Saat aku bertanya apakah rumah ini punya nama? Olivia menjawab Lakebirds Valley tanpa menjelaskan kenapa diberi nama demikian. Dia mengajakku ke rooftop, menurutnya spot terbaik untuk menikmati pemandangan di rumah ini adalah dari sana.
Bukan main. Aku menganga saat sudah sampai di rooftop. Pemandangannya sungguh menakjubkan. Ada sebuah danau buatan yang cukup luas di halaman belakang Lakebirds Valley ini, lalu terdapat semacam gazebo besar di salah satu sisi danau dan dua buah perahu bersandar di tepian. Suara kicau burung terdengar sahut menyahut, angin berhembus sepoi-sepoi, terasa sangat sejuk meskipun sinar matahari cukup terik. Aku memandang berkeliling, melihat ke sisi lain yang tak kalah menakjubkan. Dilihat dari posisinya, aku cukup yakin dari tempat ini akan bisa menyaksikan dua momen paling indah di dunia sunrise dan sunset. Tiga setengah menit kemudian pelayan datang dengan teko dan dua cangkir di atas nampan yang dibawanya lalu pergi setelah Olivia mengucapkan terimakasih. Aku menoleh menatap Olivia yang sedang menikmati hembusan angin dengan mata tertutup, rambutnya yang dicat warna cokelat terang menari-nari terkena terpaan angin. Her side profile is almost perfect.
"Olivia," kataku pelan.
Dia menoleh
"Ya?"
"Honestly, I have no idea why do I even here, maksudku-" aku menggantungkan kalimatku, aku tidak bisa menjelaskan secara detail apa yang sebenarnya sedang berkecamuk di kepalaku. Aku ingin tahu banyak hal, hanya saja aku sulit menentukan mana yang harus kuketahui lebih dulu. "Maksudku, bahkan aku tidak ingin kemari, no no maksudku, aku sama sekali nggak ada rencana datang kemari, oh sial!" aku menggerutu sendiri menyadari kalimatku yang meluncur berantakan. Aku tidak pernah sebelibet ini sebelumnya dalam berbicara. "Lupakan saja kata-kataku." kataku akhirnya sembari mengibaskan tangan.
Olivia tertawa kecil.
"Ini semua keinginan mami," ujarnya seolah paham dengan apa yang ingin kusampaikan.
Aku menoleh, menanti kalimat berikutnya.
"Ya meskipun awalnya nggak begitu." lanjutnya, ujung kalimatnya terdengar ragu.
"Do you mind if you give me an idea what was that?"
Dia diam sejenak sebelum akhirnya mulai bercerita.
"Aku tahu kalau kalian ada di Surabaya, maksudku semua orang disini mengetahuinya. Aku berharap mas Alvin akan pulang atau setidaknya mampir sebentar untuk melihat adiknya yang sudah tumbuh besar ini."
Dia berhenti sebentar. Tersenyum getir lalu melanjutkan.
"Tapi sampai hari dimana kalian seharusnya kembali, mas Alvin nggak ada tanda-tanda akan pulang. Jadi aku menelponnya saat di bandara mengatakan kalau mami sakit. Tapi dia nggak percaya sampai kemudian mami bicara,"
"What was that?"
"It was like," dia berdeham sebentar lalu melanjutkan dengan menirukan kalimat yang diucapkan oleh ibunya. "Please go home with Diana, it's time to bring her home. I want to get to know more about her in person. Hanya itu, lalu satu jam kemudian kalian disini."
Hening. Menumbuhkan rasa penasaran yang kian besar di benakku.
"Bagaimana kalian bisa seyakin itu kalau aku bisa membawanya pulang?"
Oh, dear! Sekarang aku mengerti kenapa mereka berkali-kali mengucapkan terimakasih padaku karena telah membawanya pulang. Bahkan sekarang mulutku tanpa sadar mengatakan demikian.
Dia tersenyum kecil padaku, lalu menerawang jauh ke tengah danau.
"Semua bermula sejak empat tahun yang lalu."
Olivia menceritakan kejadian empat tahun yang lalu dimana saat itu terjadi pertengkaran hebat antara Alvin dengan ibunya. Bagaimana situasinya, apa yang mereka perdebatkan dan penyebab perdebatan itu terjadi.
It was me!
Aku sangat tercengang.
"Mas Alvin sangat mencintai kak Diana, amat sangat." Olivia menoleh menatapku. "Aku yakin mas Alvin sangat menderita karena ini semua."
Kenyataan itu benar-benar mengejutkan. Aku setengah percaya setengah tidak dengan ceritanya sampai kemudian aku mendengarnya sendiri. Ketika aku sedang mencari Alvin, aku tidak sengaja mendengar suaranya dari pintu yang sedikit terbuka saat aku tengah melintasi sebuah ruangan.
"Don't bring Diana in to this."
Aku tahu eavesdropping is wrong tapi namaku disebut-sebut jadi kupikir aku perlu tahu apa yang sedang terjadi di dalam sana.
"Kamulah yang membawa dia ke dalam urusan ini, Alvin!"
Suara ibunya terdengar. Hening sejenak.
"Mam, bukankah sangat keterlaluan mengundang keluarga Julie kemari disaat Diana ada disini? Apa yang mami pikirkan? Apa yang mami inginkan? Mami memintaku untuk membawanya, sudah kulakukan. Apa lagi?"
Suaranya Alvin meninggi. Dan aku tersentak mendengar fakta ini. Akan ada pertemuan dua keluarga?
"Mempertemukan kalian semua. Dia harus tahu kelas kita dan kelasnya. Dia harus tahu perbedaan diantara kalian. Dia harus tahu kalau kalian tidak akan pernah bisa bersatu. Jika kamu tidak bisa menjauhinya, maka dia pasti akan bisa menjauhimu setelah pertemuan ini."
Aku reflek menutup mulutku dengan tangan kiri. Sungguh aku tidak percaya dengan apa yang barusaja kudengar. Beberapa saat kemudian kulihat Alvin menjatuhkan lutut di depan ibunya, menunduk.
"Kumohon mam, jangan lakukan itu. Aku mau melakukan apa saja tapi jangan sakiti dia seperti itu. Dia sungguh tidak tahu apa-apa soal ini. Aku yang salah, aku yang mencintainya dan dia sama sekali tidak mencintaiku, bahkan dia tidak tahu kalau aku mencintainya. Jadi kumohon mam......."
Katanya lirih, ujung kalimatnya berakhir dalam isak yang ditahan.
Sementara aku sudah tidak bisa lagi menahan air mata yang menerabas turun mendengar bagaimana Alvin mengatakan semua itu yang jelas-jelas bertolak belakang dengan hal yang sebenarnya. Bagaimana dia memohon kepada ibunya untuk tidak menyakitiku, sungguh aku ingin sekali masuk dan memeluknya, menciumnya atau apa saja. Dia sudah mencintaiku selama itu dan membiarkan dirinya menderita bertahun-tahun tanpa sedikitpun aku menyadarinya. Kupikir aku sendiri yang paling menderita disini, tapi ternyata dia jauh lebih malang dariku. Kenapa jadi seperti ini?
"Apa kamu pikir mami sebodoh itu?"
Kudengar ibunya melanjutkan. "Kamu tidak lihat kalau ada keinginan yang sangat besar sekali di matanya untuk memilikimu? Mami tidak yakin apakah itu cinta atau dia sebenarnya hanya menginginkan semua ini."
Aku tersentak sekali lagi mendengar anggapan yang dituduhkan padaku. Bagaimana mungkin dia menganggapku hanya menginginkan semua ini? apakah aku terlihat seperti perempuan mata duitan? Aku bahkan tidak tahu kalau Alvin......
"Cukup mam, Diana bukan orang seperti itu!"
Alvin berdiri. Lalu kembali berbicara dengan nada yang tajam. "Aku tidak akan menikahi Julie. Akan kukatakan pada Diana bahwa aku mencintainya dan pergi dari sini sekarang juga."
Setelah berkata seperti itu, tanpa menunggu komentar dari ibunya dia membalikkan badan. Melihat itu aku segera menjauhi pintu. Samar kudengar ibunya kembali mengatakan sesuatu.
"Kamu pikir kalian akan bahagia?"
Namun aku memutuskanuntuk tidak mendengarnya lagi. Terlalu menyakitkan, bahkan jauh lebihmenyakitkan dibandingkan dengan kejadian waktu itu di malam Alvin mengantarkupulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...