Aku sedang menunduk memainkan ponsel saat taksi yang sudah kutunggu-tunggu akhirnya datang. Siang ini aku ditugaskan untuk mewakili kantorku rapat dengan instansi lain. Sebenarnya aku tidak sendiri, aku bersama salah seorang pejabat dan satu orang rekan kerjaku yang lain, Alvin. Namun karena ada sesuatu yang harus kulakukan sebelum rapat, jadi aku meminta izin untuk berangkat lebih dulu. Jadi bukan karena Alvin, sama sekali bukan karena dia. Kupastikan itu.
"Di, udah ada kabar dari Chris belum?"
Satu pesan mendarat di ponselku, dari Hannah. Ini yang ke enam belas kalinya dia menanyakan pertanyaan yang sama sejak empat hari yang lalu. Aku tidak tau apakah aku harus merasa cemas atau kesal. Ponsel Chris tidak bisa dihubungi, ketika aku datang ke apartemennya dua hari yang lalu, dia tidak ada. Aku bertanya kepada sekuriti dan menurutnya meskipun terdengar kurang meyakinkan, sudah dua hari dia belum melihat Chris keluar atau masuk. Chris sudah pernah tiba-tiba tidak ada kabar seperti ini sebelumnya, dua hari kemudian aku mendapat kabar bahwa dia di rumah sakit. Ternyata dia diserang oleh 'perampok'. Aku tidak memberitahu Hannah atau Jimmy perihal itu tepatnya Chris yang melarangku untuk memberitahu mereka. jadi sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi padanya, aku harus memastikan kalau dia baik-baik saja atau mereka akan mencabik-cabikku tanpa ampun. Sebenarnya aku menyangkal untuk berpikir yang tidak-tidak seperti mungkin dia kerampokan lagi, atau mengalami hal buruk yang membuatnya seolah hilang ditelan bumi. Tapi jikalau nanti aku menemukannya dan dia baik-baik saja, lihat saja apa yang akan terjadi.
"Nanti gue kabari, Hann."
Balasku setengah jam kemudian, saat taksi yang kutumpangi sudah berhenti tak jauh dari tempat dimana Chris bekerja. Setelah meminta kepada supir taksi untuk menunggu sebentar, aku membuka pintu dan melangkah keluar.
Aku berjalan memasuki lobi gedung lima puluh lantai dengan protokol keamanan yang super ketat juga canggih itu dengan langkah pasti. Lalu seorang resepsionis langsung menyambutku dengan sapaan dan senyum yang ramah dari balik meja kerjanya.
"Selamat siang Ibu, ada yang bisa kami bantu?"
Tanya resepionis bernama Lisa itu dengan senyum yang terkembang. Tiba-tiba aku berpikir jika level kebaikan seseorang diukur dari senyumnya, maka penghargaan untuk manusia paling baik akan dimenangkan oleh para resepsionis.
"Aku ingin bertemu dengan Chris, apa dia ada?" Tanyaku. "Christopher Ambrosse." tambahku, antisipasi seandainya ada banyak nama Chris di gedung ini.
"Mr. Ambrosse?" tanya Lisa memastikan.
Aku mengangguk.
"Baik, tunggu sebentar."
Lalu dia terlihat berbicara dengan seseorang melalui microphone yang tersambung dengan headphone yang terpasang di kepalanya. "Boleh kami tahu nama anda?"
"Diana," jawabku singkat.
Aku melirik ke arah jam tanganku sementara resepsionis masih berbicara dengan seseorang. Rapat akan dimulai setengah jam lagi, itu berarti aku hanya punya waktu paling tidak sepuluh menit. Ya sepuluh menit sudah lebih dari cukup untuk memastikan kalau dia baik-baik saja, mengembalikan cincin padanya dan memberikan setidaknya satu pukulan di wajah.
"Maaf apakah anda sudah membuat janji dengan Mr. Ambrosse sebelumnya?" tanyanya lagi.
"Oh, Tidak. Belum"
Dia kembali berbicara dengan seseorang.
"Mohon maaf untuk saat ini Mr. Ambrosse sedang ada pertemuan dan jadwal beliau padat sampai malam. Apakah anda berkenan dibuatkan jadwal pertemuan di hari lain?"
Aku mengerutkan kening mendengar itu. Apakah sesulit itu untuk menemui pegawai di kantor ini sementara selama ini dia sering sekali menggangguku tanpa kenal waktu seolah-olah dia punya banyak sekali waktu luang. Oh ya Tuhan, kenapa aku malah memikirkan hal yang tidak penting. Yang terpenting adalah-
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...