Ponselku berdering tepat setelah aku selesai melipat mukenaku. Chris memanggil.
"Kamu dimana?" tanyanya tanpa basa-basi begitu hubungan tersambung.
"Aku masih di Surabaya, ada apa?"
"Kamu belum pulang?"
"Oh, sesuatu terjadi, aku tidak tahu kapan bisa kembali ke Jakarta."
Aku benar-benar tidak tahu. Aku belum bertanya pada Alvin kapan dia akan kembali ke Jakarta dan apakah 'peranku' disini sudah selesai sehingga aku bisa kembali lebih dulu atau bagaimana.
"Everything is okay, right?" dia bertanya dengan nada khawatir.
"Perfectly fine, jadi ada apa?" aku bertanya sekali lagi.
"Well, I believe I must go to London tomorrow."
Katanya memberitahuku yang membuatku melamun untuk beberapa saat. Apakah mungkin ini ucapan perpisahan? Dia tidak akan kembali lagi? Kenapa tiba-tiba aku merasa tidak senang dengan kenyataan itu.
"Aku memberitahumu karena mungkin kamu akan mengkhawatirkanku." dia menambahkan karena aku masih diam saja.
"Aku nggak pernah mengkhawatirkanmu." balasku, jelas terdengar seperti gurauan.
Dia tertawa di seberang sana. "Baiklah kuperbaiki kata-kataku, mungkin kamu akan mencemaskanku."
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Aku berjalan ke arah jendela dan memandang keluar.
"Are you off to London for good?"
"Tidak, mungkin satu minggu. Aku tidak mungkin membiarkanmu mencemaskanku selama itu, bukan? Kamu mungkin akan membunuhku."
Kali ini aku yang tertawa. Aku bisa membayangkan dia tersenyum lebar saat mengatakan hal itu.
"Sudah kubilang aku nggak akan mencemaskanmu, jadi pergilah sesuka hatimu." aku tidak tahu kenapa aku malah mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan yang sebenarnya.
"Sebaiknya kamu hati-hati." katanya dengan nada serius.
"kenapa harus?" aku bertanya waswas.
"Aku tidak bertanggung jawab kalau nantinya kamu mencemaskanku."
Aku mendengus pelan dan berkata. "Tenang saja, itu nggak akan terjadi."
"Baiklah, aku harus pergi sekarang."
"Pergilah."
Aku menurunkan ponsel dari telinga lalu menatap layar menyesali diriku sendiri. Seharusnya aku, setidaknya mengucapkan hati-hati atau apapun. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan lalu membalikkan badan dan melihat Alvin sudah berdiri di depan pintu, entah sudah berapa lama.
"Hei," sapaku dengan senyum lebar.
Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya berjalan menghampiriku dan mengambil tempat di sisi jendela sekitar satu meter di depanku lalu memandang keluar. Entah kenapa aku merasa dia yang saat ini berdiri di depanku bukanlah Alvin yang selama lima tahun ini kukenal.
"Well," dia menoleh menghadapku. "Gue minta maaf atas kejadian di meja makan tadi."
Kata-katanya meluncur pelan namun hati-hati membuat suasana jadi canggung.
"Minta maaf buat apa? I think it was fun."
Aku berusaha mencairkan suasana.
"No, eight minutes before that."
"Nggak masalah, Vin. Lo juga udah tahu semuanya kan."
Aku berusaha untuk tidak terlihat tidak nyaman meskipun yang kurasakan sebaliknya. Aku hanya tidak ingin dia merasa bersalah.
"This is my family life ..."
"That you hide from people?"
Aku melanjutkan karena dia menggantungkan kalimatnya cukup lama. Dia menoleh ke arahku lalu tersenyum getir. Mengiyakan pendapatku.
"Why?" tanyaku. Pelan. Lirih.
Dia tidak langsung menjawab, malah memutar badannya sembilan puluh derajat menghadapku, menatapku dalam sekali.
"Because I don't want this kind of life." jawabnya sama lirihnya sambil menggeleng pelan. Aku balas menatapnya berusaha mencari kebenaran disana. Benarkah ini yang dirasakan Alvin sepanjang hidupnya? Cukup lama aku menatapnya sampai tidak sadar kalau dia sudah berada dekat sekali denganku. Jarak wajah kami hanya berkisar beberapa senti dan dia semakin mendekat. Aku sepenuhnya menyadari kemungkinan apa yang akan terjadi, terlebih saat kemudian tangan kirinya terulur memegang pipiku. Akal sehatku masih berpikir ini tidak boleh terjadi meskipun ada sisi lain dari diriku yang menginginkannya.
"Vin?" kataku tanpa mengalihkan tatapanku darinya. Tapi sepertinya dia tidak mendengar suaraku, suaraku terlalu rendah dan parau. Dia semakin mendekat sampai-sampai hidung kami bersinggungan dan aku bisa merasakan napasnya yang hangat menerpa wajahku. Hal itu membuat jantungku semakin berdebar berkali-kali lebih cepat dari sebelumnya. Aku menutup mataku saat kurasakan sentuhan di bibirku dan aku hampir saja membuka bibir kalau saja aku tidak cepat-cepat tersadar dan langsung berteriak menyebut namanya.
"ALVIN!"
Kali ini suaraku terdengar jelas dan tajam.
Seketika dia melepaskan tangannya dari pipiku lalu bergerak mundur beberapa langkah. Tanganku mencengkeram bingkai jendela, aku merasakan jantungku seperti akan meledak sewaktu-waktu.
"Sh*t!" gerutunya pada diri sendiri.
Alvin mengusap rambutnya lalu menatapku dengan penuh penyesalan.
"Diana, gue minta maaf, sungguh gue nggak tau kenapa gue seperti ini. Sepertinya otak gue lumpuh." susah payah dia berkata-kata.
"It's oke, mungkin lo kecapean Vin." sahutku, berusaha mencairkan keadaan, supaya tidak perlu lagi ada penjelasan lebih lanjut, karena ini benar-benar memalukan sekali untuk kami berdua.
"Ya, completely drained!"
Dia memaksakan senyum.
"Oke, I'm leaving."
Dia berjalan keluar dengan langkah canggung. Dua kali dia menoleh ke arahku, ke tiga kalinya dia hampir saja menabrak Olivia yang tiba-tiba muncul di depan pintu.
"Whoa whoa whoa!"
Teriak Olivia saat tubuh besar kakaknya itu hampir saja menabrak dirinya.
"Hei, Bunny, what are you doing here?"
Olivia tidak langsung menjawab. Dia menyodorkan ponsel ke kakaknya. "Kak Julie nelepon."
Alvin menoleh ke arahku sekali lagi sebelum akhirnya meraih ponsel di tangan adiknya dan pergi. Sementara Olivia mengamati gerak-gerik aneh kakaknya itu dengan penuh curiga.
"Apa yang kulewatkan?" tanyanya saat Alvin sudah hilang dari pandangan.
Aku mengangkat bahu. "Not much." Jawabku.
"Mau jalan-jalan?"
Seketika wajahku berubahsumringah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...