"See, it's done!"
Kata Alvin pada Rina sambil memencet tombol enter lalu mendongakkan kepalanya ke kanan atas. Aku bisa melihat ekspresinya yang sedikit terkejut saat menyadari aku sudah berdiri di belakangnya.
Aku sampai di kantor setengah jam kemudian dan mendapati Alvin sudah berada di meja kerjaku, sibuk melakukan ini dan itu dengan komputerku dengan Rina yang dengan seksama memperhatikan di belakangnya. Dua bulan yang lalu hal seperti ini amat sangat biasa dilakukannya, bahkan dia sampai hapal di luar kepala susunan folder penyimpanan berikut isinya baik yang berisi file pekerjaan maupun file pribadi. Namun setelah semua yang terjadi yang membuat hubungan persahabatanku dengannya mengalami fase hiatus, terasa aneh hari ini aku melihat dia duduk di kursi kerjaku tanpa permisi lebih dulu seakan-akan tidak ada yang terjadi diatara kami. Entah kenapa ada bagian kecil di hatiku yang tidak bisa menerima tindakannya, bagaimanapun juga aku dan dia sedang berada di fase dimana dia tidak bisa dengan seenaknya menggunakan propertiku tanpa izin, meskipun mungkin dia melakukan itu hanya untuk menghindari kecurigaan Rina tetap saja dia seharusnya _paling tidak_ meminta izin terlebih dahulu. Aku bisa melihat dia berdiri dengan canggung meskipun mungkin dia sudah berusaha untuk sebiasa mungkin.
"It's not a big deal," katanya sembari mengayunkan tangannya. "Cuma kerjaan orang iseng."
"Berarti udah normal lagi sekarang?" tanya Rina sambil duduk di kursiku sembari mengecek hasil kerja Alvin.
"Yep." dia mengangguk mantap lalu mengalihkan perhatiannya padaku. "Oh ya Di, log sama screencapture udah gue simpan di tempat biasa nanti lo sama Rina bisa bikin laporan kejadiannya." lanjutnya dengan nada yang terdengar ringan. Tapi kemudian tatapannya berhenti beberapa detik pada jariku yang tersemat cincin berlian seharga 250 juta itu lalu beralih menatap wajahku dengan tatapan dingin selama tiga detik sebelum akhirnya dia tersenyum kecil, mengangkat tangan kanannya dan menepuk lenganku tanpa mengatakan apapun lalu pergi. Aku hanya bisa bengong sambil menatap punggungnya sampai benar-benar hilang dibalik pintu sebelum kemudian Rina mengagetkanku dengan pertanyaannya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar monitor.
"Diana, ini bacanya gimana? Gue nggak ngerti"
***
"Mbak Diana, aku duluan ya?"
"Ya," aku mengangkat wajah menjawab sambil tersenyum saat salah satu juniorku menyapa saat hendak keluar dari toilet. Lalu aku kembali menunduk mengamati cincin yang melingkari jari manisku. Cincin terkutuk ini beberapa saat yang lalu telah membuat Alvin tertegun selama beberapa detik.
Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya akan tetapi hal itu entah kenapa membuatku merasakan suatu perasaan semacam kesenangan, kemenangan atau entahlah aku tidak bisa menjelaskannya, yang membuatku tiba-tiba meragukan sesuatu. Empat puluh menit yang lalu aku mengutuk cincin ini yang tidak bisa lepas dari jari manisku dan bersumpah akan langsung melepaskannya begitu ada kesempatan. Bahkan sebelum aku tahu harganya yang membuat sakit kepala itu, aku berniat akan mengantarkannya langsung ke rumah barunya di TPA bantar gebang. Namun kejadian sepuluh menit yang lalu membuatku ragu, apakah sebaiknya aku melepaskannya atau membiarkannya. Aku harus melepaskannya karena aku tidak ingin membuat kehebohan karena orang-orang akan menganggapku sudah bertunangan dan akan memberondongku dengan berbagai macam pertanyaan yang akan sulit kujawab. Akan tetapi di lain pihak tiba-tiba aku merasa perlu memakai cincin ini untuk mengelabui Alvin atau entahlah. Aku tahu bahwa aku sudah berpikiran di luar kewarasan sekarang, atau aku mungkin sebenarnya sedang mengelabui diri sendiri karena rasa senang yang semu yang tiba-tiba terbit beberapa menit yang lalu itu?
Aku mengamati bayanganku di cermin selama beberapa saat sambil berpikir mungkin memakai cincin ini sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Diantara semua perempuan di Mall itu kenapa laki-laki itu meminta tolong padaku lalu kenapa cincinnya tidak bisa dilepas padahal tidak ada kesulitan ketika laki-laki itu menyematkannya di jariku. Cincin ini memberikan kesenangan dan sedikit kekuatan padaku di depan Alvin, meskipun aku tahu itu semu.
"Diana, no no no." aku mendesah pelan sembari menggeleng-gelengkan kepala berusaha menyangkal jalan pikiranku sendiri. "Aku tidak semengenaskan itu." aku masih cukup waras untuk tidak melakukan hal-hal yang membuat orang mengira aku sudah bertunangan dengan seseorang.
Aku harus segera mengembalikannya pada Chris, maka aku mengulurkan tangan menyalakan kran air lalu mulai mengusapkan sabun dan cincin itu akhirnya bisa terlepas dengan mudahnya. Aku menyadari rasa ragu itu kembali menyerangku, maka aku segera mengambil ponsel dari saku bajuku menyentuh beberapa tombol untuk mengirim pesan pada Chris, aku tidak mau berpikir semakin gila.
"Aku berhasil melepaskan cincin terkutuk ini, jadi mari kita bertemu. Kamu yang memilih tempatnya kali ini."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...