Thalia berusaha fokus dengan jalan di depannya. Matanya yang sedikit sipit sekarang menjadi sangat sipit karena mengantuk. Kantuk memang sudah menyerangnya sejak ia di cafe tadi. Biasanya ia hanya bekerja sampai pukul sembilan malam. Tapi karena malam minggu, tempatnya bekerja menambah jam buka.
Thalia kembali menguap, yang dipikirkannya saat ini hanyalah pulang dengan cepat, membasuh kakinya lalu tidur di kasurnya yang nyaman. Membayangkannya saja sudah hampir membuat sepedanya oleng. Huft, setidaknya udara malam sedikit membuatnya lebih melek.
Brrrm
Mata Thalia langsung mengerjap cepat mendengar geraman motor dari arah belakang. Jalan yang ia lewati memang sepi, sangat sepi malah. Karena sejauh mata memandang hanya sepedanya yang nampak memberi penerangan dari senter kecil di keranjang depan stang. Oh, ditambah satu motor dibelakangnya yang membuat Thalia langsung melek dan berkeringat. Akhir-akhir ini, klitih di daerahnya sedang gencar menampakkan diri. Thalia mengumpat, tadi yang ia pikirkan hanya mencari jalan tercepat untuk ia pulang menyambut kasur dan guling nyamannya. Tanpa memikirkan keselamatannya sendiri, hiks.
Thalia merasa jantungnya hendak copot berlari keluar dari tubuhnya saat motor itu sudah berada di sampingnya. Kini Thalia mengutuk sepeda onthelnya yang kalah laju -karena mengantuk dan lelah, dengan motor klx orang itu. Jelas kalahlah!
"Sst! Sst! Mbak cantikk." Goda seorang pemuda yang Thalia yakini berada di sampingnya saat ini. Ya mau siapa lagi?
"Emang lu liat mukanya?" Tanya seorang di depan.
"Ck, menengo su." Jawab yang dibonceng.
Thalia memejamkan matanya, berusaha tidak peduli dengan dua orang itu. Yang harus ia lakukan hanya tetap tenang, melajukan sepedanya sampai di ujung jalan lalu ia menemui keramaian. Selesai. Semudah itu. Ia tak akan diapa-apakan.
Ck, andai semudah itu. Thalia ingin menangis rasanya saat pemuda di sampingnya kembali melontarkan godaan. Ah sial, dua orang, Thalia terlalu ketakutan, jadi untuk mencerna dua suara berbeda saja dia tak bisa.
"Mbak cantik, ck! Kok mingkem terus sih. Perlu tak cium dulu biar buka itu mulut?" Kesal pemuda yang dibonceng.
"Heh, menengo. Koe ki marai wedi goblok. [Heh diem. Lo tuh bikin takut goblok]." Ucap pemuda di depan. Lalu Thalia mendengar pemuda yang dibonceng tertawa.
"Santai aja mbak, kita cum-"
"Woy!" Thalia semakin ketakukan saat motor lain tiba-tiba sudah menjejeri motornya dan motor dua pemuda itu.
"Lah Gib, ngapain? Katane mau pulang tadi?" Tanya pemuda di sampingnya.
"Ya ini gue mau pulang lewat sini. Lo pikir jalan pulang ke apart gue satu doang?" Jawab si 'Gib', Thalia mendengar logatnya bukan seperti orang Jawa. Sepertinya memang bukan orang Jawa, tidak seperti dua orang di sampingnya.
"Sante kali, gitu doang juga." Si 'Gib' menjawab dengan kekehan.
"Heh, lo mau apain anak gadis orang lo pepet-pepet gitu." Kata si 'Gib' lagi dengan heran. Thalia yang sedikit lega saat mereka mengabaikan kehadirannya tadi, kembali berkeringat.
"Oh ini, gue jagain. Sepi jalannya, takut ada klitih." Thalia langsung mengerjapkan matanya. Hah? Mereka cuma mau jagain dia?
"Yang bener lo? Kayanya tu cewek malah takut sama lo pada." Sahut si 'Gib' berlagak tak percaya.
Thalia melirik sedikit, terkejut saat mereka tengah menatapnya serentak. "Iya ya, ya maap. Ini gara-gara si Bambang nih, tadi malah digodain."
"Kok gua?!" Seru Bambang tak terima. "Ya kan emang cuma elu." Sahut pemuda yang memboncengkan santai.
"Kan lo juga ikut nimbrung!"
"Kan kaga godain."
"Asu ki." Umpat Bambang kesal menabok punggung pemuda di depannya, lalu dua orang lainnya tertawa.
"Udah dia sama gue aja, lo pada balik sono." Ucap pemuda yang dipanggil 'Gib'.
"Kaga ah, ntar malah baper sama lo lagi ngga jadi sama gue." Bambang berkata ngawur. Si 'Gib' tertawa, "udah buru, dimarahin mbokmu nanti."
"Ya udah Gib, gue sama si Bambang duluan!"
"Yoi." Lalu motor di samping Thalia melaju meninggalkannya bersama si 'Gib'.
Melihat dua orang tadi pergi tanpa mengapa-apakan dirinya, Thalia menghembuskan nafas lega. Huft, ternyata emang bukan klitih.
"Lo ngga takut pulang malem sendiri kaya gini?" Tanya pemuda di sampingnya tiba-tiba. Thalia sontak menoleh, mendongak karena motor pemuda itu tinggi. Lalu ia kembali fokus ke depan, takut menjawab.
"Santai aja kali, gue bukan penjahat." Thalia hanya melirik sekilas. Pemuda di sampingnya terkekeh. "Gue anterin sampe rumah lo."
Lalu hening, Thalia ingin berkata tidak juga ia takut. Beberapa menit kemudian, mereka masuk ke gang sempit yang maksimal hanya cukup dimasuki motor. Pemuda itu ikut masuk, Thalia yang menyadarinya mengerjap tak nyaman.
Sampai di depan rumah kecilnya, pemuda itu melepas helm. Mau tak mau Thalia menoleh ke arah pemuda itu dengan canggung, "ma-makasih."
Pemuda itu tersenyum, "sama-sama. Lain kali ngga usah main sampe malem lah. Lo tu cewek, ngga baik. Mana akhir-akhir ini banyak klitih lagi. Lo mau jadi korban?"
Thalia menggeleng pelan sambil menunduk. Sebenernya ia ingin membenarkan bahwa ia pulang malam karena bekerja, bukan main. Tapi ia urungkan, lagian mereka tak akan bertemu kembali, tak kenal pula. Untuk apa Thalia repot-repot menjelaskan?
Thalia kembali melirik pemuda itu, sedetik kemudian ia kembali menunduk melihat pemuda itu ternyata tengah memerhatikannya.
"Gue Gibran." Tiba-tiba pemuda itu menyodorkan tangannya. Thalia mengerjap, menerima takut-takut tangan itu. "Thalia."
///
TBC.
(Klitih//: tindakan (biasanya) anak remaja di daerah Jogja yang bikin rusuh. Biasanya sih mereka bacok orang -sadisnya. Pokoknya mereka anak-anak nakallah.)
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me (On Going)
Teen Fiction⛔Mengandung banyak kata kasar dan kekerasan⛔ "Berapa yang lo butuhin?" Thalia meremas tangannya gugup, tak berani mendongak untuk menatap Gibran yang sedang duduk bak boss besar di depannya. "Du-dua puluh- j-juta." Kata Thalia pada akhirnya dengan...