Wajahku masih terasa panas bahkan setelah terkena paparan suhu dingin dari kulkas yang kubuka pintunya saat aku duduk menjeplak di depannya, melamun sambil memasukkan bahan makanan ke dalamnya. Aku mengangkat tangan kiriku dan meraba cincin yang tersemat di jari manis dan bertanya-tanya dalam hati, apakah ini nyata? Dia akan menemui keluargaku minggu depan? Oh ya Tuhan... aku harus segera memberitahu ibu.
Aku berjalan menuju sofa dimana tasku tergeletak, tepat pada saat itu ponselku berdering. Aku segera mengambil tas dan mengeluarkan ponsel dari sana. Kedua mataku melebar. Chris memanggil. Aku berdeham beberapa kali sebelum menyentuh tombol jawab.
"Ah, you're exist!" serunya riang dari ujung sana begitu aku menempelkan ponsel ke telinga.
"It's you, are the most phantom like!" aku berseru balik dengan nada jengkel. Mengacu pada kebiasaannya yang suka menghilang tanpa kabar.
Kudengar dia tertawa dan aku tersenyum tanpa kusadari.
"It's over midnight and you're still up. Apakah aku merampas waktu istirahatmu?" guraunya. Meskipun suaranya terdengar ceria aku bisa mendengar ada kelelahan disana.
Aku terkekeh.
"A little." sahutku sambil memungut sisa barang belanjaan yang teronggok di depan pintu. "Honestly, I was going to call you." Aku langsung memejamkan mata sembari menggigit bibir menyesali seharusnya aku tidak perlu memberitahunya. Bodoh!
"Then why you didn't?"
Aku lega karena itu artinya panggilanku yang tidak terjawab itu tidak tercatat di ponselnya. Setidaknya dia tidak tahu kalau aku berusaha meneleponnya berkali-kali.
"Um, I don't know. Ada apa kamu menelepon malam-malam begini?" aku balas bertanya lalu berjalan memasuki kamar, melepas kerudung dan duduk di depan cermin.
"Aku hanya penasaran apakah harapanku terkabul atau tidak. Dan aku senang karena ternyata harapanku menjadi kenyataan."
"Harapanmu yang mana?"
"Kamu mungkin mencemaskanku." guraunya.
Aku mencibir. Menekan ikon speaker dan meletakkan ponsel di atas meja rias. "No." elakku tegas.
"Kalau begitu mungkin kamu merindukanku." dia mengubah pernyataannya, membuatku nyaris tergelak.
"Not a whit!"
"As I guessed." gumamnya dengan nada seolah terpaksa menerima jawabanku apa adanya. "Ngomong-ngomong, kamu tidak marah padaku kan?"
"Kenapa aku harus marah padamu?" aku bertanya balik sambil mengaplikasikan susu pembersih ke wajah.
"Because I AGAIN disappear for days without contacting you and my cell phone was out of reach when you contacted me." Jeda selama beberapa detik. "For several times."
Oh, sial!
Aku bisa membayangkan dia pasti sedang tersenyum penuh kemenangan sembari mengatakan itu. Aku tertangkap basah dan kini harus berpikir keras untuk membalasnya. Tidak tahu apa yang harus kukatakan, akhirnya aku mengaku. Padanya juga pada diriku sendiri.
"Scary, isn't it?"
"I'm wondering what was all about."
"I'm getting married," kataku setelah ragu beberapa saat. "That was all about."
Aku menutup mata bersiap untuk menerima judgement darinya, yang mengatakan bahwa mungkin aku telah salah mengambil keputusan. Aku egois, hanya memikirkan diri sendiri, menutup mata dengan semua kemungkinan buruk yang mungkin akan terjadi. Tapi semoga dia mendukungku kali ini sehingga aku tidak terlalu merasa ragu dengan keputusan yang telah kuambil.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
Roman d'amourUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...