Deva Augustine Walter.

138 20 19
                                    

08.00 Wib.

Tiinn! tiinn!

Tidak peduli dengan gerbang yang sudah tertutup rapat, cowok dengan seragam almamater khas SMA Walter itu terus menekan klakson mobilnya.

"Sialan!". Umpatan terdengar saat gerbang di depannya belum juga terbuka.

Kemana gerangan satpam yang berjaga. Ck. Pagi-pagi sudah membuat moodnya buruk.

Tiiinn! Tiiinnn!

Kali ini ia menekan klakson lebih panjang.
"Sial". Sungguh ia bukan orang penyabar dan sudi menunggu. Bisa saja mobilnya ini melaju kencang menabrak gerbang kokoh yang menjulang tinggi di depannya. Tapi masalahnya ia akan mendapat omelan panjang nanti saat sampai di rumah. Ketenangan telinganya terusik, dan dia tak ingin itu terjadi.

Tiiinnn!

Baru saja kaki nya berniat menginjak pedal gas.
Satpam yang berjaga berlari tergesa-gesa entah darimana.

"Duh maaf den, bapak barusan kebelet". Ujarnya. Tangannya aktif mencari kunci di saku celana yang ia pakai.
"Den Deva terlambat lagi, kesiangan den?". Meskipun tau tidak akan di respon, Pak Tono tetap berbicara, sekedar ber-basa basi.
Setelah memilah dari sekian banyak kunci yang dipegangnya, ia memasukkan salah satu kunci yang terlihat lebih besar daripada yang lain kedalam gembok lalu memutarnya.

Deva menghelas nafas jengah, "Hm". Sautnya.

Pak Tono tersenyum simpul, kemudian mendorong gerbang itu agar terbuka.
Pak Tono tak punya cukup nyali untuk mengusik ketenangan putra pemilik yayasan tempatnya bekerja.

Deva Augustine Walter, putra sulung keluarga Walter. Pewaris kerajaan bisnis Walter Group dan tentu SMA Walter termasuk bagian kecil di dalamnya. Deva termasuk murid baru di sekolah yang dibangun oleh ayahnya ini. Ia baru pindah beberapa minggu yang lalu. Ibunya-Alicia ngotot meminta Deva agar pulang kembali ke Indonesia. Alicia rindu dengan putra sulungnya itu. Memang sejak Deva mulai masuk ke sekolah menengah pertama, ia memilih tinggal bersama grandpa dan grandma nya di Seattle, USA.

Deva berjalan santai, Mata tajam dengan manik hitam legam itu menatap lurus ke depan. Tangan kanannya bertengger angkuh di dalam saku celana putihnya. Bad, kesan itu akan langsung terlintas saat melihat Deva saat ini. Dua kancing teratas kemeja sekolahnya tidak terpasang dengan apik sehingga memperlihatkan kaos hitam yang ia pakai sebagai dalaman. Pun ujung kemeja yang tak ia masukkan ke dalam celana. Rambut yang tidak tertata rapi, tapi seakan tidak mengurangi nilai fisik Deva sedikitpun. Begini saja banyak sekali siswi yang mendamba seorang Deva.
Siapa yang tidak mau? kaya dari lahir, tampang diatas rata-rata lalu penampilannya yang terkesan bad but otaknya jenius.

Deva terus menyusuri koridor. Sampai rentetan kalimat yang selalu menyambutnya ketika ia kerap datang terlambat kembali menyapa.

"Ekhem, Jam berapa ini tuan muda Walter?". Ada sedikit penekanan diujung kata yang terucap.

Deva mengenali suara itu. Selama enam minggu bersekolah disini, dengan hampir setiap hari datang terlambat, lalu sapaan yang ia terima tetap saja seperti itu. Bagaimana bisa tidak hafal.

Bu Sukma, pemilik suara. Tidak pernah takut berhadapan dengan seorang Deva meskipun ia tau, ia tengah berhadapan dengan putra pemilik yayasan ini. Bu Sukma tetaplah Bu Sukma, ia tidak pernah pilih kasih dalam memberikan hukuman dan keadilan. Pun tidak akan mentolerir siapapun yang melanggar aturan. semua sama dimata guru konseling itu.

Deva berhenti melangkah, memutar bola matanya malas. Dengan jengah ia membalik badannya menatap tak minat guru konseling yang tengah berjalan menghampirinya sembari berkacak pinggang. Oho jangan lupakan tatapan tajam di balik kacamata kotaknya. Astaga mungkin tatapan itu menggetarkan murid lain, tapi tidak dengan Deva.

"Pukul berapa bel masuk berbunyi Deva?". Seperti biasa, Bu Sukma suka berbasa-basi dengan Deva.

"07.20". Singkat, padat dan benar.

Murid di depannya ini tau betul, kapan bel masuk berbunyi, bel istirahat berdenting, bel pulang terdengar. Namun masih saja merepotkannya yang sudah tak muda lagi ini dengan datang terlambat, hampir setiap hari pula.

"Good, jadi alasan apalagi untuk keterlambatan hari ini?". Alasan Deva selalu sama sebenarnya, ia bangun kesiangan. Tapi memang dasar si Deva irit berbicara. Jadi ia hanya diam.

"Apa?". Nah sekalinya berbicara malah ga nyambung. Bukannya menjawab malah bertanya balik dengan nada kelewat datar.

Tolong tabahkan hati Bu Sukma manteman.

Bu Sukma mengerutkan keningnya. Seakan bertanya lewat mimik mukanya 'Maksudmu?'.

Dalam hati ia sedikit menggerutu kesal, menghadapi murid kepala batu seperti es batu hidup dan berjalan, tapi sialnya sangat tampan ini membutuhkan kesabaran yang ekstra. Tidak ada kapoknya sama sekali.

"Hukumannya".

Bu Sukma menghela nafas pasrah, mengelus pelan dada nya. Sabar, batinnya berteriak.
Hukuman apalagi yang harus ia berikan astaga!

"Berdiri di depan tiang bendera..". Bu sukma belum menyelesaikan kalimasukm tapi Deva sudah berbalik hendak melanjutkan langkahnya.

Sabar. Menghela nafas, lagi. Lalu berteriak.

"Berdiri di depan tiang bendera sampai jam istirahat!".

Bu Sukma menghentakkan kakinya kesal, astaga, baru saja ia di kacangi? Oleh muridnya sendiri?

Back to Deva

Sesampainya di lapangan upacara sekolah, tatapan tajamnya menangkap keberadaan orang lain. Sepertinya dihukum, sama sepertinya. Orang bodoh mana yang mau berdiri di depan tiang bendera tanpa alasan?
Deva mengedikkan bahunya acuh, lalu mulai menjalani hukumannya bersama gadis berwajah pucat disampingnya.

Tunggu, pucat?

Sama sekali bukan urusannya. Tapi hatinya berkata lain, tidak biasanya gadis yang dihukum bersamanya hanya diam seperti ini.
Beberapa kali ia melirik lewat ekor matanya.
Gadis yang tadinya berdiri tegak, kini kepalanya sedikit menunduk. Tidak lama setelahnya

Brukk

Gadis mungil berambut coklat itu terhuyung lalu tergeletak begitu saja, disampingnya.

Deva hanya menoleh sekilas, tidak peduli.

Sebenarnya Deva peduli, tapi mengingat tingkah siswi di sini kelakuannya gila diatas rata-rata. Ia jadi diam.
Banyak siswi yang memilih datang terlambat, berharap dihukum dan bisa dekat dengannya.
Lalu saat dihukum seperti ini, kebanyakan memilih berpura-pura pingsan.

weird memang. karena itu Deva takkan tertipu lagi. Lalu merepotkan dirinya sendiri. Ck memuakkan.

3 menit berlalu dengan ketidak pedulian Deva. Sepertinya matahari bersinar terik pagi ini. awan hanya terlihat seperti bayangan tipis di atas sana.

Kondisi koridor dan lapangan yang sepi membuat tak ada satupun yang tau gadis ini tergeletak lemah di bawah tiang bendera.

Deva kembali melirik, wajah gadis itu semakin pucat dari sebelumnya.

Sial! Deva mengumpat dalam hati. Kenapa ia begitu bodoh membedakan. Gadis ini tidak sedang berpura-pura.





Holaaaaaaa👋
Up lagi ini, janlup dukung dengan votmen ya.
Btw part si ganteng ini lebih panjang sedikit wkwk. /curhat
Kata-kata masih berantakan dannnn tandai juga kalo ada typo.
Dank U 💜

Devalencia (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang