Thalia menatap langit-langit kamar Gibran setelah Gibran keluar. Ia bingung harus bagaimana, mau pulang sendiri takut, mau pulang juga dilarang Gibran. Thalia tidak tau sejak kapan titah Gibran bagai hal wajib yang harus ia laksanakan. Karena, untuk melanggar juga ia tak berani.
Lalu Gibran masuk ke dalam mengambil sesuatu di rak dekat sofa, Thalia sontak mengalihkan pandangannya ke arahnya. "Gue tidur di luar, kalo butuh apa-apa tinggal teriak aja. Gue bangun," ucapnya santai.
Thalia mengerjap-ngerjap, "Gib, kamu yang tidur di sini aja. Aku yang di luar," gadis itu merasa tak enak, masa yang punya malah tidur di luar?
"Ngga papa, gue tidur dimana pun juga bakalan merem. Lagian tangan lo lagi sakit," tunjuk Gibran pada lengan Thalia yang terbungkus perban.
Thalia meringis, "ya udah, kamu tidur di sini aku di sofa itu." Tujuk Thalia pada sofa yang cukup lebar di belakang Gibran. Gibran menoleh menatap sofa di belakangnya, lalu pemuda itu berjalan mendekat. Thalia mengerjapkan matanya berkali-kali. Gadis itu langsung tersentak saat Gibran sudah mendaratkan tubuhnya di bagian kiri kasur. Tepat di samping Thalia.
"Gi- Gib?" Tanya Thalia gemetaran.
"Ck, diem aja ngapa sih dari tadi ribet mulu. Udah deh, gue ngga apa-apain lo tenang aja."
///
Sore itu, setelah Gibran pulang Thalia langsung merengek untuk kembali ke rumahnya. Lalu, di sinilah mereka. Diruang tamu kecil Thalia dengan Gibran yang duduk bersila di sofa memainkan game di ponselnya, Thalia sedang membuatkannya teh setelah paksaan panjang gadis itu.
Tok! Tok! Tok!
Gibran mengerutkan keningnya, ia berjalan ke arah pintu.
"Loh siapa kamu? Mana Thalia?" Bu Rita dengan dua bodyguardnya mengernyit heran mendapati Gibran yang berdiri di depannya. "Ada apa?" Tanya Gibran datar.
"Yo Thalianya mana, gimana to masnya ki? Orang saya cari Thalia kok." Bu Rita menatap Gibran sebal, lalu ia mengedarkan pandangannya ke dalam rumah Thalia. "Thalia! Keluar kamu!"
Gibran mengerutkan keningnya mendengar teriakan bu Rita yang berada tepat di sampingnya. Sedangkan Thalia, gadis itu tiba-tiba sudah berada di sampingnya. "Iya bu?"
"Saya majukan waktu pelunasan utangmu, saya butuh uang itu cepat dalam satu minggu." Jelas bu Rita santai, Thalia langsung melebarkan matanya. "Tapi bu-"
"Ngga ada tapi-tapian, siapa suruh hutang sama saya. Ya harus terima konsekuensi, kalo ngga bisa bayar ya ngapain hutang?"
"Gini nih orang miskin, pas minta melas-melas suruh cepet, pas ditagih molor-molor terus bayarnya." Ucap bu Rita menusuk, "kalo kamu ngga bisa bayar dalam seminggu, saya tambah bunga sepuluh persen perdua harinya!" Thalia semakin tergagap syok.
"Bu-" belum sempat Thalia menyelesaikan ucapannya, bu Rita sudah keluar dari terasnya bersama dua bodyguardnya. Thalia langsung berjongkok menjambak rambutnya frustasi, tanpa memedulikan tangannya yang diperban.
Thalia mulai terisak, "kenapa sih jalan hidup aku susah banget?" Gumamnya di sela isakan. Gibran menghela nafas mendengar gumaman itu, ia lalu berjongkok di depan Thalia. "Thal?"
Thalia hanya membalas dengan isakannya, Gibran mendekat, lalu memeluk Thalia yang tengah menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan. "Jangan menyalahkan takdir, apalagi Tuhan. Semua punya masalah dalam hidupnya masing-masing, ngga ada ujian yang melebihi batas kemampuan hamba-Nya. Jangan menyerah, mungkin saat ini lo di bawah, tapi besok? Bisa aja lo lebih sukses dari orang tadi. Tetep semangat, tunjukin lo bisa dengan bangkit dan percaya bahwa Tuhan itu mempunyai hadiah di akhir cobaan yang Dia beri." Ucap Gibran panjang lebar, ia mengelus rambut Thalia lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me (On Going)
Ficção Adolescente⛔Mengandung banyak kata kasar dan kekerasan⛔ "Berapa yang lo butuhin?" Thalia meremas tangannya gugup, tak berani mendongak untuk menatap Gibran yang sedang duduk bak boss besar di depannya. "Du-dua puluh- j-juta." Kata Thalia pada akhirnya dengan...