DEMO

117 14 1
                                    

"Jadi bisa nggak?"

Tatapan mata pak Sony yang saat itu tengah duduk membelakangi layar proyektor tajam menghunus ke arahku. Dan itu menular pada semua orang yang saat itu berada di ruang rapat.

"Um, mohon izin pak. Kebetulan beberapa orang di tim kami beberapa hari ini tidak bisa masuk ke Jakarta efek dari demo yang sedang terjadi. Jadi mungkin kita akan mengalami sedikit keterlambatan," Aku mencoba menjelaskan.

"Bukan berarti mereka tidak bisa bekerja dari luar Jakarta, bukan begitu?"

Aku mengangguk menyetujui pemikirannya. "Betul pak," Tapi aku harus tetap membela timku apapun yang terjadi. "Karena itulah kami sedikit melenceng dari waktu yang ditetapkan."

"Berapa lama lagi?"

"Tujuh hari." Jawabku yakin. "Kita akan siap dalam tujuh hari."

"Tiga hari."

Aku hanya bisa meronta-ronta dalam hati sementara di luar aku harus bisa bersikap tenang, tidak boleh menunjukkan keputusasaan meskipun dibawah tekanan. Tiga hari dari Hongkong?

"Lima hari pak, sudah termasuk pengujian." Aku mencoba bernegosiasi.

"Empat hari sudah temasuk pengujian. Tidak ada tawar menawar lagi."

Aku diam sejenak sebelum menjawab. Memikirkan apakah waktu empat hari masuk akal untuk menyelesaikan sebuah sistem yang menurut perhitungan orang normal membutuhkan waktu lebih dari pada yang diberikan.

"Bagaimana?"

"Empat hari." Jawabku dengan nada merenung sembari mengangguk lemah.

"Bagus. Kita bertemu disini dalam empat hari lagi. Rapat selesai, terimakasih atas waktunya."

Semua orang beranjak meninggalkan ruang rapat kecuali aku sendiri yang masih duduk merenung menekuri meja. Empat hari kedepan akan menjadi mimpi buruk bagi timku.

"Aku yakin kalian pasti bisa."

Pak Sony menepuk punggungku pelan ketika berjalan melewatiku namun aku tidak menenggapi. Tidak memaksakan sebuah senyum apalagi mengatakan sesuatu. Tanganku terulur meraih ponsel, membuka aplikasi pesan lalu mengetikan sesuatu di salah satu grup chat.

"4days it is."

Setelah itu aku berjalan dengan langkah lunglai ke meja kerjaku berharap bisa menemukan apa saja yang bisa sedikit meringankan sakit kepala.

"Apaan si demo nggak jelas. Bikin susah orang aja."

Rina mengomel dari tempatnya duduk ketika aku sampai di meja kerjaku.

"Kenapa si Rin?" Tanyaku sembari menarik kursi.

"Suami gue nggak bisa pulang lagi. Udah tiga hari kejebak di kantornya."

"Seriusan?"

Aku memutar kursiku seratus delapan puluh derajat menghadap layar televisi yang saat itu menayangkan kondisi terkini aksi demo terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia yang sudah berlangsung berhari-hari itu.

"Temennya nekat keluar eh kena sasaran amukan. Gue rasa mereka bayaran atau orang-orang yang mau numpang bikin rusuh aja. Gila korban nggak bersalah udah banyak banget."

Kondisinya memang separah yang digambarkan Rina. Kantor kami, meskipun tidak berada di wilayah yang terdampak secara langsung, sampai harus dijaga oleh puluhan aparat kepolisian dan kami semua diinstruksikan untuk tidak memakai seragam saat bekerja untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

"Tapi suami lo aman-aman aja kan?"

"Syukur masih aman asal mereka nggak tiba-tiba makin kalap terus kantor suami gue ikutan dibakar aja."

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang