Karena setelah pahit akan ada manis yang datang menemani.
///
Thalia mengerjapkan mata berusaha memperjelas pandangannya yang buram. Ia mengedarkan pandangannya menyadari tengah terbaring di UKS. Mata Thalia sedikit membulat mendapati Gibran duduk dengan ponsel dan rokok di tangannya.
"Gibran?" Gibran berdeham malas, tak mengalihkan pandangan dari ponsel. Sepertinya sedang main game.
Thalia berusaha bangkit, menyadari pergerakan Thalia, Gibran mendongak. "Makan tuh bubur, capek-capek gue jalan kaki buat beliin tuh makanan." Jelas Gibran dengan nada tak ikhlas.
Thalia menggaruk kepalanya yang tak gatal, "makasih." Ia mengambil bubur di nakas, lalu memakannya pelan dengan menunduk.
Gibran mendongak, menatap gadis di atas bangkar UKS yang nampak kesulitan memakan buburnya. Gibran merasa gemas karena gadis itu memakan makanannya sangat lambat, ia menghela nafas pelan, "sini gue bantuin."
Thalia mendongak melihat Gibran yang berdiri mendekat ke arahnya. "Eh?"
"Aa," suruh Gibran sambil mengangkat sendoknya, Thalia membuka mulutnya malu kemudian kembali menunduk. Gibran menarik kursinya mendekat ke arah bangkar, tangan kirinya ia gunakan untuk memainkan ponsel. Thalia heran, memang di ponsel Gibran ada apanya? Sampai menggunakan tangan kiri pun sanggup Gibran lakukan.
Sesekali Gibran menyuapi Thalia yang terdiam kaku di atas bangkar UKS, lalu memainkan ponselnya. Seperti itu terus sampai bubur Thalia habis. Sebenarnya Thalia tadi sudah merasa perutnya sangat penuh setelah beberapa suap, tapi karena kecanggungan yang mendera mereka -Thalia seorang tepatnya, akhirnya ia hanya diam menerima suapan Gibran.
///
Thalia mengayuh sepedanya pulang ke rumah, jarak sekolah dengan rumahnya memang sedikit dekat, hanya satu kilometer. Gadis itu memasukkan sepedanya di teras rumah kecilnya setelah sampai. Ia kemudian segera melepas sepatunya, lalu masuk ke kamar berganti baju.
"Masak apa ya.." ucap Thalia panjang melihat-lihat isi lemari pendingin. Ia tersenyum mendapati satu butir telur dan cabai rawit. Segera Thalia melangkah mengambil mangkuk lalu mengaduk telurnya. Memasukkan potongan cabai dan garam lalu menggorengnya.
Tok! Tok! Tok!
Thalia mengerutkan kening, siapa yang bertamu? Gadis itu mengelap tangannya, lalu berjalan menuju pintu depan.
"Thalia, saya beri kamu waktu satu bulan untuk melunasi hutang ibu kamu! Kalo nggak bisa, rumah ini saja yang jadi gantinya." Seorang ibu dengan dandanan menor langsung menyemburkan ucapannya setelah Thalia membukakan pintu. Thalia mengigit bibir bawahnya, "iya bu, insyaallah."
"Jangan insyaallah, insyaallah aja! Usaha! Saya dengar kamu cuma jadi pelayan cafe, ya gimana mau lunas hutang kamu? Kamunya aja ngga kerja keras!" Thalia hanya menunduk meremas tangannya.
Bu Rita mendengus sinis, "awas aja kalau sebulan ini tidak kamu lunasi. Udah baik ya saya ngasih kamu kelonggaran terus karena saya tau kamu yatim piatu." Wanita menor itu lalu berjalan keluar teras Thalia bersama dua orang besar di sampingnya.
Thalia memejamkan matanya, ia lalu berjalan kedalam. "Nyebelin banget sih." Gerutunya, ia menghela nafas. Sebenarnya bukan salah bu Rita, wajar saja ia marah jika utangnya tak kunjung dibayar, banyak pula. Tapi, tetap saja Thalia kesal dengan ucapan menusuk dan merendahkan bu Rita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me (On Going)
Jugendliteratur⛔Mengandung banyak kata kasar dan kekerasan⛔ "Berapa yang lo butuhin?" Thalia meremas tangannya gugup, tak berani mendongak untuk menatap Gibran yang sedang duduk bak boss besar di depannya. "Du-dua puluh- j-juta." Kata Thalia pada akhirnya dengan...