MENDADAK MOTRET

114 14 0
                                    

Bagaimana cara mengajak tanpa benar-benar mengajak? Aku benar-benar menyesal sudah bersikap kekanak-kanakkan tadi pagi, seharusnya aku tidak perlu mendramatisir keadaan meskipun kejadian yang menimpaku cukup dramatis. Kalau saja aku bisa sedikit mengendalikan diri, aku akan bisa dengan santai memberitahunya bahwa dia diundang dan kita bisa datang bersama-sama, semua tidak akan menjadi sesulit ini. Tapi kalau dipikir-pikir ini semua gara-gara dia menyebut nama perempuan itu yang membuat moodku buruk seketika. Yah berarti dia juga punya andil dalam urusan ini. Aku mencoba mencari alasan untuk menghibur diri sendiri.

Karena itulah hampir sepuluh menit aku hanya berdiri bersandar di pintu kamarku menatap kamar nomor 406 dengan ragu. Ragu apakah aku sebaiknya mengetuk atau tidak. Aku maju selangkah lalu mundur lagi saat merasa kalimat yang sejak sejam yang lalu kurangkai seperti ada yang kurang. Aku menarik napas lalu mengeluarkannya dengan berlebihan, menoleh ke kanan kiri kalau-kalau ada seseorang di sekitarku.

"Baiklah mari kita coba sekali lagi, Diana." gumamku pada diri sendiri. Aku memperbaiki posisi berdiriku seperti seolah-olah sedang berdiri di depan Chris.

"Hei, Chris kurasa kamu benar tentang aku yang seharusnya nggak lari dari masalah. Aku akhirnya memutuskan untuk datang. Kita bisa datang bersama-sama, kalau kamu mau."

Lalu aku mulai memikirkan kemungkinan jawaban yang akan dilontarkan olehnya. Ehm ehm, aku berdeham sebagaimana dia berdeham.

"Wow, aku senang mendengarnya. Tentu saja aku mau, aku sudah mengatakan padamu sebelumnya, aku akan datang kalau kamu ingin aku datang."

Aku mengangguk-angguk tapi kemudian menyangkal dalam hati, mungkinkah dia akan menjawab seperti itu?

"Ah sudahlah!"

Aku meyakinkan diri sendiri lalu berjalan dengan langkah pasti sambil terus komat kamit menghapalkan. Lalu saat sudah berdiri persis di depan pintu kamarnya, keraguan kembali menyergap. Berkali-kali aku mengangkat tanganku untuk mengetuk daun pintu tapi tidak jadi. Merasa sudah membuang-buang cukup waktu, akhirnya aku membulatkan tekad dengan membalikkan tubuhku dalam sekali sentakan namun baru saja aku akan benar-benar mengetuk satu suara mengagetkanku.

"Di, what are you doing at my door?"

Aku hampir saja melompat saking kagetnya. Tapi aku segera mengendalikan diri, memasang senyum lebar lalu berkata.

"Oh hei, Chris I think you were right..." aku menggantungkan ucapanku saat aku menyadari penampilannya yang tidak biasa. Dia terlihat seperti akan melakukan petualangan di dalam hutan.

"I was right about what?" dia bertanya dengan mata disipitkan.

"Where have you been?"

Tanyaku mengabaikan pertanyaannya.

Dia mengerjap lalu wajahnya berubah sumringah.

"Oh, they told me there will be a Ngaben Ceremony at the village around here. Aku sudah lama ingin menyaksikan sendiri upacara itu." lalu dia mengangkat tangan kanannya untuk melihat jam dan melanjutkan. "Karena kamu sudah disini, sebaiknya kita berangkat sekarang."

Aku melongo sambil mengerjap-erjapkan mataku mendengar penjelasan Chris. Dia menjelaskan tentang rencananya yang melibatkanku tanpa diskusi denganku sebelumnya dan apa yang dikatakannya terakhir tadi? Apakah sebelumnya aku sudah membuat janji untuk pergi bersamanya hari ini? dan yang paling penting, apakah dia lupa kalau hari ini ada acara di rumah Andre?

"Oh iya, jam berapa acara di rumah temanmu itu?"

Dia ingat, baiklah.

"12.30." aku menjawab cepat.

"Perfect." dia berseru sambil menjentikkan jarinya. "Kita masih punya waktu tiga setengah jam, dari sana kita bisa langsung datang ke rumah Andre."

Kita? Apa aku sudah memberitahunya kalau aku akan datang bersamanya?

Tanpa menghiraukan reaksiku, Chris lalu berjalan melewatiku menuju pintu, mengeluarkan kartu. Namun saat dia akan menempelkan kartu untuk membuka pintu, dia memutar kepalanya.

"You stay here, I wanna go grab some stuff there."

Aku tidak percaya ini. Bagaimana mungkin dia melakukan semua ini tanpa menanyakan pendapatku dan berbicara seolah-olah aku sudah setuju untuk ikut dengannya.

Aku belum bergerak semilipun saat Chris muncul dari balik pintu kamarnya, dua menit kemudian. Menenteng tas yang aku yakin berisi kamera karena sama seperti tas yang ku lihat di pantai tadi pagi.

"let's go!" serunya

"Christopher, tunggu sebentar!" aku akhirnya berbicara setelah sekian lamanya.

"Ya?"

"Did I promise for going out today WITH YOU?" aku bertanya dengan penekanan di setiap katanya.

Chris menggeleng.

"Tapi aku ingin kamu pergi denganku, kamu tidak mau?" tanyanya dengan nada yang terdengar mengintimidasi.

"Bukan gitu, masalahnya adalah......." aku menggantungkan ucapanku karena tidak tau harus mengatakan apa. "Adalah...."

Tak sabar menunggu aku menyelesaikan kata-kataku Chris akhirnya menarik tanganku.

"You go with me, end of discussion!"

Dan tanpa menunggu persetujuanku, dia menyeret tanganku untuk ikut bersamanya.

***

Bali sudah seperti kantor ke dua bagiku juga teman-teman yang lain yang satu divisi denganku, kami setidaknya ke Bali dua bulan sekali untuk tugas kedinasan, jadi aku cukup hapal jalan-jalan disini bahkan aku lebih hapal jalanan di Bali dari pada Jakarta. Maka ketika Chris menyebut nama Village around here beberapa menit yang lalu itu sebenarnya sama sekali tidak sedekat yang dibayangkan. Kami sampai di tujuan tiga puluh lima menit kemudian, itupun karena kebetulan aku tahu jalan-jalan alternatif, kalau melewati jalan biasa bisa memakan waktu sampai satu jam. Aku bisa melihat wajah Chris yang berbinar-binar saat kami turun dari mobil tua berwarna merah mengkilap dengan atap terbuka yang disewa oleh Chris. Saat kami sampai, prosesi acara sudah dimulai. Tapi beruntung dia tidak terlalu terlambat, sudah banyak turis disana baik domestik maupun manca negara. Meskipun tradisi ngaben ini notabene adalah acara kedukaan, akan tetapi tradisi ini selalu menarik perhatian para turis yang ingin melihat secara langsung. Bisa dibilang salah satu daya tarik wisata di sini.

Sepanjang acara aku hanya berjalan kesana-kemari mengekor di belakang Chris yang semangat sekali sampai harus berlarian mengikuti arak-arakan. Bahkan beberapa kali dia harus berusaha merangsek ke depan untuk mendapatkan foto yang bagus. Tapi kuakui foto-foto yang diambilnya memang luar biasa. Aku tidak tahu menahu soal seni jadi kupikir semua foto itu sama saja, tapi setelah melihat hasil jepretannya aku mulai percaya bahwa seni fotografi memang ada.

Saat itu aku sedang berdiri bersandar di pintu mobil sambil asyik melihat foto-foto di kameranya ketika Chris datang dengan menenteng kantong plastik berlogo sebuah mini market yang cukup terkenal di Bali, "Cocomart", sambil terengah-engah, beberapa jam kemudian.

"Ada apa?" tanyaku dengan kening berkerut.

"We're late."

Jawabnya sembari melempar kantong plastik yang di bawanya itu ke kursi belakang.

Aku menyipitkan mata tidak mengerti.

"Andre." dia melanjutkan.

Mataku terbelalak seketika. "Oh, God!"

Bagaimana aku bisa melupakan acara sepenting ini. aku melirik ke jam tanganku, pukul 12.20.

"Hury up!" serunya sembari melompat ke kursi kemudi. Dia benar-benar melompat.

Aku segera masuk ke dalam mobil.

"You know the address, don't you?"

"Of course."

Dan dalam hitungan detik, mobil sudah melesat menembus jalanan.

***

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang