Empat puluh lima menit kemudian aku sudah berdiri di depan pintu apartemen Alvin, membunyikan bel beberapa kali sembari menunggu dengan gelisah. Namun mataku melebar kaget saat pintu terbuka dan yang kulihat di depanku adalah orang lain, Julie.
"Hai," sapaku sambil menyunggingkan sebuah senyum. Berharap suaraku terdengar ringan dan senyumanku terlihat normal.
"Oh, hai!" balasnya sama ringannya denganku. Namun aku bisa melihat keheranan di wajahnya.
Untuk beberapa saat aku hanya bisa diam. Kecemasanku sepanjang perjalanan kemudian tergantikan oleh perasaan lain yang kusebut itu rasa penasaran. Aku penasaran kenapa Alvin memintaku datang disaat ada dia disini? Apakah karena ada Julie?
"Di, is that you?" satu suara terdengar seiring dengan sosok Alvin yang muncul di belakangnya.
Julie menggeser tubuhnya sedikit lalu aku melangkah masuk sambil tersenyum ke arahnya. "Terimakasih,"
"Sori, baru nyampe, macet banget tadi." gumamku sambil menyerahkan kunci mobil pada Alvin.
"Nggak masalah," katanya sambil mengayunkan tangan dengan lemah. Lalu berjalan menuju sofa panjang dan menjatuhkan tubuhnya disana. Dia terlihat sangat lemah, wajahnya pucat, bibirnya kering namun masih berusaha bangkit untuk menghampiriku.
"How're you feeling?"
"Much better."
"Kamu masih lemah dan demammu masih tinggi mas,"
Aku melihat mata Alvin beralih pada sosok yang berbicara di belakangku yang sedang berjalan ke arah dimana aku dan Alvin duduk. Aku menoleh ke arahnya ketika kemudian dia sudah duduk di salah satu sofa.
"Mas Alvin alergi ikan salmon dan sukini." Katanya memberitahuku yang membuatku langsung mengalihkan tatapanku darinya, menatap Alvin dengan tatapan yang seolah mengatakan 'kenapa lo nggak bilang?' atau 'kenapa selama ini gue nggak tau?' entahlah.
Alvin mengangguk. "Ya benar, tapi aku udah baik-baik aja sekarang, sungguh."
"Kamu harus banyak istirahat dan minum banyak air putih, untung bisa segera dimuntahkan kalau enggak-"
Apapun kalimat yang akan diselesaikan oleh Julie tidak pernah terucap karena Alvin buru-buru menyela.
"Baiklah bu dokter," katanya dengan nada menyerah sembari mengangkat kedua telapak tangannya. "Aku janji akan banyak istirahat dan minum banyak air putih, Diana yang akan memastikan aku melakukannya-" Dia mengalihkan tatapannya padaku yang duduk di depannya sambil tersenyum. "Bukan begitu, Di?"
Aku melirik ke arah Julie sebentar lalu mengangguk. "As you wish."
"See?" katanya sambil menyeringai pada Julie. "Kamu punya cukup banyak pasien yang perlu dicemaskan, jadi nggak perlu mencemaskanku terlalu berlebihan begitu, oke?"
"Baiklah," timpal Julie setelah terlihat berpikir cukup lama. Dia lalu menoleh ke arahku sebelum akhirnya berdiri. "Karena aku nggak bisa meninggalkan pasien-pasienku terlalu lama, jadi sebaiknya aku pergi sekarang."
"Kabari aku kalau udah sampai rumah sakit." pinta Alvin saat Julie sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.
"Sure!"
Aku berdiri karena melihat dia sepertinya akan segera berpamitan.
"Mbak Diana terimakasih karena sudah datang, hubungi aku kalau terjadi sesuatu." ucapnya seraya memelukku.
"Ya, tentu. Hati-hati di jalan, Julie." gumamku sambil tersenyum sementara dia membalas dengan anggukan.
Aku mengantarnya sampai pintu dan berdiri sejenak disana setelah Julie benar-benar pergi. Tiba-tiba aku merasa tidak enak saat melihat bagaimana cara Julie menatapku, seperti ada sesuatu yang sedang berusaha dia sembunyikan. Aku tidak bisa menjelaskan apa itu tapi terkadang naluri seorang perempuan bisa merasakan perasaan yang sedang dirasakan oleh perempuan lain hanya dari sorot matanya, bukan? Dan naluriku merasakannya beberapa saat yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...