BERTENGKAR BERBISIK

82 12 1
                                    

"Sebaiknya kamu nggak usah mendengarkan apa kata mereka." 

Ibu tiba-tiba memberikan wanti-wanti sembari tangannya sibuk menyiangi bayam setelah menghabiskan hampir setengah jam hanya diam di dapur.

Sementara aku yang sedang berdiri di depan wastafel sembari mencuci buah dan sayur hanya bisa diam mendengarkan. Aku menyadari sebenarnya kalimat itu tidak diperuntukan padaku, tapi pada diri ibu sendiri. Ibu sedang mencoba untuk menguatkan diri dari pengaruh obrolan ibu-ibu yang berkerumun di tukang sayur tadi pagi. Apalagi topiknya kalau bukan membahas tentangku. Apa yang dikatakan mereka: "Perempuan itu tidak perlu sukses-sukses amat, nanti laki-laki pada takut."

Aku jelas tidak mendengarkan mereka dan ibu akhir-akhir ini sudah jarang sekali membahas tentang urusan pernikahan jadi kupikir ibu juga demikian, tapi aku keliru. Dalam urusan seperti ini, orang-orang kadang berlebihan seperti buat apa sukses kalau tidak kunjung menikah atau tidak usah sekolah tinggi-tinggi nanti juga kerjaannya di dapur atau nanti waktumu habis buat belajar, kapan kerjanya, kapan nikahnya atau yang lebih tidak bisa dimengerti, sekolah udah tinggi, kerjaan udah bagus kok belum menikah juga tunggu apa lagi? Seolah pernikahan itu urusan yang amat sangat sepele. Namun seringkali juga membingungkan, sering kudengar para orang tua mengatakan kepada anaknya: "Belajar yang rajin biar pinter kayak mbak Diana" atau "Contoh itu Diana bisa sekolah sampai luar negeri". 

Honestly, I'm done with all those things!

"Mereka hanya iri denganmu, Diana." Ibu melanjutkan sebelum aku mengatakan sesuatu. Pada dasarnya memang belum ada yang bisa kukatakan untuk saat ini.

Senyap lagi. Ibu menghela napas panjang, aku tahu ibu sedang berusaha untuk menahan diri dari sesuatu. Aku tetap berusaha untuk tidak membalikan badan dan hanya menatap keluar jendela.

"Kamu anak ibu yang hebat, lebih hebat dari siapapun di dunia ini." sungguh ucapan itu sama sekali tidak terdengar seperti pujian, lebih terdengar seperti kalimat penghiburan yang terkesan seperti dipaksakan untuk menenangkan diri sendiri, ujung kalimatnya bergetar menandakan ada isak yang tertahan disana.

Aku memejamkan mata, masih belum mengucapkan sepatah katapun, aku sedang berusaha sekuat tenaga untuk tidak meneriakan apa yang selama ini ada di benakku, 'Apakah aku semengenaskan itu? Apakah aku salah karena belum menikah di usiaku sekarang? Apakah kalian pikir aku sengaja melakukan ini? kalian harus tahu, AKU JUGA TIDAK TAHU KENAPA SEMUA INI TERJADI PADAKU'. Kalimat yang selama ini selalu berhasil kutahan di tenggorokan.

Aku akhirnya membalikan badan, namun ibu sudah tidak berada di tempatnya duduk. Saat aku tengah duduk hendak melanjutkan pekerjaan ibu, aku melihat Bagus datang dan aku tidak bisa lagi menahan air mata yang sejak tadi kutahan.

Bagus menghampiriku dan merengkuh bahuku, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. 

***

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang