Satu per satu pelayat yang tidak ikut ke pemakaman menghampiriku, menyalamiku memberiku kekuatan, semangat sekaligus selamat. Aku mengangguk, tersenyum lalu mengucapkan terimakasih.
Beberapa menit kemudian mbak Yuni menghampiriku, menyodorkan ponselnya dan memberitahuku. "Aziz ingin bicara,"
Aku mendongak lalu meraih ponselnya. Cukup lama aku berbicara dengannya. Aku takjub dengan bocah kecil itu yang begitu sabar, tegar dan kuat. Setelah memberitahuku bahwa dia baru bisa pulang esok hari, telepon ditutup. Aku melangkah menuju ke kamar dan duduk di kursi menghadap jendela. Aku perlu memulihkan pikiranku, mencerna semua yang telah terjadi hari ini. Karena semua ini diluar kendaliku, rencanaku, bayanganku.
Pagi ini, masih kuingat jelas di pikiranku aku berbicara dengan ibu, lalu aku terlibat kejadian yang menguras emosi dengan Chris. Hanya berselang satu jam kemudian aku mendapat berita bahwa ibu telah tiada lalu sekarang aku dan Chris tiba-tiba saja menikah. Sampai pada detik ini aku masih belum sepenuhnya mempercayai semuanya, sungguh.
He is a gooddamn planner, you're part of his plans. Kalimat itu tiba-tiba saja terlintas di kepala. Benarkah dia sudah merencanakan ini semua sejak awal seperti yang Lukas katakan? Apakah aku sudah masuk perangkapnya? Tidak, tidak mungkin. Lagi pula apa itu salah jika Chris membuat perencanaan dalam hidupnya? Sama sepertiku yang membuat perencanaan untuk hidupku. Itu tidak salah sama sekali. Semoga yang dikatakan Lukas tidak benar, seandainya pun benar, kuharap ini adalah yang terbaik dari yang maha kuasa. Karena seburuk apapun Chris sebelumnya, sejak hari ini, secara agama, dia adalah suamiku.
Suara dering ponsel membuyarkan lamunan, Hannah memanggil.
"Hann,"
"Diana," suara Hannah lirih di seberang sana diikuti suara Jimmy yang mengucapkan turut berduka cita dan lain sebagainya. Cukup lama aku berbicara dengan mereka, Hannah mengenang semua kebaikan ibu selama dia mengenalnya, menyemangatiku, memberitahuku betapa ibu sangat bangga padaku sebelum kemudian dia mengubah topik pembicaraan.
"Di, gue boleh tanya sesuatu?" tanyanya hati-hati.
Aku mengangguk. "Anything."
"Lo serius sama Chris? maksud gue selama ini lo nggak pernah cerita kalo kalian pacaran."
Kedua alisku berkerut penasaran. Kenapa Hannah tiba-iba bertanya seperti itu.
"Sejauh yang gue tahu, gue nggak pernah pacaran sama dia.."
"Diana, gue serius!" Suaranya terdengar sedikit merajuk. "Apa yang udah lo lakuin ke dia sampai dia berubah sejauh itu?"
"Gue nggak ngerti maksud lo Hann,"
Aku tidak sedang basa-basi. Aku memang tidak mengerti.
"Chris mualaf, lo nggak tahu?"
Deg. Aku tercekat. Jadi Hannah sudah tahu.
"Ya, gue tahu,"
Baru saja. Aku membatin.
"Lo yang maksa dia?"
Aku menggeleng. "Of course not!"
"Lo tahu kan kalau Chris kemarin pulang nemuin ayahnya di Amerika?" dia bertanya lagi, tidak habis-habis sudah seperti penyidik KPK.
Aku hanya tahu Chris pulang ke London jadi aku menggeleng lagi. "No,"
"Dia pulang ke Amerika nemuin ayahnya meminta izin untuk nikahin elo, Di..."
"Wait, what?!"
Aku kaget mendengarnya, tapi sekaligus lega. Entah bagaimana semua yang Hannah bicarakan barusan praktis mengurai keraguan yang mengungkung hatiku. Lukas salah mengenai Chris. Aku menyunggingkan senyum saat dari balik jendela, aku melihat Chris yang baru saja kembali dari pemakaman.
"Hann, gue harap kalian nggak pingsan mendengar ini," kataku dengan nada dramatis.
"Apa?"
"Gue sama Chris udah nikah. Hari ini."
"WHAT?!?!"
Klik. Aku langsung menutup sambungan telepon. Senyum di wajahku semakin melebar, tepat pada saat itu terdengar suara gagang pintu yang bergerak, lalu kepala Chris melongok dari balik pintu yang sedikit terbuka.
"Permission for speaking," katanya. Mengingatkanku pada permintaanku saat di perjalanan beberapa saat yang lalu yang melarangnya untuk bicara.
Aku mengubah posisi dudukku menghadap pintu.
"Permission granted!" jawabku dengan nada cool.
"May I come in?"
Aku mengangguk. Dia lalu masuk dan berjalan ke arahku namun berhenti sekitar dua meter di depanku. Melihat itu aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.
"There's no more seven feet rules," ucapku pelan.
Dia balas tersenyum lalu mendekat. Aku mendongak menatap wajahnya sementara dia menjatuhkan lututnya ke atas lantai sehingga dia bisa sejajar denganku. Lalu tangannya meraih tanganku dan digenggamnya erat-erat. Tanpa kuduga dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, cincin dua ratus lima puluh juta itu, lalu menyematkannya di jari manisku.
"I am sorry, please forgive me." Ucapnya pelan, hampir tanpa suara. Namun suaranya yang teramat lirih itu benar-benar menyihirku.
Mataku mulai berkaca-kaca menatap cincin itu di jari manisku. Apakah ini nyata?
"You bring this everywhere with you?"
"Yes. I always wish to have the right time to ask you."
"Ask me what?"
Kulihat Chris menarik napas lalu mengeluarkannya dengan pelan, menatap mataku dalam-dalam, menggenggam tanganku lebih erat sebelum berkata. "Lady Diana Ambrosse, will you do me the honour of becoming my wife?"
Aku tidak bisa lagi menahan air mata yang sedari tadi menggenang di kedua mataku, ya, ini nyata. Lalu, tanpa mempedulikan bajunya yang belepotan terkena tanah, aku melepaskan tanganku dari genggamannya dan memeluknya.
Yes, I will.
"Thank you," aku mendengar suaranya di bahuku. "Thank you for accepting me as your husband, Diana."
Aku semakin mempererat pelukanku. Jika Chris memang melibatkanku dalam rencananya, kuharap dia sedang merencanakan sesuatu yang indah bersamaku.
"I love you." Bisiknya kemudian.
I love you.
Tepat setelah itu, sayup-sayup kudengar suara bedug yang ditabuh lalu adzan magrib berkumandang tiga puluh detik kemudian.
Pada akhirnya, aku sampai pada titik dimana sekeras apapun aku memaksaan diri, Tuhan lebih mengetahui apa yang terbaik untukku. Sebaik apapun aku merencanakan, tetap Tuhan yang menentukan.
Aku tidak bisa memaksa takdir untuk memenuhi semua keegoisanku. Aku juga tidak bisa memilih takdir untuk memuaskan semua ambisiku, tapi aku bisa memilih bagaimana aku harus bereaksi dengan semua takdir yang telah ditetapkan padaku.
Kehilangan ayah lalu ibu adalah patah hati terberat dalam hidup. Dan dia, hari ini telah Tuhan takdirkan sebagai anugerah terbesar dalam hidupku. Bagaimana aku harus bereaksi dengan semua yang terjadi hari ini? Aku yang akan memilih.
But one thing for sure, reader, I married him!
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...