"Aku minta maaf baru menghubungimu, Di.."
Suara pelan bernada lelah terdengar di ujung sana.
Alvin menghubungiku tiga hari kemudian. Berita hilangnya pesawat yang mengangkut lebih dari 250 penumpang beserta kru itu menjadi headline news dimana-mana. Terkonfirmasi sebanyak dua puluh sembilan diantaranya merupakan WNI sehingga hampir semua chanel TV baik nasional maupun swasta berlomba-lomba memberikan informasi terkini.
"Bagaimana keadaannya?"
"Julie sudah lebih baik tapi adiknya belum. Dia masih sangat terpukul dan belum bisa diajak bicara." Jelasnya dengan nada yang terdengar begitu lelah bercampur frustasi.
Diam sesaat.
"It's chaos out here, Diana."
Aku masih diam. Tidak tahu apa yang harus kukatakan. Terakhir kali bertemu dengan Alvin, kami bertengkar untuk sesuatu yang sesuai rencana seharusnya terlaksana hari ini. Seharusnya, tapi tidak ada 'sesuatu' yang terjadi hari ini. Namun anehnya aku tidak merasakan sesuatu seperti marah, kesal, sedih ataupun kecewa. Tidak juga sebaliknya. Aku tidak merasakan apa-apa. Kosong.
"Aku minta maaf udah mengacaukan rencana besar kita, Di. Aku juga minta maaf udah membuatmu dan keluargamu kecewa. Terlebih ibumu." Katanya lirih setelah sesaat sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Nggak apa-apa. Aku belum memberitahu mereka jadi kamu nggak mengecewakan siapa-siapa." Jawabku tidak kalah lirih. Supaya tidak terdengar seperti sarkasme aku menambahkan. "Lagi pula kita masih bisa merencanakan ulang acara kita, bukan?"
Aku tertawa pelan, mencoba bergurau.
"Tentu." Dia ikut tertawa di ujung sana. Tawa yang terdengar ganjil. Entahlah. "Aku akan langsung datang ke rumahmu begitu kembali ke Indonesia. Aku tidak akan-"
Aku mengernyitkan kening. "Kembali ke Indonesia?" selaku.
"Oh." Suaranya terputus. Bukan karena masalah jaringan. Seperti dia melupakan sesuatu. "Aku di Jerman sekarang." Hening sejenak sebelum dia melanjutkan. "Pihak kedutaan Jerman langsung menghubungi Julie dan memintanya untuk datang kesana supaya lebih mudah mengurus semuanya. "
Aku tercekat. Bagiku, penjelasan berikutnyavtudak penting. Dia berangkat ke Jerman dan tidak memberitahuku sebelumnya? Itu intinya. Kalau aku mengeluhkan hal ini dia pasti akan beralasan karena keadaan sangat kacau yang membuat dia lupa memberitahuku. Tapi aku tidak ingin berdebat meskipun mudah saja bagiku untuk memulainya. Aku yakin energinya sudah cukup terkuras disana jadi aku tidak ingin menambah beban pikirannya dengan hal yang kekanak-kanakan. Be patient, Diana!
"Julie dan adiknya udah nggak punya siapa-siapa lagi. Mereka membutuhkan seseorang di saat-saat seperti ini. Kuharap kamu bisa mengerti, Di."
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Entah karena mengerti ataukah sebaliknya. Aku sendiri tidak tahu. Pikiranku terlalu melanglang buana kemana-mana.
"Salam buat mereka Julie dan adiknya. Aku turut berduka, I hope they recover from whatever is ailing them." Hanya itu yang berhasil keluar dari mulutku.
"Sekali lagi aku minta maaf, Diana." Lirihnya.
"Jangan lupa makan, Vin. Jaga kesehatan. Cepat pulang."
Hubungan telepon terputus. Tangan kananku yang memegang ponsel jatuh merosot ke pangkuan. Selama beberapa menit aku hanya menatap tayangan berita yang menayangkan suasana di Bandara Frankfurt sebelum akhirnya tangan kananku terulur meraih remot dan menekan tombol power. Aku menyandarkan punggungku ke sandaran sofa, mendesah pelan sembari menutup mata. Apakah ini akan selalu menjadi takdirku? Kebahagiaan yang kuanggap sudah didepan mata tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat dalam sekejap. Aku memang mengatakan bahwa semua bisa direncanakan ulang, namun aku sadar bahwa itu hanyalah sebuah basa-basi. Tak lebih dari sekedar penghiburan untuk diri sendiri. Yang sesungguhnya kucemaskan ialah, mereka tidak hanya membutuhkan Alvin di saat-saat seperti ini saja, akan tetapi saat-saat berikutnya dan berikutnya lagi dan aku tidak tahu siapakah yang akan dia pilih nantinya, apakah dia akan mempertahankanku ataukah melepaskanku.
"Apa mungkin nantinya aku akan menikah?"
Perlahan air mataku keluar dari kedua ujung mataku seiring dengan kembalinya pertanyaan yang sebenarnya sudah tidak lagi mendominasi kepalaku sejak beberapa waktu terakhir ini. Sama halnya seperti sebelumnya ketika aku tahu bahwa aku akan menikah, semua ini terasa seperti mimpi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...