Sayup-sayup kudengar suara teriakan ibu bersahut-sahutan memenuhi otakku.
"Diana, dasimu ketinggalan!"
"Diana, makan dulu baru main!"
"Diana, cuci piringnya!"
"Diana, angkat jemuran!"
"Diana, cepat buka bukumu!"
"Diana......" suara ibu yang lembut kali ini terdengar lirih namun jelas di telingaku.
"Hm," sahutku malas tanpa membuka mata. Hanya mengeliat sedikit.
"Diana......" ibu memanggil sekali lagi. Kali ini tangannya yang dingin menyentuh pipiku. "Bangun."
Pelan-pelan mataku terbuka lalu kulihat wajah ibu yang tersenyum cerah. Aku mengedipkan mataku berkali-kali sambil mengusap mulutku. Aku melihat raut kebahagiaan yang luar biasa terpancar di wajahnya.
"Ini hari apa? Kenapa ibu kelihatan bahagia banget begitu?" tanyaku masih setengah sadar sembari menguap lebar.
"Ini hari bahagiamu, kamu akan segera menikah. Ayo bangun!"
Mendengar itu aku langsung tersentak. Mataku langsung terbuka sepenuhnya. Lalu aku melihat Chris yang menepuk pipiku dengan cemas.
"Hei, are you okay?"
Aku tidak langsung menjawab. Setengah kesadaranku sepertinya masih tertinggal di alam mimpi. Mimpi yang benar-benar seperti nyata.
"Ya," aku akhirnya mengangguk lalu mengangkat kepalaku dan melihat orang-orang sudah berdiri.
"We arrived!"
Chris memberitahuku sebelum dirinya berdiri mengambil tas ranselku di atas kabin kereta. Sementara aku masih duduk, hanya mataku yang bergerak mengikuti gerakan tubuhnya yang sedang mengambil ransel lalu bergeser sedikit ketika ada seseorang yang memintanya memberi jalan. Dia tersenyum kepada setiap orang yang melewatinya. Tiba-tiba satu pertanyaan mendominasi kepalaku, dari semua orang di dunia ini, kenapa dia yang mengantarku pulang?
"Hei,"
Lamunanku buyar.
"Can you help your self to walk or-"
"Yes." sahutku lirih lalu mencoba bangkit. Selama ini aku merasa tidak kelebihan berat badan, tapi kenapa tubuhku terasa berat sekali sampai-sampai aku hampir terhuyung.
"Do you need my hand?" Chris yang melihat kesusah payahanku mencoba mengulurkan tangannya.
"No." tolakku.
Setelah memastikan aku bisa berdiri dan berjalan sendiri tanpa bantuannya, dia berjalan lebih dulu. Tentu saja dengan berkali-kali melihat ke belakang memastikan aku tidak tumbang tiba-tiba. Dia yang berjalan beberapa meter di depanku terlihat menoleh ke kanan kiri seperti sedang mencari sesuatu. Dia berhenti sejenak, merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel dan mendekatkan ke telinga. Aku tidak begitu jelas mendengar apa yang dikatakannya tapi tiba-tiba dia mengangkat tangannya yang tidak memegang ponsel dan beberapa detik kemudian seseorang menghampirinya. Setelah bercakap-cakap sebentar dan menyerahkan sesuatu, pria itu pergi setelah sebelumnya tersenyum padaku.
"Come on, Diana!"
Chris kembali berjalan seperti sudah mengenal tempat ini dengan baik. Dia sama sekali tidak bertanya padaku dimana pintu keluarnya, ke kanan atau ke kiri, ataukah harus naik tangga atau bagaimana. Tahu-tahu, aku sudah duduk di dalam mobil kodok tua berwarna merah maroon, baiklah dia selalu menyebutnya mobil klasik atau apalah yang terparkir di halaman stasiun.
"Wait here for a second, I'll be right back." katanya dengan kepala yang melongok dari luar pintu kemudi yang kacanya setengah terbuka. Aku mengangguk lemah, beberapa menit kemudian dia sudah kembali dengan dua buah kue donat dan dua gelas teh manis panas di tangannya.
"Ini makanlah," katanya saat sudah masuk ke dalam mobil.
Aku menggeleng. "I'm not hungry."
"Aku juga tidak lapar. Tapi kita tetap harus makan. Apalagi kamu, kamu butuh tenaga untuk bisa menghadapi semua ini." nada suaranya terdengar seperti omelan di telingaku.
"Please stop talking, Christopher." kataku akhirnya.
Dia langsung menurut tanpa membantah. Kepalaku menunduk, ada begitu banyak hal yang berdesakan, rasanya berat sekali. Aku sungguh tidak bermaksud menyinggungnya dengan mengatakan kalimat itu, aku benar-benar tidak tahu diri jika melakukannya. Aku hanya, yah, semoga dia bisa mengerti situasi yang sedang kuhadapi.
"Diana, I uh," Chris menghentikan ucapannya saat aku menoleh. Mungkin tatapanku terlihat seperti aku akan memakannya hidup-hidup. Tapi akhirnya dia melanjutkan dengan canggung. "Aku tidak tahu dimana rumahmu, can you lead the way?"
"Lurus saja."
Dia mengangguk lalu kembali fokus dengan jalanan di depannya. Aku menyandarkan kepala, menoleh ke kanan. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kutanyakan padanya tentang bagaimana dia bisa melakukan semua ini, apa yang akan dia lakukan di rumahku nanti, menginap dimana, bagaimana dia akan menghadapi pertanyaan orang-orang dan lain sebagainya. Aku terbiasa dengan detail, aku benar-benar ingin segala sesuatunya berada dibawah kendaliku. Satu hal yang seringkali menjadi bumerang bagiku.
"What?" Katanya pelan setelah menoleh beberapa kali dan mendapati aku sedang memerhatikannya.
Sejujurnya aku memerhatikannya tanpa kusadari, maka aku hanya menggeleng, mengalihkan pandanganku ke depan dan berkata. "Make a right." Pengalihan yang tepat pada waktunya.
Aku memandang keluar jendela untuk pertama kali. Seiring dengan berlalunya setiap tikungan dan penanda jalan yang menunjukan kami semakin dekat dengan tujuan, entah bagaimana aku merasakan sedikit lebih tenang. Seperti aku tiba-tiba memiliki kekuatan untuk bisa menghadapi semua ini dengan tegar. Entah darimana datangnya.
Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkan dengan pelan saat perlahan mobil melewati gerbang dan berhenti di halaman rumah. Jauh di benakku, aku seolah tahu bahwa aku akan menghadapi sesuatu yang lebih pedih, sesuatu yang lain, bukan tentang kepergian ibu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...