PULANG KAMPUNG (2)

85 13 3
                                    

Aku duduk di sofa dengan gelisah sambil memandangi orang-orang yang berlalu lalang. Aku berharap masih bisa mendapatkan penerbangan ke Jakarta secepat mungkin. Dua menit berselang, seorang temanku datang dengan boarding pass di tangannya. Aku memang memiliki beberapa teman di sini yang akan dengan senang hati menolongku saat dibutuhkan. Aku bersyukur karena masih bisa mendapatkan satu kursi di sebuah maskapai penerbangan nasional yang biasanya selalu full booked di akhir pekan. Kami sempat mengobrol beberapa hal terkait pekerjaan sebelum akhirnya panggilan untuk boarding pesawat yang akan kutumpangi berkumandang. Setelah mengucapkan banyak terimakasih akupun segera meninggalkan ruangan tempatku singgah, berusaha menyeret kakiku melangkah sambil menyeka ujung mata memasuki pesawat yang akan membawaku meninggalkan semua ini.

Aku sadar betul bahwa I just take the easy way out dan itu tidak menyelesaikan apa-apa. Tapi apa lagi yang bisa dilakukan ketika kita mendapati kenyataan bahwa seseorang telah merencanakan sesuatu yang tidak baik kepada kita, bukankah lari lebih baik? Menghindar adalah pilihan yang paling masuk akal? Kuharap kalian sepaham denganku kali ini.

Tiga setengah jam kemudian...

"Kamu yakin?"

Chris bertanya dengan nada serius untuk kesekian kalinya sesaat setelah dia menghentikan mobilnya di parkiran stasiun.

Aku mendapati dirinya sedang menungguku di ruang tunggu di terminal kedatangan Bandara International Soekarno-Hatta satu jam yang lalu. Awalnya aku sempat bertanya-tanya bagaimana dia bisa tahu kepulanganku dan berpikir bahwa mungkin Alvinlah yang mengubunginya untuk memastikan keadaanku meskipun hal tersebut hampir tidak mungkin terjadi.

Aku mengenal Alvin hampir lima tahun, dia saat ini pasti sudah menyadari kepergianku. Mungkin saat ini dia tengah berada di bandara erusaha mengejarku seperti di filem-filem roman picisan, menanyai beberapa teman kami di sana dan bisa jadi dia akan terbang ke Jakarta malam ini juga. Jika itu terjadi, maka sia-sia usahaku meninggalkan Surabaya secepat mungkin. Aku belum ingin bertemu dengannya, setidaknya untuk saat ini. Aku belum ingin menghadapi berbagai pertanyaan, menjelaskan atau mendengar penjelasan apapun darinya. Aku belum siap dengan itu semua, aku perlu waktu untuk berpikir matang-matang, merencanakan apa yang harus kukatakan, kulakukan. Maka dari itu, pulang adalah pilihan yang tepat.

"I've never been so sure in my life." jawabku lirih lalu menoleh ke arahnya dan berpikir bagaimana bisa aku dengan tanpa sadar menghubunginya dan memintanya untuk menjemputku di bandara? Sejak kapan dia jadi top mind ku?

"I have no idea what is going on with you, tapi kurasa lari tidak akan menyelesaikan masalah, Diana."

Itu juga yang kupikirkan, Chris.

"I need my own space to decompress."

Dia hanya mengangguk mendengar jawabanku.

"I better leave now, terimakasih untuk semuanya." Kataku.

"You always know that I'm a good listener." Katanya saat aku hendak meninggalkan mobilnya.

"Yes, you trully are."

"Ceritakan padaku ketika suasana hatimu sudah lebih baik."

Aku menatapnya sejenak lalu tersenyum. "Sure!"

Aku tiba-tiba teringat sesuatu saat sudah berjalan beberapa langkah, aku berbalik dan bersyukur dia masih disana.

"Chris!" Panggilku.

Yang kupanggil menoleh.

"Have a safe flight tomorrow!"

Aku berdiri menatap kepergian Chris sembari melamun. Bisakah sekali saja, aku bisa mendapatkan sesuatu dengan sedikit lebih mudah? Bukankah aku sudah berjuang sedemikian gigih sejak dulu? Bukankah aku sudah berhasil menunaikan tanggung jawabku satu per satu? Bukankah sekarang saatnya giliranku mendapatkan apa yang seharusnya kudapatkan? Kuinginkan? Kenapa semuanya serba sulit untukku.

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang