SELAMAT JALAN

134 15 4
                                    

Di halaman rumahku yang tidak terlalu luas itu, ratusan orang sudah berkumpul. Aku menelan ludah, sedetik kemudian aku merasakan tangan Chris yang menggenggam tangan kananku. Aku menoleh dan dia mengangguk pelan. Kakiku patah-patah turun dari mobil. Bagus, adik tertuaku menyambutku dan memelukku erat sekali diikuti Abimanyu. Kami menangis tanpa air mata membuat suasana lengang seketika, para pelayat mulai menyeka ujung-ujung mata menyaksikan pemandangan di depan mata, tiga anak manusia tanpa bapak, kini tanpa ibunya. Saat aku sedang berjalan menuju ke dalam rumah, tiba-tiba seorang wanita paruh baya mengahambur ke arahku dan langsung memelukku. Aku yang kaget hanya bisa diam saat beliau mulai menangis sambil meracau di bahuku. Jangan sekarang, kumohon.

"Yang sabar, yan......."

Aku menghela napas berat.

"Owalah Yan, ibumu masih muda, seharusnya aku yang pergi lebih dulu. Kenapa gusti Allah manggil ibumu duluan. Maryam, maryam... anak-anakmu belum pada berumah tangga kenapa pergi dulu, Mar.."

Seketika tangis yang sudah kutahan-tahan pecah. This is it. Bagian terberat dari kepergian ibu. Bukannya melepaskanku beliau malah semakin kencang memelukku seolah hal itu pantas dikatakan pada situasi seperti ini.

Saat itu tiba-tiba tangan Chris meraih bahu wanita yang biasa aku panggil wa itu dan melepaskannya dari tubuhku. Segera saja aku melangkah ke dalam rumah dan seketika aku terdiam, menatap gemetar. Perlahan kakiku melangkah, di dalam ruang tamu terdapat puluhan orang yang sedang duduk dengan alquran di tangan masing-masing. Bacaan surat yasin menggema. Mbak Yuni yang menyadari kedatanganku menatapku dengan lemah.

Di atas ranjang jenazah persis di tengah ruangan, tubuh ibu membeku. Tubuh itu sudah tertutup kain kafan hanya bagian wajahnya saja yang terbuka. Aku tersungkur memeluk tubuh dinginnya. Setengah jam yang lalu aku berjanji kepada diri sendiri untuk kuat, tabah, tegar. Tapi apalah daya, rasa sesak ini begitu menusuk ulu hati sampai-sampai aku mulai tidak bisa mengendalikan diri. Aku mulai meracau menyalahkan diri sendiri. Tentang diriku yang tidak bisa disamping ibu selamanya, tentang diriku yang tidak merawat ibu saat sakit, tentang diriku yang tidak ada di saat-saat terakhirnya, tentang diriku yang sering membuatnya menangis, semuanya termasuk tentang aku yang tak kunjung menikah. Mbak Yuni mendekat mendekap bahuku dari belakang, berbisik tentang nasib, jalan hidup, memberiku kalimat positif sebanyak-banyaknya.

Seorang pria usia awal lima puluhan yang masih kerabatku menyuruh mbak Yuni untuk membawaku ke kamar mandi, mengambil air wudhu setelah itu menyolatkan ibu. Awalnya aku memberontak tapi akhirnya dia berhasil membawaku meski dengan susah payah.

Saat itulah, saat aku baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba Chris berseru, sesuatu yang tidak pernah aku sangka sama sekali. "I will marry her!"

Semua orang di ruangan terdiam seketika. Bukan karena kata-katanya tapi karena tiba-tiba ada orang asing masuk dan berteriak di depan orang meninggal. Melihat kebingungan orang-orang, buru-buru dia mengoreksi kalimatnya. "Aku akan menikahi Diana, sekarang juga."

Sontak semua orang melongo dibuatnya. Termasuk aku yang sudah lebih dulu terkaget-kaget.

"Kamu yakin, anak muda?" tanya laki-laki yang menyuruhku ke kamar mandi itu. Beliau biasa aku panggil paman, adik sepupu dari ayahku. Chris mengangguk.

"Aku yakin."

Aku mendadak kehilangan keseimbangan. Mbak Yuni yang menahanku bertanya cemas. "Yan, nggak papa?"

Aku menggeleng. Menggeleng dalam arti bukannya aku tidak kenapa-kenapa. Aku kenapa-kenapa sekarang, otakku sepertinya lumpuh.

"Begini nak, boleh kutanya sesuatu?" paman yang saat itu sudah dalam posisi duduk begitu juga dengan Chris, bertanya dengan pelan dan hati-hati. Chris mengangguk. Dalam hati aku berharap semoga Chris tidak salah tangkap dan mengerti apa yang sedang dilakukannya.

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang