LAMARAN YANG MENYELAMATKAN

136 15 4
                                    

Kami sampai di rumah Andre empat puluh menit kemudian. Sepanjang perjalanan, Chris berkali-kali meminta maaf dan berjanji bahwa dia yang akan meminta maaf kepada orang-orang ketika sampai nanti. Aku sudah memberitahunya bahwa aku telah menghubungi Andre kalau kami akan datang terlambat dan Andre memaklumi, namun Chris tetap bersikukuh, dan aku tidak bisa menolak keinginanya.

"Selamat siang," sapa Chris pada semua orang dengan senyum lebar. "Aku benar-benar minta maaf sudah datang sangat terlambat dan membuat kalian menunggu."

"Nggak masalah, kebetulan istriku baru selesai masak jadi kalian datang tepat waktu." Sahut Andre sambil berdiri.

Lalu Chris menyapukan pandangannya pada pakaian yang dikenakan orang-orang kemudian menunduk memandangi dirinya sendiri dan berkata.

"Juga maafkan pakaianku yang kurang pantas ini." dia menunduk menatap pakaian yang dipakainya.

"Jangan khawatir, nggak perlu mencemaskan tentang pakaian, Chris." Lalu Andre mengalihkan perhatiannya padaku yang berdiri di belakang Chris sambil tersenyum meledek. "Aku yakin Didi yang memaksamu supaya datang kemari, katanya dia sudah nggak sabar ingin mengenalkanmu pada anakku."

Aku langsung melototkan mataku sambil mengucapkan kata tanpa suara "Di-em Lo!"

"Have a seat." pinta Andre kemudian, mengabaikanku.

Chris duduk mengikuti permintaan Andre setelah menyapa semua orang satu per satu, sementara aku langsung meminta izin untuk ke dalam, juga setelah menyapa semua orang termasuk Alvin dan Julie, yang penampilannya sangat bertolak belakang dengan kami yang membuat Chris sampai harus meminta maaf pada Andre.

Aku segera melesat masuk ke dalam, menyapa beberapa orang yang saat itu sedang sibuk di dapur lalu segera menuju ke sebuah ruangan di dekat ruang TV.

Andre memang bukan muslim, akan tetapi aku sangat takjub dengan jiwa toleransinya. Dulu waktu kami masih sering menghabiskan waktu bersama-sama di Jakarta, justeru dialah yang sering mengingatkan aku dan Alvin untuk beribadah. Jadi aku tidak heran jika Andre menyediakan satu ruangan khusus di rumahnya lengkap dengan seperangkat alat sholat untuk memfasilitasi orang-orang yang bertandang ke rumahnya supaya tidak meninggalkan kewajibannya.

Dan aku terkejut setengah mati saat membalikkan badan untuk meletakkan mukena pada tempat semula. Sesosok bocah kecil dengan mata hitam bulat, pipi gembul seperti bakpao, rambut hitam lurus dengan poni yang hampir menutupi alisnya sudah duduk manis sambil tersenyum.

"Ya Tuhan!" aku meletakkan tanganku di atas dada. "Rahul, kamu bikin tante jantungan."

"Tante Didi...." Pekiknya.

Aku nyaris terjengkang ke belakang saat bocah dua setengah tahun itu menghambur ke arahku dan memelukku.

Setelah melepas kangen, aku membawanya ke luar menuju beranda belakang, dimana semua orang berada. Ternyata mereka sudah asyik mengobrol, saat aku muncul dengan Rahul semua perhatian langsung tertuju pada kami.

"Ayo kenalan sama teman-teman tante." aku mengajaknya mendekati Chris.

"Halo Uncle, namaku Rahul," sapanya sambil meraih tangan Chris lalu menciumnya.

Chris meneriman uluran tangan Raul dengan tatapan takjub.

Aku terkekeh saat melihat Dini melototkan matanya saat mendengar anaknya sendiri menyebut dirinya Rahul. Aku tahu Dini sangat tidak suka dengan hal-hal berbau Bollywood jadi aku sengaja menggodanya saat pertama kali menjenguk anaknya dua setengah tahun lalu dengan memanggilnya Rahul, Plesetan dari Raul, nama yang sebenarnya. Akan tetapi malah keterusan hingga sekarang, Dini bahkan pernah meneleponku malam-malam untuk meminta pertanggung jawabanku karena dokter yang menangani persalinannya salah menulis nama Raul jadi Rahul di surat kelahirannya. Alhasil aku harus bolak balik menemani dia menemui si dokter untuk mengoreksi nama anaknya itu.

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang