part 4 | Insiden sore itu

52 13 0
                                    

Bel pulang berbunyi 20 menit yang lalu, selama itu pula Alen tak berhenti mendumel.

"Tadi pagi perasaan gapapa, ga kempes gini".

Alen mengusap peluh di dahinya. Astaga, sepertinya ia benar-benar sial hari ini.
Bagaimana caranya pulang sekarang? Sekolah sudah mulai sepi, hanya tersisa dirinya dan beberapa murid yang mengikuti ekstra masing-masing.
Retta, Safi serta Vio sudah pulang sedari tadi.

Alen menghela nafas pasrah. hari beranjak sore, ia harus segera pulang sebelum bundanya khawatir.
Dengan berat hati Alen meninggalkan motornya di sekolah. Ia akan pulang dengan bis saja.
Alen melirik sekilas jam tangan yang melekat di pergelangan tangan kirinya.

05.15

Semoga masih ada bis yang lewat.
Langkah Alen membawanya melangkah ke arah gerbang yang nyaris tertutup sempurna, hampir tiba, Alen memilih berbelok menghampiri pos satpam sekedar menitipkan sepedanya pada Pak Tono.
"Pak, Alen nitip motor ya". Ujarnya sopan.
"Motornya kenapa atuh neng?".
"Ban-nya kempes pak. Udah sore, Alen harus pulang".
"Oalah gitu. Eneng jangan khawatir disini mah keamanannya terjaga".
Alen tersenyum lega, "terima kasih, kalau gitu Alen permisi ya pak".
"Mangga'"

-*-

10 menit menunggu di halte bus, sendirian.
Kesialan apalagi ini.

05.25

Matahari mulai menenggelamkan diri dan tidak ada satupun bis yang lewat. Lagi, tidak ada seorang-pun disini kecuali seorang pria cukup berumur dengan tampang garang dan pakaian yang em...menyeramkan duduk di bangku halte, disebelahnya.
Alen merapalkan segala doa dalam hatinya, semoga orang itu tidak punya niat jahat. Alen masih mau lulus, kerja lalu membahagiakan buna-nya.

5 menit telah berlalu tapi hanya ada beberapa kendaraan pribadi yang melintas cepat. Baik angkutan umum, taxi maupun bis tidak nampak wujudnya sama sekali.


Alen merasakan tepukan di bahunya. Tubuhnya menegang. Alen sedikit menoleh kemudian segera berdiri,
"Maaf pak, saya harus pulang". Alen mengambil ancang-ancang berlari.
"Eit ! Mau kemana neng geulis, mending disini sama saya". Orang asing itu berusaha menahan lengan Alen.
Alen semakin takut. Keadaan sekitar yang sepi membuat nyalinya semakin menciut.
Dengan keberanian yang tersisa Alen berlari sekuat tenaga.

Cukup jauh Alen berlari, ia menolehkan kepalanya ke belakang. Hatinya harap-harap cemas. Berharap semoga orang asing itu tidak lagi mengejarnya.
"Aish! Kenapa masih ngejar sih". Nafas Alen tersengal-sengal.

Tiba di persimpangan, Alen memilih menyeberang jalan. Trotoar di depan sana lebih ramai orang dan Alen rasa, ia lebih aman disana.
Tanpa pikir panjang Alen melangkahkan kakinya melewati aspal hitam jalan raya.

Tiinn!

Brukk!

Tubuh mungil Alen beradu cukup keras dengan bagian depan mobil hitam yang baru saja menabraknya. Ia tergeletak begitu saja. Orang-orang mulai berkerumun.
Matanya terpejam tapi telinganya masih bisa mendengar dengan jelas.
Beberapa detik setelahnya, telinga Alen mulai berdengung. Kemudian sunyi, Alen tidak sadarkan diri.

-*-

"

"Shh..". Alen memijat pelan keningnya.
"Aish!" Erangnya pelan. Kepalanya pusing dan anggota tubuhnya yang lain juga terasa nyeri.
Meskipun begitu Alen masih berusaha duduk. Ia mulai membuka mata dan mengedarkan pandangannya. Bau obat menusuk indra penciumannya.

Siapa yang membawanya kemari?

Tak lama, pintu di depannya terbuka. Menampilkan siluet seseorang yang tidak asing di ingatannya. Semakin mendekat, kemudian berdiri tepat di samping brankar yang di duduki-nya.
Kenapa si Es ada disini?! Jangan bilang yang menabraknya tadi? Alen! Jangan sembarangan menuduh!

"Ehm, Ada yang sakit?". Nada datar yang Deva lontarkan membuat Alen sedikit euhh, bergidik ngeri. Tapi apa yang bisa diharapkannya pada balok es berjalan ini? Berbicara dengan nada sedikit hangat? Yang benar saja.

"sedikit pusing?". Jawabnya tak yakin. Meskipun begitu kepalanya memang benar-benar pusing. Walau tak separah beberapa menit yang lalu.

Hening. Tidak ada jawaban atas penyataan yang baru saja Alen katakan.

"Alen pulang aja Dev. Bunda pasti nyariin. Makasih udah bawa Alen kesini".
Alen berucap sembari menatap wajah yang berada jauh di atasnya.
Ayolah! Ia bahkan harus mendongak untuk melihat wajah si balok es berjalan.
Salahkan tubuhnya yang seakan enggan bertumbuh tinggi, ck menyebalkan.

"Maaf".

"Ha?".

"Gue yang nabrak lo".

Alen menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal sama sekali. Jadi benar es ini yang menabraknya!

"Oh, em itu, iya gapapa. Alen yang salah juga. Nyebrang sembarangan.".

"Gue anter".

"Ha?"

Deva mendengus. Kenapa gadis di depannya ini lola sekali?!

"Gue.anter". Jelasnya penuh penekanan.
Errr. Alen merinding ketika bersitatap dengan manik hitam legam milik Deva.

-*-

"Dimana?". Pertanyaan Deva memecah keheningan diantara mereka berdua.

"Ha?".
Poor Valencia.

"Ck. Rumah lo". Deva melirik Alen tajam.

"Em, itu. Perumahan flamboyan. Komplek B nomer 19".

Setelahnya keheningan kembali menyapa. Hanya deru mesin mobil dan bising kendaraan yang terdengar hingga mobil hitam milik Deva berhenti di sebuah rumah minimalis dengan dominan warna putih dan abu-abu muda.
Kecil tapi nampak hangat.

"Emm. Makasih Dev". Demi apapun Alen masih gugup.

"Hm".

"Mampir Dev?". Tawar Alen sembari tersenyum ramah. Sudah ditolong, di antar pulang setidaknya Alen harus menawarkan barangkali secangkir teh kan?
Meskipun es ini yang menabraknya, tapi ia kan sudah bertanggung jawab. Begitu.

"Lain kali". Deva sedikit menarik kedua sudut bibirnya. Ingat. Hanya sedikit.

Tapi mampu membuat Alen terpaku.

Es ini baru saja tersenyum? Padanya?

"Oh, oke". Alen mengangguk kemudian berbalik. Masuk ke dalam rumahnya.

Deru mesin baru terdengar setelah badannya hilang tertelan pintu utama.

"Barusan itu es nungguin aku masuk?". Alen tersenyum hanya karena itu.

"Apasih! Kenapa jadi bawa perasaan". Alen menepuk kepalanya.

"Aish!". Ingatkan kalau kepalanya masih nyeri dan tanpa peri kemanusiaan Alen malah menepuknya sembarangan.

"Ciee putri bunda diantar siapa hayo". Dena keluar dari arah belakang.
Alen terkejut. Kenapa banyak hal mengejutkan terjadi hari ini?!!!
"Eh buna. Itu temen baru Alen". Ucapnya sembari mencium punggung tangan Dena.

Alen meringis dalam hati, sejak kapan ia dan es itu berteman?

"Astaga!". Pekikan Dena membuat Alen lagi-lagi terkejut.


TBC.

29/12

Devalencia (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang