⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀"mau pulang bareng?"⠀aku langsung menyambar, "ngga usah."
sekolah udah selesai beberapa saat lalu, diwarnai segerombolan raga yang wara-wiri ingin kembali. harusnya, jevan juga seperti mereka adanya. tapi nyatanya, taruna satu ini masih kekeuh buat ngajakin aku pulang bareng katanya.
"ayo, gua maksa," ucapnya.
"ngga, bentar lagi kak aji jemput," jawabku sambil berharap dalam hati si empu yang daritadi ku tunggu buat nampakin batang hidungnya.
aku baru nyadar, ternyata taruna itu berdiri sambil nenteng helm dan make jaket yang tadi pagi ku pinjemin.
"oy dra! belum balik lo?"
aku ngerutin kening sekilas sambil mandangin kedatangan raka. raka sama jevan sejak kapan akrab banget? soalnya, kalau di kelas mereka keliatannya untuk bertukar sapa aja susah. ah, tapi bukan urusanku juga sih.
"jangan manggil andra, anjir," kata jevan.
alih-alih ngejawab gerutuan jevan, pemuda ber-asma raka ini malah ngeliatin aku. mana ngeliatnya tajem banget lagi.
"sejak kapan kalian akrab?" tanya raka ke aku.
itukan pertanyaanku, bedanya kali ini konotasinya malah ditujukan buatku sendiri. ini matahari yang tambah terik atau suasananya yang emang jadi lebih panas? gerah banget gusti. kayaknya ini bentukan nyata dari perumpamaan, jika tatapan bisa membunuh, maka pasti aku sudah mati.
aku ngebales tatapan raka ngga kalah sengit, "akrab juga nggak."
untungnya berselang beberapa detik setelahnya, kak aji dateng. aku yang udah ngga mikirin apa-apa bahkan untuk sekedar pamitan ke jevan langsung buru-buru nyamperin cowok berpipi tirus itu di depan gerbang sekolah. kebetulan tadi kami berdiri di depan pos satpam yang ngga terlalu jauh dari gerbang.
"kak aji!"
aku nyium punggung tangan kanan kak aji, dia senyum dan ngeberantakin rambutku. "gimana, sekolahnya?" tanyanya sambil nyodorin helm.
habis make helm sambil dibantu kak aji, aku langsung nangkring di belakang punggungnya. "kaya biasanya."
"tadi kayaknya kamu ngobrol sama cowok, pacarmu ya?"
"siapa? raka? dih, amit-amit."
laju motor seketika berkurang waktu ada kucing yang nyebrang jalan, disusul aku yang agak terhantuk ke depan.
kudenger kak aji ketawa, meski gaterlalu jelas entah ngetawain ucapanku atau ngetawain aku yang kejedug belakang helm dia. waktu agak ngebut, dia nanya, "kalau yang satunya?"
"jevan? nggak suka ah. dia ngga asik kaya kak aji," kataku, gatau dia denger atau ngga.
ngomong-ngomong, pemuda yang dialurkan semesta sebagai kakakku ini sebenernya diberi asma jinendra senopati dengan begitu apik. cuman, karena dia biasanya dipanggil a ji atau aa ji, yaudah akhirnya aku manggil dia kak aji.
"kak, tadi jaketnya kak aji yang abu-abu dipinjam jevan."
kak aji nampak menyunggingkan kurva, tercetak melalui pantulan kaca. "dipinjam, apa kamu yang minjemin?"
aku yang mulai resah dan takut tertangkap basah akhirnya mulai berkilah. "minjemin ... tapi kan disuruh mama!"
waktu warna lampu lalu lintas berubah merah, kak aji bilang gini, "nanti kalau sudah jadi si biru, jangan lupa beri kabar baru."
dalem hati aku menjawab, nggak akan.
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] hirap niskala
Fanfiction⩇⩇ . 이제노 / lowercase ⋆ perihal afeksi berlakon narasi. © ; 2O21