Bab 12. Dilamar

23.3K 1.2K 268
                                    

Bab ini mengandung adegan 21+

Dimohon dedek gemes di bawah umur skip adegan hot di akhir bab.

Sudah diperingatkan, ya. Kalau masih nekat baca, dosa ditanggung kalian sendiri.

Oke? Sip!

Happy reading!

*****

Hamparan padi menguning terbentang di hadapanku. Angin berembus semilir. Burung-burung berkicau di sekitar pematang sawah. Matahari bersinar teduh ditemani awan-awan putih bergelayut di langit.

Seharusnya, semua elemen alam ini bisa menentramkan hati.

Tapi nyatanya, hatiku tidak secerah dan seteduh pagi ini. Hatiku masih meradang menyimpan rekaman setiap adegan Tony bersetubuh dengan Salma. Rasanya perih seperti tertusuk duri mawar yang setiap pagi kupotongi batangnya untuk dijadikan bunga hias dalam vas ruang tamu. Meski begitu, hatiku tetap merindukan pria berengsek itu. Tak peduli berapa kali pun disakiti, tetap saja aku mencintainya. Tak peduli seperih apa pun luka yang dia torehkan, aku tetap sulit membencinya.

Bodoh sekali. Logikaku mengutuki kebodohanku. Tapi, hatiku mendukung dan memujanya sebagai sisi manusiawi. Entahlah. Aku bingung.

Aku menghela napas, mengenyahkan kegundahan hati. Kedua tanganku kembali mengayun-ayun tali yang terhubung dengan orang-orangan sawah untuk mengusir burung-burung hama.

"Heh." Ajeng yang sedang duduk di sebelahku menyenggol bahuku. "Kenapa dari tadi murung terus, sih?"

Aku menoleh, memberinya tatapan lesu. "Nggak apa-apa. Lagi nggak semangat aja."

Ajeng mencebik, kedua tangannya juga sama sepertiku, mengayun tali orang-orangan sawah. "Dasar sombong. Mentang-mentang sekarang kerja di mansion mewah, jadi nggak semangat disuruh ngusir burung di sawah."

Bibirku memaksa tersenyum. "Aku malah seneng bisa nemeni kamu di sini,Jeng. Aku cuma lagi nggak semangat aja."

"Kenapa sih? Cerita dong." Gadis berambut panjang dikepang ini sedang mengenakan kemeja lengan pendek motif bunga-bunga cokelat disambung rok lipit selutut warna biru muda. "Jangan-jangan kamu lagi marahan sama ibumu, ya?"

Aku menggeleng. "Nggak." Tatapanku kembali tertuju pada hamparan sawah. "Cuma lagi ada masalah sama orang."

"Siapa? Siapa?" Ajeng antusias menanggapi jawabanku. "Kamu udah punya pacar, ya?"

Aku menggeleng lagi sambil tersenyum masam. "Andaikan dia bisa jadi pacarku. Tapi sayangnya nggak bisa."

Ajeng semakin antusias menanggapi jawabanku yang misterius. Mungkin sekarang jiwa keponya sedang meronta-ronta. "Kenapa dia nggak bisa jadi pacarmu? Apa dia udah punya pacar?"

Lebih dari itu.

"Atau malah ... udah punya istri?"

Ya, tebakanmu benar, Jeng.

Ingin kujawab seperti itu. Tapi tidak mungkin. Meskipun Ajeng sahabatku. Tapi mulutnya lumayan ember. Aku tidak mau gosip soal hubunganku dengan Tony tersebar luas ke seluruh penduduk desa. Bisa jantungan ibuku nanti.

"Nggak. Udah, ah. Nggak penting." Aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan. "Kamu sama Roni gimana? Dia baru lulus dari IPDN, kan?"

Ajeng mengangguk dengan wajah malu-malu. "Dia mau melamarku bulan depan."

Ningsih, Wanita SimpananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang