SUNSET

113 12 3
                                    

"So, what happened then?"

Aku memutar kepalaku ke kanan. Entah sudah berapa lama chris menatapku dengan cara seperti itu, entahlah aku melihat ada raut keprihatinan di wajahnya atau iba atau kasihan atau entahlah.

Perlu diketahui bahwa menjadi spirit guide sebagaimana yang diminta oleh Jimmy, berarti aku harus siap menemani Chris pergi ke tempat-tempat yang ingin dia kunjungi sekaligus memberikan rekomendasi tempat-tempat yang wajib dikunjungi di Ibukota dan sekitarnya. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Termasuk membajak waktu istirahatku hampir setiap hari.

Dan saat ini aku dan Chris sedang berada di atap gedung kantorku, memandangi sunset. Aku pernah berjanji padanya yang ternyata hobi fotografi akan menunjukan salah satu spot terbaik untuk melihat sunset di Jakarta. Aku bersyukur karena hari sangat cerah sehingga sunset bisa terlihat dengan sangat jelas dan sangat indah. Aku juga senang karena chris sangat antusias dan mendapatkan banyak foto yang bagus. Aku sempat bertanya padanya kenapa suka fotografi dia hanya menjawab,

"I'm kind of forgetful person, picture is perfect memories."

Tapi jangan pernah memintanya untuk memotret orang. Dia tidak memotret orang kecuali orang itu sangat menarik perhatiannya.

Aku memutar badanku, bersandar pada dinding pembatas setinggi pinggang orang dewasa lalu menggeleng.

Aku tidak tau kenapa aku banyak bicara kali ini, terlebih tentang masa laluku terlebih lagi kepada Chris. Sebenarnya bukan tanpa sebab, entah bagaimana tiba-tiba Chris menanyakan perihal kisah Siti Nurbaya yang katanya baru saja ia baca dari sebuah buku yang iseng dia ambil saat berjalan-jalan di perpustakaan umum di Jakarta. Aku hanya menjelaskan sependek yang kutahu, akupun belum pernah sekalipun membaca bukunya hanya mendengar cerita tersebut dari mulut ke mulut akhirnya malah kebablasan menceritakan kisah masa laluku. Untung saja aku sadar, meskipun sudah sangat terlambat. Aku tidak bisa menceritakan padanya bahwa setelah itu aku hampir saja menikah dengan Dimas. Hanya berselang dua bulan saja setelah aku pulang dari Moskow, Dimas mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Dia laki-laki yang baik, ramah, enak diajak ngobrol, diskusi membahas banyak hal selain itu dia juga tampan, mapan dan dia tidak hanya mau menerimaku tapi juga keluargaku, apa lagi yang aku cari? Cinta? Aku masih percaya dengan istilah witing tresno jalaran soko kulino, maka dari itu, aku menerimanya.

Dimas dan keluarga besarnya datang dua minggu kemudian ke rumah untuk melamarku. Seharusnya itu menjadi hari yang paling membahagiakan untuk keluargaku akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Di tengah-tengah acara sakral itu, tiba-tiba datang seorang perempuan yang mengaku sebagai Istri sirinya, perempuan itu tidak datang sendirian dia datang dengan seorang bocah perempuan berusia sekitar tiga tahun yang memiliki sebagian wajah Dimas. Semua orang kaget termasuk keluarga besarnya karena memang tidak ada yang tahu menahu soal ini. Keluargaku? Tidak hanya kaget tapi juga terpukul dan malu. Kami menjadi bahan perbincangan banyak orang sampai berbulan-bulan lamanya hingga akhirnya Ayahku meninggal tiga bulan kemudian yang menjadi hari patah hati paling berat dalam hidupku. Perasaan kecewa dan rasa bersalah yang teramat dalam inilah yang tidak pernah aku ceritakan kepada siapapun. Bahwa Ayah sampai sakit dan meninggal karena terlalu memikirkanku. Terlalu sakit untuk diceritakan.

Aku melihat Chris memotret sekali lagi. Lega rasanya dia tidak menuntut jawaban lebih.

"So Siti Nurbaya tradition is still exist especially in your hometown." Katanya menyimpulkan.

"Not really." kataku. "I just live in a society that marriage is every woman's expected path to success." aku menambahkan.

Dia menurunkan kameranya, memutar badannya menghadapku. Penasaran.

"Do you come from 1818 or something?" tanyanya sambil mengerutkan keningnya.

Aku hanya tersenyum sambil mengangkat bahu. Aku yakin dia mungkin heran dengan fakta yang baru saja aku katakan.

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang