"Neng Alen, babang jo minjem buku fisika dong. Mau nyalin materi nih". Pinta Jonathan pada Alen dengan suara yang di lembut-lembutkan.
"Eww, sejak kapan lo rajin gini? Kesambet?". Ledek Rizal.
"Bacot lo . Temen males dikatain, rajin tetep dikatain. Emang ya, Akutu gaada benernya dimata kamu". Ujar Jonathan mendramatisir keadaan.
Iel yang baru saja lewat di samping meja Valencia bergidik ngeri, "bukan temen gue". Ujarnya singkat tapi nusuknya sampe ke tulang.
Yang lain tertawa mendengar sindiran Gabriel si mulut pedas.
"Jahat banget sih sama dede".
"Makin ga kenal". Balas Iel
Jonathan menatap Alen yang juga ikut tertawa, "jangan ketawa dong. Ga kasian apa gue kena bully mulu". Ujar Jo memelas.
Alen berusaha menetralkan tawanya. Tapi sedetik kemudian tawanya terdengar lebih kencang saat mendengar celetukan Retta.
"Muka lo emang muka-muka enak di bully". Kata Retta santai kaya di pantai.
"Astaga maaf jo. Iya iya ini Alen ga ketawa lagi". Alen menutup mulutnya dengan tangan.
Mendengar tawa yang lain semakin membuatnya susah untuk berhenti tertawa.
Akhirnya Alen menepuk pundak Retta sambil mengusap air mata yang keluar karena terlalu asik tertawa, "udah ah udah".
"Jadi tadi Jo mau minjem buku Alen?". Tanya Alen
Jo tersenyum manis, "gue minjem boleh?".
"Oh jadi udah pindah haluan ke Si Alen? Retta ga lagi?". Celetuk Reno si ketua kelas ga jelas.
Jo cepat-cepat menyahut, "Enak aja! Ayang gue ya cuma Retta. Gada lagi. Gue kan cuma minjem buku. Ya ga Al?".
Alen mengangguk saja kemudian menyerahkan buku catatan fisikanya.
"Kembaliin 2 hari lagi ya Jo. Kan mau ada ulangan nanti dipake Alen belajar".
"Ngapain sih lo pinjemin Al. Gue yakin tu curut ga bakal ngembaliin tepat waktu". Sela Retta.
"Sama masa depan sendiri kok punya prasangka buruk sih ai".
"Ai ai palamu". Retta menatap tajam Jonathan.
Beberapa saat kemudian
Miss Ana terlihat dari jendela-jendela samping kelas. Tangannya membawa beberapa lembar kertas.
"Good morning". Sapa Miss Ana ketika memasuki kelas.
"Morning Miss Ana". Sapa penghuni kelas serentak.
"Tugas kemarin, silahkan di kumpulkan ke depan".
"Lah? Ada tugas?". Sahut Jo kebingungan. Pasalnya seingatnya tidak ada tugas apapun. Teman-temannya juga nampak santai.
Miss Ana mendongak, pandangannya sampai pada Gabriel, "Ada tugas Iel?".
Iel mengangguk mengiyakan sedangkan Jonathan membulatkan matanya kesal. Kenapa tidak ada yang memberitahunya?!
"Wah, Abang Iel kok ga bilang ke dede kalo ada tugas!".
"Lo punya hp".
"Tapi kan aku ga aktif Whatsapp tadi malem".
"Tugasnya sudah dua minggu yang lalu Jo, saya yang lupa memintanya minggu kemarin". Sela Miss Ana.
Jonathan menunjukkan senyum kudanya dengan wajah tanpa dosa lalu berkata, "saya juga lupa ngerjakan Miss, nah kan sama-sama lupa, jadi impas. Saya ga dapet hukuman".
Miss Ana hanya mampu geleng-geleng kepala, heran melihat tingkah ajaib anak didiknya sendiri, "Siapa lagi yang belum selesai. Angkat tangan".
Mirisnya, Jo benar-benar sial kali ini. Karena ternyata hanya dirinya yang belum selesai dari 36 murid yang ada di kelas.
Jonathan menoleh ke arah teman-temannya, "jadi kalian udah semua?".
Deva, Iel, Leo, dan Rizal mengangguk bersamaan.
Muka nelangsa Jo membuat tawa Leo seketika pecah, "mampus. Ahahaha".
"Apa yang kalian lakukan itu jahad!". Pekik Jo kesal.
"Jo!". Panggil Miss Ana.
"Sono, dipanggil noh. Cie yang mau pacaran sama hukuman". Ledek Leo
Jonathan menunjukkan jari tengah ke arah teman-teman biadabnya.
"Jonathan!".
"Ya, Miss".
Jonathan segera menghampiri guru yang merangkap wali kelasnya di depan sana."Sebagai hukuman, kamu yang pegang formulir ini. Bagikan nanti, setelah pengumuman dari saya". Jelas Miss Ana.
Jonathan hanya menganggukkan kepalanya. Beruntung ia tak di jemur di tengah lapangan siang-siang begini.
Bel pulang sekolah terdengar di segala penjuru sekolah. Kelas-kelas mulai gaduh saat penghuninya berebutan untuk keluar.
"Pulang sama siapa Al?". Tanya Retta.
"Aku bawa motor sendiri".
"Oh, yaudah hati-hati. Gue duluan ya sama yang lain".
Alen tersenyum mengiyakan.
Alen mengerem sepeda motornya saat lampu lalu lintas berganti warna merah. Matanya mengedar ke arah trotoar di samping kirinya.
Anak-anak jalanan nampak dengan pakaian lusuh mereka. Ada yang menawarkan koran, dan beberapa dagangan kecil. Hati Valencia tercubit melihatnya. Mereka masih sangat kecil tapi ujiannya sudah seberat ini. Harusnya mereka bersekolah, bercanda dan bermain di rumah, bukan menawarkan dagangan seperti ini apalagi di jalan raya.Setelah lampu lalu lintas berbubah hijau, Alen sedikit menepi. Mencari tempat untuk memarkirkan motornya.
Ia turun setelah melepas helm lalu meletakkannya di spion motor.
Kaki Valencia melangkah mendekati mereka yang sedang duduk di trotoar, sedikit menepi karena takut menganggu pengguna jalan.
"Hai". Sapa Alen ramah.
Seorang gadis kecil mendongakkan kepalanya. Menatap Alen dengan pandangan berbinar.
"Hai! Kakak cantik!". Balasnya riang.
"Kalian ga sekolah?". Tanya Alen pelan, takut menyinggung perasaan mereka.
Beberapa menggeleng, tapi dua di antaranya mengangguk.
"Saya sekolah, setelah pulang baru berjualan kak". Jelas salah satu yang nampak lebih besar daripada yang lain.
"Kalian?".
Mereka menggeleng, Alen jadi merasa iba.
"Sudah makan?".
"Belum kak". Jawab mereka serentak.
"Ayo, itu disana ada penjual nasi. Kalian mau?". Tawar Alen.
"Mau! Mau kakak cantik!".
Alen tersenyum, kemudian berjalan di antara mereka, menuju penjual nasi di ujung sana.
Tak apa ia menggunakan uang tabungannya minggu ini. Minggu depan, ia masih bisa menabung lagi.
Gadis dengan seragam batiknya itu melangkah ringan. Wajahnya terlihat riang meskipun berada di tengah anak-anak jalanan dengan pakaian yang lusuh.
Gadis itu terus bercanda, bersama gadis kecil yang baru ia ketahui namanya Ara.
Tanpa sadar, seseorang mengawasinya dari dalam mobil di seberang sana.
Mata tajam itu terus mengikuti pergerakan si gadis.Menarik!
TBC .
KAMU SEDANG MEMBACA
Devalencia (Hiatus)
Teen FictionDeva yang tak pernah mau melibatkan perasaan dalam hal apapun malah terjatuh dalam pesona gadis ceria dengan sejuta luka yang pertama kali ia temui di lapangan sekolah. Annyeong! Selamat membaca~