Jungkook masih enggan untuk bercerita. Masih enggan untuk menjelaskan tentang apa yang tengah di hadapinya. Pemuda itu nampak lebih kurus dari yang terakhir diingatnya, nampak lebih gundah dari yang biasa diperlihatkan kepadanya. Meski tetap tinggal di gubuk sederhananya, sering kali mengoceh soal nasi yang tak mereka nanak dengan sempurna, pemuda itu tetap membatasi pembicaraan mereka, tetap tak membiarkan satu saja kata menyudut atau mengarahkan pada hal yang malam itu terjadi padanya. Jimin tak tahu, jujur saja, persoalan apapun yang di alami dan di hadapi oleh Jungkook hanya Jungkook sendiri lah yang mengetahuinya. Kecuali, ia sengaja mengatakannya, sengaja membagi bebannya, atau mungkin hanya sekadar malas melihatnya tengah menatap penuh tanya.
Hari itu Jungkook menemaninya. Bersikeras berkata bahwa ia butuh seseorang untuk mendampingi ketika bertemu dengan orang itu, ayahnya. Jungkook masih terlihat marah sekali tatkala membahas persoalan ayah yang dulu ia sembunyikan dengan hati-hati. Meski dia pun masih sudi untuk mengatakan kebohongan pada Hoseok dan Taehyung yang tengah singgah bersama mereka, tatkala ia dapatkan telepon dari ayahnya. Dan Jungkook juga masih sempat mengomelinya sesaat setelah sampai di kafe yang sudah mereka janjikan sebelumnya. "Ya ampun, apa harus begitu buat orang jadi terlihat tolol. Kau suka sekali ya seperti itu." Jimin melirik bibir Jungkook yang bergerak mengucap serampah. "Kau juga sama saja." Balasnya, yang kemudian Jungkook cuma jawab dengan kedikkan saja. "Kau kesini cuma mau bilang padanya untuk berhenti menemuimu loh, ya." Jungkook mengingatkan, yang sebetulnya sama sekali tak diperlukan, sebab ia ingat tujuannya dan tidak sudi juga untuk terus-terusan bertemu dengannya.
Jimin tak tahu manakah yang lebih baik, Jungkook yang menemaninya atau suasana yang membuat mereka duduk diam di sana tanpa kata. Ayahnya hanya beri satu senyum sapa, tanpa ada yang dilakukan selain menatapnya. Mungkin rasa canggung yang membuat Jungkook menggeram atau mungkin juga rasa kecewa terhadap lelaki yang duduk di hadapannya, pamannya. Bagaimana ya, cara mudah mengatakannya-intinya, sewaktu Jungkook menemukan Jimin bersama lelaki itu dan mendengar lelaki itu mengatasnamakan dirinya sebagai ayah sahabatnya, Jungkook rasanya ingin meledak dan berkata sembari menunjuk wajah lelaki itu yang tak lain adalah pamannya. Jimin tahu bahwa hal itu pun sulit untuk Jungkook terima, sebab, pertama Jungkook satu-satunya yang tahu dan yang paling tahu persoalan ayah kandungnya, yang angkuh dan tak butuh kehadirannya, kedua, kenyataan bahwa pamannya lah yang menendang Jimin serta ibunya keluar dari rumah megah mereka, membuat hidupnya berantakan dan hancur tak terbantahkan. Sebab Jimin tahu sehormat apa Jungkook pada lelaki itu.
"Jung, boleh beri aku waktu bicara sebentar? Aku akan menyusulmu segera." Sejujurnya Jimin pun tak paham mengapa ia memutuskan untuk berucap demikian, tapi sungguh Jimin tak ingin Jungkook terlibat lebih jauh dalam kehidupannya yang telah lama rubuh, sebab ia tak sudi membiarkan Jungkook melihat seberapa rusak dan mengenaskannya ia. Jungkook tak berucap apa-apa, pemuda itu hanya menatapnya sejenak lalu bangkit dari duduknya. Rasanya lega, sebab ia tak perlu melihat Jungkook menyaksikan seberapa hancur dirinya. "Ayah senang Jimin mau bertemu dengan ayah." Lelaki itu kembali suguhkan senyuman. Mungkin, Jimin sudah begitu keterlaluan dengan mengabaikan segala pesan yang lelaki itu kirimkan. Tapi, sungguh Jimin tak bisa menerimanya, menerima kehadiran lelaki itu kembali dalam hidupnya. Bagi Jimin, ayahnya telah tiada, bersamaan dengan matinya sang ibu dan kesakitan yang terus menderanya. Ibunya terluka, bukan karena penyakit yang diderita, tapi hatinya, yang hancur sebab dia tak lagi punya siapa-siapa, dan disaat menyedihkan itu, ayah justru memilih untuk membuang mereka dan tak peduli akan nasib yang menimpa mereka. Baginya sudah cukup, Jimin tak perlu lagi di sadarkan betapa tak berharganya ia.
"Tolong, jangan hubungi saya lagi." Ucapnya. Sedetik itu, Jimin jelas melihat ayahnya terperanjat, terlalu berlebihan kah apa yang telah ia ucapkan? Sebab, Jimin menjumpai kesedihan dalam manik gelap sang ayah yang disembunyikan. "Bisa dimengerti mengapa kau tak sudi bertemu dengan ayah. Bisa diterima, itu adalah alasan yang masuk akal." Ucap lelaki itu, "tapi, boleh tolong beri ayah waktu sebentar saja? Ayah mau bicara, tidak apa-apa walaupun cuma sedikit saja." Harusnya Jimin menolak, harusnya kejadian bertahun-tahun lalu sudah cukup jadi alasan buatnya pergi dari sana, saat itu juga, tapi Jimin justru berkata, "silakan," dan membiarkan lelaki itu bicara, membela dirinya. Jimin alihkan pandangannya, tak peduli bagaimana lelaki itu menatapnya, atau pada bagaimana lelaki itu berucap sembari menyesali perbuatannya. "Maaf." Ucap lelaki itu. "Kalian pasti punya banyak kesulitan, dan ayah justru abai pada keadaan kalian." Lelaki itu melanjutkan, dan Jimin tak berpikir sedikitpun untuk menghentikan apapun yang hendak lelaki itu ucapkan. Sebab, sejujurnya Jimin berharap apapun yang hendak ayahnya sampaikan bisa mengurangi sedikit saja sesak yang hatinya rasakan.
"Ayah turut berduka, dan turut menyesal sebab tak sempat bertemu ibumu sampai ia telah tiada. Kalian pasti banyak menderita." Jimin penasaran, jika saja ibunya masih ada, jika saja lelaki itu datang pada mereka dan memohon ampun atas hal yang telah dilakukannya, akankah sang ibu memaafkannya? Sebab rasanya Jimin ingin sekali egois dan berkata bahwa ia tak sudi memaafkan lelaki itu setelah apa yang menimpa mereka, setelah ibunya kesakitan sebab tak sempat mengurus sendiri kesehatannya, sebab sang ibu terlalu fokus mencari uang untuk menghidupinya. "Jimin sudah tau itu ayah 'kan, saat pertama kali Jimin datang ke rumah? Sudah banyak yang berubah, tapi Jimin masih ingat, 'kan? Kenapa Jimin tidak datang saja pada ayah? Kenapa Jimin memilih tinggal sendirian di sana?" Jimin suguhkan satu senyum, bukan karena ia ingin melakukannya, tapi semata ia tak ingin terlihat lunak di hadapan ayahnya. "Iya, saya sudah tahu. Dan rumah itu satu-satunya harta yang ibu wariskan pada saya, saya berhak buat menerimanya." Ucapnya. Jimin tak bermaksud buat menyakiti ayahnya, tapi begitu lelaki itu menjawab lebih cepat dari yang seharusnya, Jimin rasa Jimin keterlaluan sebab menyinggung perasaannya. "Ayah tak bermaksud bicara begitu. Tapi sungguh, Jimin juga punya hak untuk tinggal di rumah bersama ayah, bunda, juga adikmu." Jimin menatap lelaki itu, dan lelaki itu memandangnya, tepat pada matanya, seolah dia hendak menunjukkan hatinya yang diliputi sesal.
Ada tiga minuman di meja mereka, satu kopi milik ayahnya dan jus lemon miliknya beserta milik Jungkook yang ditinggalkan di atas meja.
Ada banyak sekali pertanyaan yang Jimin simpan di dalam kelapanya, tentang mengapa lelaki itu mencarinya, mengapa lelaki itu datang dan memintanya kembali ke rumah besar mereka, mengapa lelaki itu berulang kali mengemis waktu untuk sekedar bertemu dengannya. Mengapa? Sebab dibebani rasa tanggungjawab kah, sehingga hatinya gelisah dan memikirkan bagaimana tersiksanya ia. Takutkah lelaki itu jika Jimin ungkap kebenaran pada media, takutkah dia sebab karirnya bisa hancur kapan saja, atau takutkah dia jika sang adik menjumpainya dan mengingat siapa dirinya yang sebenarnya. Mengapa lelaki itu datang, Jimin sungguh ingin tahu jawabannya. "Sudah lama sekali sejak paman menuntun kami pergi dari rumah itu dan saya bertanya-tanya, mengapa paman ingin saya kembali? Sementara paman yang mempersilakan kami pergi." Paman, Jimin tak tahu apa yang lelaki itu rasakan, tapi hatinya nyeri mendengar ucapannya sendiri.
"Ayah, Jimin. Tapi, ayah tidak akan memaksa kalau Jimin lebih nyaman memanggil ayah dengan paman, ayah sudah cukup mengerti sakit yang selama ini Jimin alami. Dan ayah akan jujur, bahwa ayah mencarimu, mencari kalian. Adikmu marah sekali pada kami sebab ayah membiarkan kalian pergi. Dia memberontak dan membenci kami, ayah berusaha mencarimu sebab ayah ingin membuatnya merasa lebih baik dengan keberadaan Jimin di rumah. Tapi kalian pergi jauh sekali, ibumu membawamu pergi dan menyembunyikan diri, setiap kali ayah dapat informasi tentang keberadaan kalian, yang ayah temui justru sisa-sisa kehadiran kalian di rumah yang pernah kalian tempati, ibumu berhasil membawamu pergi." Lelaki itu menunduk, menghindar dari pandangan matanya yang menantinya bercerita. "Adikmu kecelakaan setelahnya, sebab dia berusaha mencari kalian dengan usahanya sendiri, sebab katanya ayah tak sungguh-sungguh mencari keberadaan kalian. Tapi setelahnya ayah berhenti mencari kalian, sebab adikmu lupa ingatan, ayah takut dia akan mengingat kebenciannya terhadap kami jika dia bertemu denganmu, jadi ayah berhenti mencari."
Jimin tak sungguh-sungguh tahu apa yang hatinya rasa, seperti hampa, kebas tanpa rasa. Jadi Jimin diam saja, mendengar apa yang lelaki itu berusaha jelaskan padanya. "Taehyung bertemu denganmu kan, sewaktu SMA? Dia cerita banyak sekali. Soal teman baru yang dia punya, yang membantunya memahami apa-apa yang tidak lagi dia pahami. Itu Jimin kan? Yang Taehyung bilang cuma tinggal berdua bersama ibunya dengan hidup pas-pasan, dan kebingungan cari uang buat makan. Ayah teringat denganmu kemudian, bagaimana jika Jimin kesulitan, bagaimana jika Jimin tidak punya cukup uang buat makan. Bagaimana kalau Jimin sakit dan ibumu tidak punya uang buat bayar asuransi kalian. Sebab ibumu sama sekali tidak gunakan uang yang ayah beri buat menghidupi kalian." Suara lekaki itu bergetar, dan Jimin tak tahu alasan yang membuatnya begitu emosional. "Tapi kemudian Jimin gunakan uang yang ayah berikan. Mereka menghubungi ayah dan bilang ada aktivitas dari kartu yang Jimin pakai, mereka menghubungi ayah dan ayah menemukanmu, pemuda yang waktu itu datang ke rumah dan terpaku sewaktu melihat ayah, yang pergi begitu saja dan menolak untuk masuk ke dalam rumah. Itu, Jimin."
"Jimin. Ayah menyesal." Ada tangis di sana, tapi hati Jimin membeku. Membandingkan tangis lelaki itu dengan tangisnya dan sang ibu, membandingkan rasa sesal lelaki itu dengan rasa sakit yang mereka rasa waktu itu. Jimin ingin jadi egois, dengan mendorong lelaki itu menjauh dari hidupnya, dengan menggaungkan kata bahwa uang dan penjelasan yang lelaki itu beri padanya tak mengubah sedikitpun keputusan yang sudah di ambilnya.
"Tolong jangan temui saya lagi. Permisi.";

KAMU SEDANG MEMBACA
Bear the Brunt (Jungkook)
FanfictionBear the brunt [IDM] Put up with the worst of some bad circumstance. Sebab, kala keangkuhan itu runtuh, hancur dan rubuh, yang Jimin lihat hanyalah bocah sembilan belas yang memohon untuk satu dekapan hangat yang utuh. Jungkook Brothers Series Publi...