"OCEAN BLUE EYES"

238 22 0
                                    

Dari hasil pengamatanku, sejak pertama kali bertemu dengannya di bandara sampai sekarang, sudah terhitung lebih dari sepuluh jam dia belum juga keluar dari kamarnya yang kebetulan berseberangan dengan kamar yang ku tempati. Sepertinya Chris, nama calon adik ipar Hannah ini, kurang antusias berada di sini. Entahlah, bukan bermaksud judging the movie from it's poster, hanya saja sepanjang perjalanan dari bandara sampai ke rumah Hannah, yang dia lakukan cuma diam padahal aku, Hannah dan Jimmy heboh ngobrol ngalor ngidul menceritakan apa saja termasuk kejadian yang menimpa Chris di Bandara.

Jadi Chris sebelumnya memang memberitahu Jimmy bahwa ada seorang perempuan yang menolongnya sewaktu mendapat masalah di Bandara Soekarno-Hatta. Ketika tahu bahwa perempuan itu ternyata aku, pembahasan jadi lebih heboh. Jimmy mengeluhkan tentang adiknya yang susah sekali untuk meminta tolong kepada orang lain sementara Hannah malah mempermasalahkan calon suaminya itu yang terlalu memanjakan adiknya. Menyaksikan perdebatan dua insan yang sebentar lagi akan menikah itu, aku hanya bisa geleng-geleng kepala sembari menyumpal kedua telingaku dengan earphone lalu mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas sementara Chris yang duduk di depan, menurunkan topi yang dikenakannya hingga menutupi seluruh wajahnya, tidur.

Ngomong-ngomong soal Chris, dia sepertinya agak berbeda dengan kakaknya. Dingin dan tatapannya sinis. Mudah-mudahan dugaanku salah. Semoga saja dia hanya kelelahan karena perjalanan panjang dengan segala permalasahan yang menimpanya. Setelah dia mendapatkan istirahat yang cukup kurasa dia akan baik-baik saja. Riang dan ramah seperti kakaknya. Oh, come on Diana, who cares!

"Buat apa itu ketupat banyak banget, Bu?"

Aku bertanya sembari mencium tangan ibunya Hannah yang saat itu sedang duduk lesehan bersama sejumlah ibu-ibu membuat ketupat janur dengan aneka bentuk.

"Ya buat pengajian besok, pernikahan Hannah ini kan pake adat jawa, prosesnya panjang, ritualnya lumayan ribet."

"Diana sudah tahu mam," Hannah yang sedang duduk di kursi malas sembari merapihkan kukunya menyahut tiba-tiba bahkan sebelum ibunya menyelesaikan kalimatnya.

Aku tersenyum, dia memang sudah memberitahuku bahwa pernikahannya akan sangat ribet.

"Lo bayangin Di, gue yang nggak sabaran ini harus dandan dari pagi sampe sore, gonta- ganti baju, belum lagi ritual sebelum hari H. It's sucks!"

Gerutunya di telepon saat itu.

"Kamu anak gadis nggak boleh motong kuku malam-malam, ora ilok. Sini bantuin mami bikin ketupat." protes ibunya yang asli jawa.

"Aku lagi hemat energi mam buat besok." kilahnya sembari meniup ujung-ujung jarinya. Padahal alasan sebenarnya dia tidak bisa bikin ketupat.

Ibunya melirik ke arahku lalu geleng-geleng kepala.

"Kamu bisa bikin ketupat, nak?" tanyanya padaku kemudian.

"Ketupat lebaran," aku menjawab agak ragu. Waktu kecil aku sering membuat ketupat bersama ibu dan para tetangga, tapi aku ragu apakah aku masih ingat caranya sekarang.

"Bagus, sini bantuin ibu."

Beliau lalu bergesar, memberiku ruang supaya aku bisa duduk di sebelahnya. Aku menurut lalu mengambil janur sembari memutar otak, mengingat bagaimana urutan membuat ketupat.

Aku selalu takjub dengan ibunya Hannah. Beliau ini istri konglomerat tapi lihatlah penampilannya sekarang. Sangat sederhana. Layaknya ibu-ibu di desa pada umumnya dengan pakaian daster lima puluh ribuan, duduk lesehan diantara tumpukan sampah janur, ngobrol kesana-kemari dengan ibu-ibu lain yang membantu hajatannya seperti tidak ada jarak. Jarang sekali ada istri konglomerat yang bisa menyatu dengan masyarakat biasa seperti beliau. Tapi bukan berarti beliau tidak bisa menempatkan diri, aku beberapa kali pernah melihat beliau di televisi bersama suaminya. Terlihat anggun dan elegan.

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang