Ponsel Thalia berdering saat ia akan melangkah masuk ke apartemen Gibran. Thalia mengambil ponselnya lalu berjalan masuk kemudian ia mengangkat telpon tanpa melihat namanya.
"Halo?"
"Bagus Thalia, hutang kamu lunas. Saya cukup terkejut saat mengetahui uang yang dikirim melebihi jumlah hutang kamu. Tapi saya maklum, memang seharusnya kamu tau diri karena saya sudah baik sama kamu." Ucapan bu Rita membuat Thalia mengerutkan keningnya bingung. Siapa yang mengirim itu? Gibran? Dan, apa tadi? Lebih?
"Mm- memang uang yang sampe di ibu berapa bu?" Tanya Thalia menggigit bibir bawahnya. "Tiga puluh juta. Kamu ini gimana to? Orang kamu yang transfer kok ngga tau."
"Ya sudah, intinya hutang kamu lunas. Besok kalo mau pinjam lagi saya mau saja kalo kamu balikinnya lebih kaya gini." Ucap bu Rita enteng. Thalia meringis, lalu sambungan telpon mati setelahnya.
Thalia menghembuskan nafasnya pelan, ia berjalan menuju kamar Gibran.
Tok tok tok
"Gibran?" Panggil Thalia pelan. Ia meringis tak mendengar suara apapun dari kamar pemuda itu. "Apa Gibran udah tidur ya?" Tanyanya pada diri sendiri.
Cklek
"Apa?" Gibran membuka pintu kamarnya, Thalia mengerjap melihat Gibran lagi-lagi hanya mengenakan celananya. Gadis itu menggeleng, ia kembali menatap Gibran.
"Kamu- yang transfer uang ke bu Rita?" Tanya Thalia pelan, Gibran melipat tangannya. Ia menatap Thalia malas. Melihat tatapan Gibran, Thalia langsung tau jawabannya. "Mm, ya udah aku ke kamar aku dulu." Ucap Thalia dengan cepat karena gugup. Tapi, sebelum ia melangkah, gadis itu kembali berbalik menatap Gibran. "Makasih Gib!"
///
Esoknya, Thalia bangun pagi untuk memasak. Ia membuat oseng kangkung dan tempe dengan telur mata sapi untuk Gibran. Dengan rambut di cepol asal dan daster yang kemarin dibelikan Gibran, Thalia bergoyang kecil sambil bernyanyi mengikuti lagu dari ponselnya. Tangan kanannya sudah lumayan mendingan, jadi untuk memasak ia tak masalah.
Dan malam tadi, Thalia memang sengaja berganti dengan daster agar paginya bisa sekalian ia cuci.
Gibran yang baru saja mencuci wajahnya melangkah menuju dapur karena mendengar suara musik dangdut dan harum masakan. Langkah Gibran terhenti di depan dapur saat melihat Thalia sedang asik berjoget sambil memasak menggunakan dasternya. Ia menaikkan sebelah alisnya lalu melipat tangan memerhatikan kegiatan gadis itu.
Ah, dia benar-benar seksi menggunakan itu. Gibran langsung menggeleng saat pikirannya sampai kemana-mana.
Thalia berbalik untuk menuangkan masakannya ke mangkuk, ia langsung berhenti kaku melihat Gibran tengah menatapnya tanpa ekspresi menyandar kedinding dapur. Thalia mengerjap kaget, "Gi- ehem, pagi Gib," sapa Thalia canggung.
Ia menaruh pelan masakannya ke mangkuk. Menyadari musik dangdut masih mengalun, ia segera berbalik untuk mematikan musiknya. Gibran berjalan mendekat, lalu duduk di depan meja makan. Didepannya, piring dan segelas susu sudah tersaji. Thalia lalu mengambilkan nasi, lauk dan sayur untuk Gibran.
Gibran segera memakannya tanpa banyak bicara. Thalia berdiri gugup takut masakannya tak enak di lidah Gibran. Sedangkan Gibran mendongak, menatap Thalia heran. "Lo ngapain di situ?"
"Em? Nunggu kamu makan." Jawab Thalia bingung. Gibran meletakkan sendoknya sedikit keras, Thalia tersentak kecil menatap piring Gibran. Apa masakannya tak enak?

KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me (On Going)
Teen Fiction⛔Mengandung banyak kata kasar dan kekerasan⛔ "Berapa yang lo butuhin?" Thalia meremas tangannya gugup, tak berani mendongak untuk menatap Gibran yang sedang duduk bak boss besar di depannya. "Du-dua puluh- j-juta." Kata Thalia pada akhirnya dengan...