"Feeling better?"
"Much better!"
Aku menarik napas dan mengeluarkannya dengan berlebihan. Saat itu aku dan Chris sedang berada di pinggir jalan yang menghadap langsung ke laut dan tebing-tebing. Karena posisi jalan ini lebih tinggi dari laut jadi aku bisa melihat hamparan laut dengan leluasa tanpa khawatir kebasahan. Melihat hamparan laut dari ketinggian dengan suara deru ombak yang menabrak tebing selalu menakjubkan, apalagi lokasi ini cukup sepi, bahkan sekarang hanya ada aku dan Chris saja, jadi aku bisa teriak-teriak melepaskan unek-unekku. Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya, tapi karena Chris memaksaku untuk mencobanya dan memberitahu bahwa aku akan lebih baik setelahnya maka kucoba. Awalnya agak aneh dan canggung tapi Chris benar. Yah beban memang seharusnya dilepaskan. Tapi aku jadi berpikir kalau Chris saja bisa melihat ada something wrong di wajahku, apalagi Alvin. Lain kali aku harus mencoba lebih keras lagi untuk bisa mengontrol diri.
"Terimakasih banyak." kataku sambil memejamkan kedua mataku seraya merentangkan kedua tangan.
"Terimakasih untuk apa?"
Sama sepertiku, Chris juga bertanya dari balik lensa kameranya, membidik apa saja yang dianggapnya menarik.
"Untuk semuanya." jawabku.
Kuharap Chris bisa mengerti maksudku tanpa aku harus menjelaskannya secara rinci.
"I am good in acting, am I not?"
Kepalaku menoleh ke kanan dan melihatnya tengah mengarahkan kameranya ke pemandangan di belakangku.
"Acting?" keningku berkerut sampai kemudian aku mengerti apa yang sedang dia bicarakan. "Oh, tentu saja. Kalau kamu adalah bintang filem, kamu pasti sudah menerima Oscar."
Dia tertawa.
"Sayang sekali tidak ada ponsel yang berdering." Dia menggumam sambil melihat hasil bidikannya.
"Ya?"
Aku bertanya karena suara Chris tidak terlalu jelas terdengar.
"Seandainya ponselmu yang berdering, apa yang akan kamu ungkapkan?"
Meskipun tidak terlalu jelas, tapi aku cukup yakin dia tidak mengatakan kalimat itu sebelumnya. Tapi jika aku harus mengungkapkan sesuatu yang tidak diketahui mereka semua, sepertinya tidak ada yang akan aku ungkapkan, Alvin sudah tau hampir semua rahasia-rahasiaku kecuali satu, namun belakangan dia sudah mengetahuinya.
"Aku nggak tahu." jawabku sambil mengangkat bahu.
"Kamu tidak tahu? Aku yakin kamu bukanlah orang yang tidak memiliki rahasia, atau oh astaga, mungkinkah ada seseorang yang sudah tahu semua rahasiamu?" dia bertanya seperti itu dengan ekpresi terkejut yang dibuat-buat. Sepertinya dia sudah kembali menjadi Chris yang suka memancing perdebatan.
"Aku punya rahasia dan meskipun mereka sahabatku," aku ragu sejenak. "Mereka nggak tahu semua rahasiaku, puas?"
Dia menggeleng. "tidak, belum."
"What do you want?"
"I want you to know-" Dia menatapku sejenak lalu segera mengalihkan pandangannya ke laut. "I once gave you CPR." lanjutnya dengan hati-hati.
"Pardon me?"
"If you remember that night, when you collapsed,"
"Ya?"
"I gave you CPR." katanya sekali lagi, kali ini dengan ujung kalimat yang tenggelam. Seperti menunjukan rasa penyesalan yang mendalam.
"Why-?"
"I'm so sorry for doing that." Dia menyela kalimatku. "Trust me, there's no hidden agenda at all. I've done that because you kept silent, I couldn't feel your breath and I was so scared at that time because there was no one to help but me. I don't want to feel guilty for the rest of my life about not having saved you. So for what I've done, I truly am. I really-"
"Hei,"
Aku menyentuh lengannya dan dia berhenti meracau. Aku tidak menanyakan kenapa dia memberiku CPR. Aku tau hal itu bukanlah suatu perbuatan yang tercela untuk dilakukan jika keadaan memang memaksa. Aku tahu, aku paham, tapi bukan itu yang kumaksud.
"Bukan itu yang ingin kutanyakan," aku berhenti sejenak. "Why do you tell me?"
"Karena itu menggangguku." dia menoleh menatapku.
"How can that be?"
"Aku sangat merasa bersalah."
Aku menggeleng sambil mengibaskan tangan di depan mukaku "Kamu nggak salah sama sekali, jadi nggak perlu meminta maaf."
"Seharusnya begitu, tapi aku tetap merasakannya dan itu sangat mengganggu. Aku benar-benar-"
"Baiklah baiklah," aku memotong. "Kalau aku memaafkanmu, perasaanmu akan lebih baik?"
"Kuharap begitu."
"Kalau begitu, aku memaafkanmu."
"Terimakasih banyak, Di."
"Enggak, aku yang berterimakasih padamu."
Dia menatapku dengan wajah bingung.
Aku melanjutkan. "Karena telah menyelamatkanku waktu itu, sudah lama aku ingin mengatakannya but I've never seen you since then."
"Aku tidak berani melihatmu. Itu yang terjadi." Akunya.
Aku mengerutkan kening. "But you're here, now. What happened?"
Pada saat itu terdengar suara ponsel berdering. Sudah pasti bukan ponselku. Chris menyodorkan kameranya padaku, sementara tangan kirinya merogoh saku celananya. "Tolong pegang sebentar." aku menerima kameranya sementara ia menatap layar dengan tatapan aneh, tapi ia buru-buru mematikan ponselnya dan mengembalikan ke saku celananya.
"Siapa?" aku tahu ini terlalu personal, tapi aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak bertanya.
"Bukan siapa-siapa."
"Kenapa nggak dijawab?"
"Tidak ada alasan khusus, nanti aku akan menelepon balik."
"Karena ada aku? Aku membuatmu terganggu?"
Aku tidak tahu kenapa aku mendadak jadi sentimentil begini.
"Tidak, bukan itu."
Dia lalu meletakkan kedua tangannya di bahuku, memutar tubuhku dan mendorongku pelan menuju mobil.
"Sudah jam berapa sekarang, ayo kita pulang!"
Aku berbalik, kembali menatap Chris dengan alis ditinggikan.
"Apa itu Julie?" bahkan pertanyaan itu keluar dari mulutku sebelum otakku sempat mencerna kata-katanya.
Chris tersenyum lebar. "Too many questions."
Lalu tanpa penjelasan lebih lanjut dia kembali mendorongku, membukakan pintu sisi penumpang, memaksaku masuk. Semenit kemudian mobil sudah melesat meninggalkan salah satu spot terbaik untuk melihat sunset di Bali.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...