Aku duduk di balkon dengan secangkir cokelat panas di tangan. Menatap pemandangan kota Jakarta dari kejauhan dan ketinggian. Gedung-gedung tinggi, kelap-kelip lampu, mobil-mobil yang memenuhi jalanan. Aku sudah lima tahun hidup di kota dengan aktifitas paling sibuk di Indonesia ini. Terlepas dari macet dan sumpeknya, ada saat-saat dimana aku merasa kagum. Kota dimana jutaan orang menggantungkan hidupnya ini sangat indah jika dilihat dari perspektif yang berbeda. Tidak heran jika ada banyak pecinta fotografi yang rela hujan-hujanan, panasa-panasan nongkrong di atap gedung-gedung tinggi, di atas jembatan penyeberangan demi mendapatkan gambar terbaik.
Semilir angin malam yang dingin menerpa tubuhku, membuatku merapatkan sweater saking dinginnya. Aku merasa malu sekaligus kesal, sekaligus marah, sekaligus kecewa. Seandainya aku tahu akan berakhir seperti ini, aku akan melakukan berbagai cara untuk menolak diantar pulang olehnya. Bagi wanita, untuk mengakui perasaannya kepada seorang laki-laki butuh keberanian yang sangat besar. Perasaan malu akan penolakan menjadi alasan mengapa banyak diantara perempuan memilih diam. Mungkin beberapa berusaha memberikan sinyal, jika tidak ada respon, maka perempuan akan menganggap itu sebagai sebuah penolakan. Meskipun bisa jadi tidak semua seperti itu, akan tetapi begitulah wanita pada umumnya, termasuk aku.
Setengah jam yang lalu akhirnya Alvin mengetahui perasaanku dan dia meminta maaf padaku. Malu dan sakit sudah pasti, akan tetapi ada sesuatu yang jauh lebih menyakitkan dari pada itu, kecewa. Kecewa karena bagiku, segalanya terasa tidak adil.
Aku memejamkan mata, tiba-tiba pikiranku teringat akan sesuatu.
Pernah suatu ketika aku terlibat diskusi tentang agenda pasangan hidup dengan seorang teman. Kenyataan bahwa kebanyakan laki-laki menginginkan seorang istri yang harus duduk diam di rumah mengurus urusan rumah tangga membuatku berpikir.
"Kenapa sih cowok itu egois banget?" Tanyaku saat itu, dengan ekspresi yang kurang bersahabat.
"Kita nggak egois, cuma realistis." Jawabnya enteng.
Aku mendesah dengan berlebihan. "Begini,"
Aku memperbaiki posisi dudukku menghadapnya, bersiap menceramahinya.
Seorang istri memang harus patuh pada suami tapi jangan sampai hal itu lantas membutakan mata hati. Ingatlah bahwa sebelum kalian mencerabut dia dari keluarganya untuk dijadikan istri, dia sudah punya kehidupan. Bagian inilah yang akan menentukan seberapa bijak wahai kalian para laki-laki.
"Oh ya? how?"
Tanyanya lagi tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop di depannya. Kali ini nadanya terdengar menyebalkan sekali meskipun aku tahu dia hanya bermaksud menggangguku. Seandainya aku bisa menyiram air ke wajahnya pasti sudah kulakukan.
Melihat itu, aku melanjutkan dengan nada yang terdengar lebih meyakinkan dari sebelumnya. "Listen!"
Selain menikah dengan jodoh yang terbaik, seorang wanita juga memiliki semacam keinginan, oh tidak, kukatakan ini cita-cita, yaitu membahagiakan keluarganya. Tolong catat ini baik-baik, orang tua membesarkan anak perempuannya dari sejak dia lahir sampai akhirnya kalian mengambilnya untuk dijadikan istri. Ada interval waktu yang tidak sebentar dimana dia menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, semuanya termasuk pendidikan.
Mungkin tidak akan menjadi masalah jika dia berasal dari keluarga mampu secara finansial. Aku cukup yakin orang tuanya tidak akan menaruh harapan yang begitu besar bahwa kelak pada suatu hari anaknya akan bisa membantu meringankan beban mereka secara finansial. Dan sebagai anak mungkin pikirannya tidak akan terlalu terbebani dengan keinginan untuk memberikan nafkah pada keluarganya karena mereka sudah hidup berkecukupan. Dia bisa berfokus untuk memikirkan masa depannya, hanya masa depannya.
Kenyataan ini sangat bertolak belakang ketika seseorang terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Hidup yang ditempuh tidaklah mudah. Mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi adalah suatu pencapaian yang amat luar biasa. Terkadang, meskipun tidak terucap oleh kata-kata, orang tua yang membesarkan anaknya dengan susah payah menaruh harapan besar bahwa suatu saat bisa sedikit meringankan beban mereka. Hal inilah yang kemudian sering kali menjadi sebuah tantangan sekaligus ketakutan yang membebani pikiran perempuan yang harus memilih antara mengutamakan kebahagiaan keluarga atau mengikuti standar norma yang berlaku di masyarakat: perempuan tidak seharusnya bekerja.
"Do you understand?"
Dia mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Menatapku sambil mengernyitkan dahinya. Saat itu kami sedang berada di sebuah kedai kopi, menunggu seorang teman yang lain.
"It's your story, isn't it?"
Dia bertanya serius meskipun beberapa detik kemudian ada seulas senyum tersungging di wajahnya. Mungkin tujuannya hanya bercanda saja tapi itu berhasil menohokku.
Memang benar, itu yang terjadi padaku. Terlebih aku tidak melihat kesempatan besar di sekitarku. Ayahku anak tunggal yang sudah yatim piatu sejak umur lima tahun. Aku punya kakak sepupu yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama begitupun kerabatku yang lain. Tidak ada yang berprofesi seperti Dokter, TNI, Polisi, Politisi, Pegawai Negeri, Pegawai Kantoran atau semacamnya yang menurut kebanyakan orang disebut-sebut sebagai profesi terhormat. Karena itulah aku bertekad dalam hati bahwa setelah aku, aku tidak ingin melihat keturunan yang rapuh, bodoh, miskin!
Ketiga adikku adalah harapan kami untuk memutus rantai itu, adikku yang pertama Bagus, sedang kuliah pasca sarjana di sebuah universitas yang terletak di kota pelajar sana. Adikku yang kedua, Abimanyu menyusul kakaknya ke kota Pelajar menjalani statusnya sebagai Mahasiswa Kedokteran. Sementara adikku yang ketiga, Aziz kelas Tiga Sekolah Menengah Pertama dan semenjak kepergian bapak, dia memutuskan untuk menuntut ilmu jauh dari rumah, ratusan kilometer jaraknya. Cita-citanya ingin berkuliah di Kairo, menjadi Pendakwah. I'm so proud of them and I love them in to pieces.
Ada begitu banyak agenda di kepalaku, orang tuaku sudah hidup susah semenjak lahir maka sudah menjadi kewajibanku untuk membuat mereka hidup sejahtera di masa tuanya, karena ayahku sudah tiada otomatis menyekolahkan adik-adikku menjadi tanggung jawabku, rumahku tinggal menunggu ambruknya saja, maka keinginan terbesarku adalah memperbaiki segalanya.
Karena itulah aku tidak ingin semua rencanaku itu berakhir berantakan begitu saja hanya karena seorang lelaki yang tidak bijaksana. Tidak peduli seberapa kuat aku menginginkannya, aku tidak akan pernah mau hidup dengan orang seperti itu apalagi meninggalkan keluargaku dalam keadaan sama seperti saat ini. Aku sudah hidup mandiri secara finansial sejak menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama, mobilitasku sangat tinggi, aku bukan pengangguran yang hanya bisa menunggu pemberian orang tua, ada begitu banyak hal yang harus kulakukan dari pada duduk diam di rumah. Jadi, become such a kind of indoor wife bukanlah suatu potensi yang bisa dibayangkan ada pada diriku.
"Thank you very much!"
Aku menandaskan minumanku hingga tetes terakhir lalu meletakkan gelas ke atas meja dengan tenaga lebih besar dari yang dibutuhkan. Aku lega akhirnya unek-unekku tersalurkan meskipun agaknya lawan diskusiku kurang setuju dengan argumen yang kusampaikan, tapi aku tidak peduli toh jika mengacu pada wanita idamannya, aku sama sekali bukan tipenya. What was that? Wanita berparas teduh, berjilbab syar'i, bertutur kata lemah lembut, bacaan alqur'annya bagus, bisa menjadi full time mother and everything that only exist on Men's mind. Lagi pula dia juga bukan tipeku, setidaknya dengan mempertimbangkan dari cara berpikirnya tentang wanita idamannya.
"Diana," tanpa diduga dia meraih kedua bahuku menatapku tajam dan berbicara dengan nada serius. "Aku janji jika aku tidak menemukan wanita impianku itu, aku akan menikahimu."
Aku menelan ludah, saking seriusnya aku hampir saja mempercayai kata-katanya sampai kemudian ada seulas senyum jahil di wajahnya. Aku seketika menyentakkan tangannya, kesal.
"Get your hands off!"
Lawan debatku saat itu adalah Alvin. Seseorang yang menginginkan perempuan sempurna untuk dijadikan ibu dari anak-anaknya kelak, yang membuatku harus mendebatnya habis-habisan.
Aku beranjak dari dudukku, meraih ponsel, menyentuh beberapa tombol.
"Hallo, Hannah, I change my plan."
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...