"TIPPING POINT"

105 16 1
                                    

"Apa mungkin nantinya aku akan menikah?" Aku bertanya dengan nada melamun sembari rebahan di kursi, memeluk bantal pororo milik Kinanthi, menatap langit-langit ruang tamu rumah mbak Yuni. Rumah ini adalah tempat mengungsi terbaik di saat sedang perang dingin dengan ibu seperti sekarang ini. Menjaga jarak untuk sementara waktu adalah jalan terbaik. Biasanya setelah ini semua akan kembali seperti biasa tanpa perlu ada drama saling menyesali atau 'oh ini salahku seharusnya aku tidak perlu begitu' lalu saling berpelukan sambil menangis. No, itu sama sekali bukan style kami, keadaan akan membaik dengan sendirinya.

"Kamu sendiri sering bilang, semua orang akan menikah pada waktunya. Kenapa sekarang tiba-tiba ragu?" timpal mbak Yuni ringan sembari sibuk melipat baju-baju yang menggunung diatas dipan.

Aku hanya tersenyum miris. Benar, tapi setelah dipikir-pikir, kalimat itu sekarang terdengar seperti omong kosong. Setelah melihat ibu pagi ini aku menyadari sesuatu, itu juga yang selama ini secara tidak sadar aku lakukan. Menyangkal. Di lubuk hatiku yang paling dalam aku juga ingin seperti kebanyakan orang, dimudahkan jodohnya, bisa segera menikah, punya anak, punya keluarga bahagia langgeng selama-lamanya sehidup sesurga. Tapi aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa seperti orang-orang, kenapa Tuhan tidak kunjung mempertemukanku dengan jodohku, kenapa urusan yang terlihat remeh temeh untuk kebanyakan orang terasa begitu pelik bagiku. Aku tidak pernah dengan sengaja menghambat pernikahan, sungguh. Orang-orangmengira aku terlalu sibuk dengan pekerjaan, tujuan, memikirkan orang lain sehingga lupa dengan diri sendiri. Aku memang sibuk dengan itu semua, tapiaku sama sekali tidak lupa dengan diri sendiri, hanya saja pada saat itu bukanprioritas dan aku berpikir mungkin karena aku masih harus bertanggung jawab terhadap banyak hal sehingga aku dibiarkan 'sendiri' untuk sementara waktu supaya aku bisa fokus. Namun setelah semuanya kulalui, ketika kepentinganku perlahan sudah menjadi prioritas lagi-lagi semuanya tidak semudah kebanyaka norang. Atau, apakah selama ini aku terlihat mengerikan seperti wabah penyakit? sehingga tidak ada orang yang berani mendekatiku?

"Entahlah." Gumamku setelah berpikir beberapa saat. Terdengar begitu menyedihkan, sepertinya duniaku mulai terbalik. Aku meragukan diriku sendiri, aku mulai merasa kosong, frustasi. Aku sering mendengar orang mengatakan ini, there's someone for everyone, love will always find a way. Selama ini aku meyakini yang mereka katakan benar. Aku sering melihat di jalan, di mall, di transportasi umum atau di mana saja pasangan-pasangan yang sepertinya tidak mungkin bersama, like one person that's so unusual to the natural one that I think it can't be possible to happen. Tapi kemudian aku mendengar seseorang mengatakan, there's got to be an exception. Hal itu kemudian seolah membuatku sadar bahwa mungkin akulah orangnya, akulah pengecualian itu, there's someone for everyone, everyone except me.

"Diana, mungkin aku bukanlah orang yang pantas mengatakan ini. Kamu tahu, aku gagal. Tapi percayalah, semua yang ada di dunia ini sudah diatur sedemikian rupa bahkan mungkin otak kita nggak akan bisa mengerti meskipun kita hidup ribuan tahun. Urusan jodoh itu perkara yang amat gampang. Jadi nggak perlu galau apalagi risau."

Aku menghembuskan napas perlahan. Masih menatap petak langit-langit. Telingaku seperti menolak untuk mendengar kalimat Urusan jodoh itu perkara yang amat gampang yang tiba-tiba terdengar penuh dusta itu.

"Allah telah mengatur skenario terbaik untuk hidupmu. Sekarang coba kamu bayangkan seandainya kamu dulu jadi menikah, apakah kamu bisa seperti sekarang ini? Apakah kamu bisa dengan leluasa memberikan seluruh perhatianmu untuk keluargamu, untuk adik-adikmu yang membuat semua orang tua iri itu? Kenapa kamu jadi lupa bersyukur seperti itu."

Ah, iya benar. Kalimat terakhir itu benar-benar menusukku.

"Jika aku boleh jujur, saat ayahmu meninggal aku merasa bersyukur. Kenapa? Karena beliau dipanggil pada saat kamu sudah berhasil melewati segala macam tempaan yang pernah kamu hadapi, disaat kamu sudah kokoh, kuat, dewasa. Masih banyak orang-orang kurang beruntung di luar sana yang berdoa siang dan malam agar bisa sepertimu."

Aku masih menatap langit-langit. Mendengarkan sembari merenungi setiap kalimat yang diucapkan oleh mbak Yuni yang banyak sekali benarnya. Lebih baik aku diam, karena setiap kalimat yang akan keluar dari mulutku saat ini adalah penyangkalan, akibat dari kurangnya rasa syukur.

"Aku tahu kamu hidup dalam semua cerita-cerita itu, Diana."

Kalimat itu mengacu pada kegemaranku membaca novel-novel klasik yang dengan senang hati akan kubacakan resumenya setiap kali menyelesaikan satu buku yang biasanya dia tanggapi oleh mbak Yuni dengan: Tolong, semua itu hanya fiktif!

"Tapi jangan pernah mencoba merancang skenario hidupmu sendiri, seperti berkhayal bertemu jodohmu di kereta api saat bolak-balik mudik, di busway saat bolak-balik bekerja, di pesawat atau berkhayal tiba-tiba kamu terlibat masalah dengan seorang artis lalu jatuh cinta."

Aku tersenyum. Artis, bagaimana bisa mbak Yuni kepikiran tentang artis. Kurasa dia terlalu banyak nonton FTV dan drama korea.

"Tolong hidupmu bukan drama korea, berkhayal seperti itu hanya akan membuatmu stres."

Kali ini aku memutar kepalaku sembilan puluh derajat menghadapnya, ingin memprotes bahwa aku tidak pernah menonton drama korea. Dialah yang keranjingan. Tapi kalimat itu tidak pernah terucap.

"Pada intinya selalu bersyukur, sabar, ikhlas dan jangan pernah lupa untuk bahagia karena kesabaran akan menguatkamu, keikhlasan akan menghapus kesedihanmu dan kebahagiaan akan memantapkan langkahmu menjalani semua ini."

Mbak Yuni akhirnya menyelesaikan pekerjaannya melipat baju lalu menatapku dalam-dalam. "Kamu pasti akan menikah, Diana." 

***

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang