"THE PROPOSAL"

104 13 3
                                    

Alvin tidak menghubungiku sama sekali. Aku kesal bukan kepalang. Bukan karena dia tidak menghubungiku akan tetapi lebih karena kenyataan bahwa aku mendapati diriku sendiri berharap dihubungi olehnya.

Aku pergi dari rumahnya tanpa pamit pada siapapun. Bukankah seharusnya dia merasa khawatir padaku, menanyakan apa yang terjadi dan sebagainya? Otakku sudah berimajinasi sampai kepada kemungkinan dia akan menyusulku ke bandara, jatuh bangun berusaha mengejarku dengan kecepatan penuh, menanyai semua orang, menerobos petugas keamanan seperti di filem-filem. Akan tetapi pada kenyataannya, adem ayem. Akulah yang bereaksi terlalu berlebihan.

Pertanyaannya sekarang adalah apa yang sebaiknya kulakukan jika bertemu dengannya? Apakah aku harus minta maaf padanya? Bagaimana kalau selanjutnya dia tidak menanyakan kenapa aku kabur dari rumahnya? Atau yang lebih parahnya lagi ternyata dia tidak menganggap tindakanku kemarin itu sebagai sesuatu yang serius. Aku pasti akan malu sendiri.

Aku tidak bisa tidak memikirkan Alvin, sungguh. Saking gemasnya, aku bahkan sempat mampir ke meja kerjanya pagi tadi sebelum aku ke meja kerjaku sendiri untuk memastikan apakah dia masuk kerja atau tidak. Tentu saja aku beralasan ingin bertemu dengan seseorang disana, ketika aku memerhatikan meja kerjanya dan sudah ada tas ransel teronggok disana, naiklah rasa kesalku sampai ubun-ubun.

"Baiklah Diana, jangan bicara apapun. Lihat saja sejauh mana dia akan seperti itu, biarkan dia memulai lebih dulu." Rutukku dalam hati. Meskipun aku pesimis jika ini sebuah pertandingan, aku akan menang.

Ting!

Pintu lift terbuka.

Speak of the devil!

Lihat siapa yang saat ini sedang berdiri tepat di depan lift? Alvin. Mata kami bersitatap sebentar sebelum akhirnya dia masuk. Aku yang tadinya berdiri tepat di tengah lift bergeser ke sisi kanan sementara Alvin mengambil tempat di sisi kiri. Tangannya memencet angka tiga. Dia tersenyum pada laki-laki yang berdiri menghadap pintu namun sama sekali tidak menyapaku ataupun tersenyum padaku, aku sudah seperti makhluk tidak kasat mata baginya. Kulihat dia hanya memainkan ponselnya sembari memerhatikan ke arah monitor yang angkanya terus bergerak turun. Saking kesalnya aku tidak sadar bahwa aku mencengkeram pensil dengan tenaga yang lebih besar dari pada yang dibutuhkan.

Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka. Laki-laki tadi meminta izin untuk keluar yang diiyakan dengan anggukan kepala oleh Alvin. Sementara aku hanya tersenyum tipis. Sekarang hanya ada kami berdua di dalam lift. Namun dia masih diam seribu bahasa dan aku tidak suka dengan keadaan seperti ini. Aku memandangi monitor dengan gelisah berharap pintu lift terbuka di lantai mana saja supaya aku bisa keluar dari situasi mencekam ini.

Dengan tidak mencolok aku mengamatinya yang sedang memasukkan ponsel ke saku celananya, dia lalu memutar badannya sembilan puluh derajat menghadapku. Membuatku tiba-tiba dilanda gugup. Sedetik kemudian dia mulai membuka mulutnya, berbicara dengan nada yang sangat pelan nan tenang.

"Diana, kita harus bicara."

Pembaca yang budiman, apakah kalian bisa membayangkan apa yang kurasakan saat ini? hatiku seketika bersorak gembira. Aku seperti terlepas dari beban puluhan kilo yang sedari tadi menggelayut di bahuku. Tapi aku harus menahan diri bukan? Seharusnya aku _setidaknya_ tersenyum riang tapi tidak akan kulakukan. Aku tidak ingin dia mengetahui kalau aku menunggu-nunggu momen ini.

"Not here." Balasku dingin.

Tepat pada saat itu aku seperti merasakan sesuatu seperti lonjakan kecil dan saat mataku reflek melihat ke arah monitor, angkanya berhenti di angka tujuh. Aku mulai sedikit panik, aku tahu hal seperti ini bukanlah sesuatu yang baik. Lima detik kemudian terdengar suara dari interkom.

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang