BUKU DAN KAMERA

154 14 4
                                    

"Hei, you. Lady Dai!"

Terdengar suara orang berteriak entah dari arah mana asalnya saat aku sedang sibuk melihat-lihat buku yang berjejer rapi di salah satu stand buku yang bertajuk Terlalu Indah Dilupakan. Saat itu aku sedang berada di suatu acara pameran buku bekas di salah satu sudut kota Jakarta.

Hanya satu orang di dunia ini yang memanggilku dengan sebutan itu, kepalaku menoleh ke kanan kiri belakang namun aku tidak menemukan orang itu. Mungkin ada orang lain disini yang dipanggil dengan nama yang sama, bisa jadi. Jadi aku hanya mengangkat bahu dan melanjutkan kesibukanku melihat-lihat buku. Namun beberapa detik kemudian aku merasakan pundakku ditepuk. Saat aku menoleh, Chris sudah di belakangku.

"Hei, I'm calling you." Sapanya dengan napas terengah-engah.

"What are you doing here?" tanyaku sembari menatap beberapa detik ke arah kamera yang tercantol di lehernya. Aku sempat terkejut untuk beberapa saat karena tidak menyangka akan bertemu secara kebetulan dengannya disini.

"I am uh, just strolling around."

Aku hanya mengangguk-angguk mendengar jawabannya.

Chris mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan bertanya. "Are you alone here?"

"I am."

"Can I come along with you, then?"

Aku menatapnya dengan mata disipitkan. "Why?" tanyaku langsung.

"Easy. Because I'm new here and I'm alone and I don't wanna get lost." Jelasnya dengan penuh percaya diri sambil tersenyum senang.

"Why should I?" Aku menegaskan.

"Because you can't stay away from me."

Aku menatapnya dengan alis berkerut tidak mengerti.

"I'm Hannah's brother in law and you're her bestmate." Jelasnya.

Mulutku terbuka sedikit mendengar penjelasannya dan sekaligus menyadari aku hampir saja salah mengerti maksud ucapannya. Namun sebelum aku mengatakan sesuatu dia sudah menambahkan.

"And also I'm pretty sure Jimmy has asked you something I don't know but I believe..."

Tidak tahu apa yang harus kukatakan dan dia sudah menyebut-nyebut nama Jimmy membuatku semakin sulit untuk berkelit jadi aku memotong ucapannya dan menyerah.

"Baiklah ayo kita pergi!" desahku tanpa peduli dia akan mengerti yang aku katakan atau tidak.

***

"So, you read classics?"

Aku menunduk menatap bungkusan plastik berisi beberapa buku klasik incaran yang berhasil kudapatkan dari pameran tadi sebelum menjawab. "No. I just like to look smart when people come to my house and see them neatly arranged on the shelf." Aku bergurau.

Aku bisa melihat dia menyeringai dari balik kameranya mendengar gurauanku. "I'm wondering how neatly they lie on your shelf."

Aku terkekeh. Saat itu kami sedang berdiri di atas jembatan penyeberangan terpanjang di Jakarta. Dia sibuk membidikkan kameranya ke hal-hal yang dianggapnya menarik seperti ke arah gedung-gedung pencakar langit, jalanan dengan mobil yang berlalu lalang dan papan-papan iklan yang bertebaran di sepanjang jalan.

"Why do you read classics?"

"May be the same reason why you ride classics." Jawabku.

Dia mengendarai mobil klasik berwarna merah mengkilap kemana-mana. Termasuk saat menjemputku di kantor di hampir setiap jam makan siang yang mana selalu menarik perhatian orang-orang di sekitar.

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang