Rumah, Satu minggu kemudian...
"Dari pintu masuk lo lurus aja lima langkah, abis itu ke kiri sampe lo nemu rak server labelnya semeru. Nah-"
"Bentar, stop dulu." Alvin menyela penjelasanku dari seberang sana. Suaranya beradu dengan suara gemuruh dari AC yang bercampur dengan suara ratusan perangkat keras yang menyala di ruang pusat data. "Nggak ada rak semeru disini, yang mana?" tanyanya lagi beberapa detik kemudian.
"Sebelah kiri."
"Nggak ada."
"Ada."
"Mana?"
"Ya disitu."
Aku mulai sewot. Alvin meneleponku malam-malam disaat aku sedang sibuk bersiap-siap untuk berangkat kembali ke Jakarta, menanyakan posisi perangkat server yang aku sendiri lupa-lupa ingat dimana letak persisnya. Aku sudah memberitahunya kalau aku tidak tahu persis posisinya dimana, akan tetapi dia bertingkah menyebalkan menuntutku agar mengarahkannya ke posisi yang tepat.
"Di lo jangan ngerjain gue ya?"
Ya Tuhan. Aku menggerutu dalam hati.
"Sekarang posisi lo dimana?"
"Di dalem."
Aku malah semakin geregetan mendengar jawabannya.
"Maksud gue di data center mana? satu atau dua?"
"Dua."
Argh!
Aku menggeram sembari mencengkeram ponsel dengan kesal. Sampai Anggun C. Sasmi beralih jadi brand ambassador merek sampo lain, dia tidak akan pernah menemukan apa yang dicari. Aku menghela napas agar bisa menahan diri.
"Dengerin gue baik-baik Alvin William Michradj, lo sekarang keluar, masuk data center satu terus lo ulangi dah tadi apa yang gue arahin."
"Ah, kenapa lo nggak bilang dari tadi!"
Aku reflek menurunkan ponsel, bengong menatap layar dengan tatapan tidak percaya. Apa telingaku tidak salah dengar? Bukankah seharusnya aku yang kesal karena diganggu malam-malam begini? Seharusnya dia paling tidak mengatakan terimakasih atau apalah bukannya malah kesal padaku seolah-olah aku yang salah.
"Just typical!"
Aku menekan tombol merah memutus sambungan telepon dengan tenaga lebih besar dari pada yang diperlukan. Dua menit kemudian terdengar bunyi pesan masuk. Alvin mengirimkan gambar perangkat yang dicarinya yang disertai emoji muka bebek yang meniupkan tanda hati berwarna merah. Di bawahnya ditambahkan kalimat.
"Besok gw jemput di stasiun, see u very soon."
Aku tidak menggubris pesannya. Sebaliknya, aku melemparkan ponselku ke tempat tidur dan kembali sibuk mencari-cari kerudung di lemari.
"Bu, ibu lihat kerudungku yang merah itu nggak?" aku berseru sambil berjongkok dengan kepala yang masuk diantara rak lemari. Saat aku berdiri untuk mencari di tempat lain, kulihat ibu sudah berdiri di ambang pintu kamar dengan kerudung merah di tangannya. Seperti baru saja diseterika.
Aku tersenyum sembari menghampiri ibu yang langsung memakaikannya di kepalaku sambil lalu.
"Nggak usah teriak-teriak, sudah malam. Suaramu itu sama mengganggunya dengan suara terompet tahun baru." protes ibu sambil berjalan ke arah tempat tidurku.
Aku terkekeh. "Lihat siapa yang bicara, ibu terbaik sedunia." godaku sembari menyematkan peniti di bawah dagu.
Aku melihat dari pantulan cermin di lemariku, ibu tersenyum tipis. Tangannya sibuk menjejalkan beberapa barang ke dalam ranselku. Saking sudah menjadi kebiasaannya sehingga bisa kutebak beberapa barang itu adalah kotak bekal berisi makanan berat dan camilan untuk di perjalanan, obat herbal pereda mabuk perjalanan meskipun ibu tahu aku jarang sekali mengalami motion sickness, lauk-pauk kering yang bisa untuk persediaan selama tiga hari seperti kering kentang, sambel goreng tempe teri, abon ayam buatan sendiri dan tak pernah ketinggalan sambal terasi dan satu lagi yang menjadi barang wajib yang menurut ibu harus ada, botol sprayer seukuran dua ibu jari orang dewasa berisi cairan merica. Kalian sudah bisa menebak apa yang ibu pikirkan untuk itu, jadi tidak perlu kujelaskan untuk apa barang itu ibu jejalkan di ranselku.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...