa mengerjakannya.
Jungkook memang begitu adanya, merasa di tantang kalau ada yang tak percaya ia bisa melakukan satu hal yang ada di hadapannya. Meski belum pernah melakukannya, ia akan berkata bahwa hal itu adalah pekerjaan mudah buatnya. Tapi, tak sulit untuk memahami, sebab Jungkook sebenarnya hanya mau di puji, dan mau dapatkan atensi.Sejujurnya Jimin menyadari perubahan yang ada di rumah yang ia singgahi. Lebih dingin ketimbang hari biasa. Mungkin karena hanya ada ia dan Jungkook yang tinggal di dalamnya. Mungkin pula karena rasa rindunya yang membuncah dalam dada. Tanggal ujian telah nampak di depan mata, dan memang sudah sepatutnya Jungkook menyibukkan diri dengan tumpukan buku di atas meja belajarnya. Bukan karena Jimin tak mengerti mengapa Jungkook lebih memilih untuk singgah bersamanya, sementara ia jelas bisa dapatkan peluk hangat di dalam rumah bersarnya. Tapi, Jimin sering kali lupa, bahwa tuan Jeon sering kali sibuk ke luar kota. Jimin sering kali lupa, bahwa kekosongan dalam obsidian Jungkook di dasari dari kesepian yang menggelayutinya.
Jungkook sering keterlaluan memforsir tenaganya. Menambah waktu belajarnya untuk mendapat nilai yang melampaui kata sempurna. Jungkook senang di puja, sebab ia pikir ia bisa dapatkan afeksi dan ingin di akui keberadaannya. Sering kali, Jungkook terlihat hampir menyerah, sebab dirinya yang terlampau lelah. Sering kali, Jimin lihat Jungkook yang berdarah-darah, dan menangis sebab ia tak mampu untuk angkat tangan dan pasrah. Jungkook pernah tidur di sisinya dan bergumam tentang seberapa tololnya ia. Jungkook pernah mengaku bahwa emas yang ada di atas kepalanya hanya ilusi yang di ciptakan oleh keluarganya. "Aku bukan anak emas, Jim. Aku ingat aku pernah bodoh sekali menghitung soalan matematika." Ucapnya kala itu. "Aku lihat mata Papa kecewa. Dan akupun kecewa sebab aku tak bisa membuat Papa bangga. Aku kecewa sebab Papa tak bisa banggakan aku seperti Papi banggakan Namjoon di depan Oma." Jungkook menangis, suaranya mengecil selayaknya gumaman melantur yang tak sadar diucapkannya.
Kalau di tanya, taukah Jimin tentang apa yang terjadi pada teman-temannya, Jimin akan dengan jujur berkata bahwa ia tak tahu apapun yang terjadi pada mereka. Sebab, mereka masing-masing memakai topeng untuk menutupi rusak pada hidup mereka. Selayaknya ia menutupi cela yang ada pada dirinya, seperti itu pula mereka menutupi diri mereka. Maka, tatkala Jungkook bercerita betapa susahnya ia, Jimin tak mampu mencegahnya, alih-alih berbalik dan mendekapnya. "Aku tidak mau jadi dewasa, Jimin. Sulit sekali, aku tidak bisa." Jungkook masih 18 tahun, seharusnya Jungkook masih duduk di bangku SMA, menikmati masa nakal dan berkumpul bersama teman-temannya. Tapi Jungkook menghabiskan seluruh usianya untuk belajar dan mengejar ketertinggalan. Jungkook mengorbankan usianya untuk dapat pengakuan, untuk layak di banggakan. Dan Jungkook kehilangan seluruh waktu yang harusnya ia pergunakan untuk menumbuhkan mental. Ia ingin mendekap Jungkook, seerat mungkin hingga Jungkook tak lagi berpikir bahwa dia sendirian. Sebab Jungkook di sergap oleh sepi dan kemalangan.
Kalau di ingat-ingat, Kim bersaudara dan Jungkook tak pernah terlibat dalam adu argumen yang serius. Yah, kecuali adu urat antara Jungkook dan Seokjin yang bisa mengganggu sekali. Tapi, sejauh mengenal mereka, Jimin yakin mereka tak pernah terlibat dalam permusuhan atau hal-hal yang berkaitan dengan merenggangnya hubungan. Tapi, hari itu Jimin yakin ia mendengar Jungkook berteriak marah pada Seokjin di dalam kamarnya. Ada Namjoon pula di sana, bersama Yoongi yang menatapnya penuh tanya. Tapi Namjoon menolak berkomentar dan memilih untuk diam. Jujur, Jimin ingin sekali berlari dan merelai mereka, entah apapun yang tengah terjadi pada mereka. Tapi, tatkala menemukan wajah Namjoon yang kalut, Jimin ragu, layakkah ia masuk dalam urusan persaudaraan yang bahkan tak ia pahami bagaimana rasanya.
"Kau pikir bagaimana rasanya? Kau pikir aku suka? Aku muak, aku benci sampai aku berpikir untuk mati saja." Itu kalimat terakhir, sebelum jelas sekali ia dengar suara tamparan yang disusul dengan bedebum pintu yang ditutup kasar. Hancur sekali tampilan Jungkook hari itu. Namjoon yang bergegas berdiri begitu dengar keributan yang ada di dalam kamar, menatap iba pada Jungkook yang berjalan melewatinya. Kalau boleh Jimin berkomentar, jelas sekali terlihat bagaimana gundahnya Namjoon saat ia memilih untuk membiarkan Jungkook dan beralih menghampiri Seokjin yang masih ada di dalam kamarnya.
Hari itu, buat yang pertama, Jimin lihat bagaimana obsidian Jungkook yang selalu dihiasi keangkuhan dan binar kemenangan hancur dan rubuh tepat di bawah kakinya. Hari itu, pertama kalinya, Jungkook abaikan emas pada nama dan tahtanya. Menyerah pada berat emas yang selalu bergelayut rusuh di atas bahunya. Hari itu, Jimin mendekap Jungkook sebab kala melihatnya hancur di hadapannya, yang Jimin lihat adalah dirinya kala ia kehilangan satu-satunya harta yang ia punya. Jungkook mungkin punya segalanya, tapi segala yang Jungkook punya tak sekalipun menganggapnya ada.
Jimin tak perlu bertanya, Jimin tak perlu tahu betapa hancurnya Jungkook dalam pelukannya. Sebab, kala kedua tangan miliknya merengkuh tubuh Jungkook yang bergetar dalam dekapannya, Jimin rasakan kehancuran yang nyata. Dan Jimin tak selayaknya menghakimi pada bagaimana cara Jungkook menghadapi hancur dan sulitnya meraih mimpi. Yang Jimin mau hari itu, Jungkook percaya bahwa tatkala percayanya hancur dan lebur di dalam genggamannya, dia masih punya tempat untuknya mengemis sebuah peluk dan dekap yang mengantarkannya dalam kedamaian.;
KAMU SEDANG MEMBACA
Bear the Brunt (Jungkook)
FanfictionBear the brunt [IDM] Put up with the worst of some bad circumstance. Sebab, kala keangkuhan itu runtuh, hancur dan rubuh, yang Jimin lihat hanyalah bocah sembilan belas yang memohon untuk satu dekapan hangat yang utuh. Jungkook Brothers Series Publi...