CHAPTER 1: FESTIVAL AKHIR TAHUN

119 16 53
                                    


POV Soula

POV Soula

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Selimut hangat membungkus tubuhku, menyalurkan kehangatan di pagi yang dingin. Aku memaksa mataku untuk terbuka meski tubuhku terbaring lemas di kasur. Malas. Aku ingin kembali tidur, toh, tidak ada hal penting untuk dilakukan di hari-hari yang membosankan ini, begitu pikirku. Namun, rencanaku digagalkan oleh ketukan pintu yang semakin lama semakin agresif. Terpaksa, kuangkat kakiku dari kasur dan membuka pintu kamar yang kuncinya kutaruh di atas meja. Kemudian tampaklah wajah adikku yang tersenyum manis dengan sapu di tangan kanannya.

"Pagi, Kak!"

Balasanku hanya dehaman singkat, lalu menutup pintu kamarku lagi. Dan lagi-lagi, adikku menggagalkan rencanaku dengan menahan pintu tertutup menggunakan sapunya. Sungguh cerdik. Sepertinya dia sudah belajar untuk tidak menggunakan tangan atau kaki untuk menahan pintu.

"Kak, persediaan makanan habis. Tolong ambilkan di kebun, jika tidak, aku tidak bisa membuat sarapan untuk hari ini. Sekaligus, baterai, kita kehabisan baterai juga." Suara lembut adikku saat meminta tolong memang membuatku luluh dulu, sekarang, aku hanya bisa melengos pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Aimer, adikku, pasti tahu aku akan melakukan permintaannya meski aku tampak tak peduli.

Tanpa mandi terlebih dahulu, kukenakan sweater putih yang kugantung di belakang pintu dan melesat pergi ke kebun.

Jika kalian berpikir bahwa kami memiliki kebun kami sendiri, jawabannya adalah tidak! Akan sangat bagus jika kami punya, meski tidak akan mengurangi kebosananku. Kebun yang akan kukunjungi adalah kebun kota. Penduduk dapat membayar sebesar 40z (dibaca: empat puluh Zur) untuk dipersilakan mengambil segala jenis sayur-sayuran dan buah-buahan yang ada, dengan berat maksimal 1 kg.

Di Underground, kotaku yang miskin, suram dan hampir tanpa matahari ini, kalian tidak akan memiliki apapun untuk dinikmati. Kafe, toko-toko cantik, tempat nongkrong bahkan taman pun tak akan kalian temukan. Tanpa kendaraan yang melintasi jalanan, semua orang berjalan kaki kemanapun mereka pergi. Sumber pencahayaan hanyalah lampu-lampu redup di setiap rumah. Pagi, siang, sore hingga malam tak ada bedanya di sini. Satu-satunya cara untuk membedakannya hanya dengan bantuan jam dinding. Juga, matahari yang hanya menyinari kebun-kebun itu.

Tak kusapa petugas yang menjaga di pos meski ia telah tersenyum padaku. Masa bodoh. Aku ambil sekantong plastik yang disediakan di sana. Lalu mulai memetik sayur-sayuran, serta buah-buahan yang menjadi favorit Aimer untuk dimasak. Aku tidak suka sayur atau buah, aku ingin daging. Daging hanya berbentuk foto di buku paket sekolah, menyentuh saja tak pernah apalagi menyicipinya. Setelah menimbang, menyadari masih tersisa beberapa gram aku berlari mengambil dua wortel dan satu tomat. Mengambil uang 40z dari saku sweaterku lalu menyerahkannya kepada petugas.

Tujuh belas tahun lebih aku hidup di sini dan kurasa sudah cukup. Suntuk, bosan, lelah, tak dapat dideskripsikan seberapa muak aku tinggal di Underground lebih lama. Lain halnya dengan Aimer, entah mungkin karena aku hidup 2 tahun lebih lama darinya atau alasan lain, Aimer tampaknya bahagia-bahagia saja tinggal di Underground. Dia bangun pagi seakan sesuatu akan berubah jika bangun terlambat. Memasak sambil menyenandungkan melodi yang tak pernah kudengar sebelumnya. Sekadar info, satu-satunya lagu yang pernah diputar di sini hanyalah lagu senam irama yang dihadiri ibu-ibu.

A-SOULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang