SATU

38 7 0
                                    

Thalia mengobrak-abrik tasnya saat menyadari ponselnya tak ada di saku rok ataupun bajunya. Gadis berkacamata bulat itu menghembuskan nafasnya pelan, lagi-lagi ia lupa membawa ponsel.

"Ya udahlah." Ucapnya enteng, membawa ponsel pun untuk apa. Tidak ada yang menarik dari benda itu untuk Thalia. Gadis itu kembali melanjutkan langkahnya. Beberapa langkah kemudian ia berhenti, menatap tiga orang yang saling tertawa keras dengan meluncurkan guyonan-guyonan mereka. Thalia tertegun, ah sial. Ia jadi tahu jika Gibran dan dua orang lainnya tadi malam adalah teman seangkatannya. Pantas saja Thalia sempat merasa tak asing mengingat-ingat wajah Gibran. Ditambah suara mereka yang kini meyakinkan Thalia bahwa tadi malam -memang mereka.

Jadi, Gibran itu adalah Gibran yang sering dibicarakan teman-temannya. Dulu dia tak mengenal Gibran, dan ia hanya mendengar namanya saja dari teman-teman yang membicarakan pemuda itu. Thalia hanya sibuk dengan buku dan perpustakaan. Jadi dia tak kenal anak yang tidak pernah satu kelas dengannya.

Thalia mengetuk dahinya pelan, ck bodoh. Thalia terlalu sering menunduk dan mengurung diri di perpustakaan, makanya teman satu angkatan saja dia tidak begitu hapal. Yang Thalia lakukan hanyalah belajar, kerja, belajar, kerja. Karena untuk masuk ke perguruan tinggi, ia harus pintar agar mendapat beasiswa. Setidaknya itu mengurangi bebannya agar tak bekerja mati-matian membayar uang kuliah. Akhirnya Thalia melanjutkan langkah menuju kelasnya.

"Thal, kas." Seorang gadis berambut kucir kuda dengan buku di tangannya menghampiri Thalia yang baru saja duduk. "Oh iya, ini." Thalia menyerahkan uang sepuluh ribu yang langsung dicatat gadis tadi, setelahnya pergi menagih yang lain.

Thalia meletakkan kepalanya di meja, menatap taman sekolah yang nampak dari jendela lantai dua kelasnya. Huft, puasa lagi.

///

"Pancasila."

"Pancasila."

"Satu-"

"Satu!"

"Ketuhanan Yang Maha Esa."

Thalia menatap lurus ke depan, mengikuti ucapan petugas upacara mengucapkan Pancasila. Pagi ini Thalia cukup bersyukur mendapat tempat yang cukup teduh, beruntung tubuhnya tinggi, jadi tersingkirlah dia kebelakang.

Thalia mengedarkan pandangannya setelah pengucapan Pancasila selesai. Melihat teman-temannya berbisik entah membicarakan apa, bergojek ria di belakang, bahkan ada yang duduk sambil mengipaskan topi. Thalia menggelengkan kepala, karena kelas dua belas, mereka jadi semena-mena. Para osis yang menjaga ketertiban cenderung takut untuk menertibkan kakak kelas mereka. Gadis itu kembali menghela nafas pelan, lalu menatap lurus ke depan fokus dengan upacara.

"Shh," Thalia memegangi perutnya yang tiba-tiba melilit nyeri, keringatnya langsung muncul di dahi. Ck, maagnya kambuh lagi, plis jangan pingsan, jangan pingsan!

Thalia meringis memegangi perutnya, orang-orang di sekelilingnya tak memperhatikan apa yang gadis itu lakukan. Lagi pula, apa menariknya memerhatikan gadis cupu dengan dandanan menjijikan dan kuno sepertinya?

"Please, jangan pingsan. Perut, bentar lagi selesai, habis itu aku kasih makan beneran. Please jangan pingsan." Thalia bergumam di sela kesakitan yang menderanya. Ia tak ingin menjadi perhatian.

Tapi cahaya matahari yang tiba-tiba menyengat, membuat Thalia semakin buruk, wajahnya sudah sangat pucat. Ditambah perutnya yang semakin tak bisa diajak kompromi.

Stay With Me (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang