CHAPTER 25: Kesempatan Kedua

3 1 0
                                    

POV Soula

Satu jam tujuh belas menit sudah isak tangis itu berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu jam tujuh belas menit sudah isak tangis itu berlanjut. Semenjak aku melangkah ke luar kamar Aimer, terdengar suara gadis itu menangis sesegukan. Aku berdiri diam di depan pintu karena tak ingin meninggalkannya. Namun, cukup sudah. Aku tak tahan lagi mendengarnya menangis!

Pintu kamar nomor 515 kubanting kuat dengam napas memburu. Aimer tersentak dan segera menghapus jejak air matanya. Kenapa, sih, dia? Harus banget pura-pura kuat di depanku? Aku ini kakaknya. Aku siap jadi sandaran kepalanya kala ia lelah. Aku siap jadi pendengar gerutuannya, kesedihannya, curhatannya. Aku siap melindunginya. Kenapa dia enggak mau minta bantuanku?!

Mataku menatapnya nyalang sembari menghentakkan kakiku di setiap langkah yang kuambil. "Ayo, nangis lagi! Biar aku denger!"

"Kak So udah sejak kapan di ...."

"Dari awal!" potongku.

Mata Aimer bergerak mengelilingi ruangan. Aku bisa membaca ekspresinya bahwa ia gugup dan sebenarnya ingin membohongiku jika saja aku tak mendengarkannya sejak awal. Kemandirian Aimer itu mengerikan. Sekali-kali, kan, tidak apa bergantung padaku. Melakukan sesuatu tanpa dibicarakan terlebih dahulu. Selalu.

Namun, aku tak merasa pantas marah padanya. Kakak yang baik, titel itu mungkin tak kan pernah aku dapatkan seumur hidup. Kuakui, Aimer lebih dewasa dariku dalam beberapa aspek. Dia mengerjakan pekerjaan rumah menggantikan ibu, baik di Underground maupun Surface. Selalu terlihat tegar dan tidak menangis. Menyebarkan pikiran positif sebisanya. Dia ... sungguh adik yang hebat.

Ah, sial. Mataku berair dan kini pipiku telah basah. "Aku juga ingin jadi kakak yang baik," ucapku pada akhirnya. "Selama ini, aku egois. Semuanya, yang kupikirkan hanyalah diriku sendiri."

Aimer mendengarkan.

"Tapi, ayah ternyata memang sesuai dugaanku. Ibu yang ternyata narapidana. Keluarga kita yang kacau. Menyadari itu semua, aku jadi berpikir, satu-satunya tempat kita bersandar hanyalah satu sama lain." Aku mengambil jeda untuk bernapas.

Luapkam semuanya. Dadaku memburu sampai rasanya sakit. Dengan air mata yang ada di pelupuk mata, aku berkata, "Aku juga mau jadi sandaranmu." Di detik berikutnya, air mataku dan Aimer jatuh bersamaan.

Tanganku terbuka lebar sembari berjalan ke tepi ranjang Aimer. Memeluk kepala gadis itu dan menenggelamkannya dalam dadaku.

"Hiks," isak Aimer yang terasa menggelikan di dadaku. Aku terkekeh pelan.

"Maaf, tetapi kalian menganggu pasien lain. Tolong redam suaranya. Dan, lainkali jangan lupa tutup pintu kamar," peringat seorang perawat yang muncul di depan pintu. Ekspresinya tertekuk dengan urat-urat wajah yang tertarik.

Bam!

Bunyi berdentum akibat bantingan pintu perawat itu membuat kami tergelak.

"Kagetnyaaa, ahahaha," tawaku sambil mengelap air mata yang baru saja menetes.

A-SOULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang