Bab 6. Saputangan Kenangan

26K 1.3K 108
                                    

"Tugasmu di sini cuma merawatku. Untuk bersih-bersih, ada dua pembantu harian yang datang setiap hari. Gajimu saat ini dua juta setengah. Aku tambahi lima ratus ribu." Ibunya Tony memekarkan kelima jarinya di hadapanku. "Kalau bulan depan kamu masih betah merawatku, akan kutambah lagi gajimu jadi tiga juta."

Aku mengangguk menanggapi penjelasan Nyonya majikan baruku.

Tapi kemudian, kulihat Salma sedang berbisik pada Tony sambil melirikku, seperti keberatan Ibu mertuanya memberiku gaji sebesar itu. Tony diam menanggapi bisikan isterinya. Dia hanya menatapku dengan raut wajah waspada.

"Gimana, Cah Ayu? Kamu setuju dengan gaji segitu?"

Aku yang sejak tadi sedang memangku Alfi menganggukkan kepala menanggapi pertanyaan itu. "Iya, Bu. Digaji dua juta saja saya sudah senang."

Ibunya Tony yang sedang duduk di sebelahku melebarkan senyuman di bibir merahnya. "Aku senang dapat rewang yang nerimo seperti kamu. Bulan depan, kalau kamu masih betah menemaniku di sini, akan kutambah lagi gajimu."

Aku mengangguk lagi, lalu membalas perkataannya memakai bahasa Jawa. "Nggih, Bu. Maturnuwun."

"Aku yakin, kamu anak yang baik, Cah Ayu. Itu buktinya." Ibunya Tony menunjuk pada anak laki-laki dalam pangkuanku. "Baru ketemu sekali, Alfi sudah langsung lengket sama kamu."

Aku tersenyum, lalu menundukkan kepala pada anak laki-laki berponi batok kelapa ini. "Sepertinya dia mulai mengantuk, Bu." Kulihat kepalanya sudah bergoyang ke kiri ke kanan menahan kantuk.

"Sini, Mbak. Biar aku gendong." Salma berdiri dari sofa seberang untuk mengambil anaknya dari pangkuanku.

Tapi ketika tubuhnya diangkat, Alfi menangis keras dan meronta dalam gendongan Mamanya. "Itut, Bak!"

Dia merengek ingin ikut aku lagi. Tapi sebelum aku sempat meminta Alfi lagi, Salma sudah membawanya pergi menjauh. "Udah, yuk. Bobok sama Mama di kamar, sambil nonton film kartun. Alfi mau nonton apa?" Wanita bertubuh langsing yang dibalut setelan piyama kekinian itu membawa Alfi memasuki kamar dan menutup pintu.

"Selanjutnya, Ning." Nyonya majikan mengalihkan perhatianku dari pintu kamar. "Tony akan memberitahumu obat mana saja yang harus aku minum setiap hari."

Aku mengangguk menanggapi pemberitahuan itu. "Nggih, Bu."

"Ton ..." Nyonya majikan menoleh pada putranya yang masih duduk di sofa seberang. "Kamu tunjukkan obatnya ke Ningsih."

Tony mengangguk. "Iya, Mam." Kemudian dia memberiku isyarat agar mengikutinya.

Aku berdiri dari sofa dan berjalan di belakang Tony. Dia membawaku ke dapur, lalu berhenti di meja makan yang terbuat dari pualam. Kenangan saat memasak di dapur ini bersamanya berkelebat begitu saja dalam benakku. Ada rasa rindu menyeruak dari hatiku. Kalau boleh jujur, aku sangat merindukan pria di hadapanku ini. Tapi aku tidak mampu berbuat apapun. Sudah pasti karena rasa rinduku ini terlarang. Aku hanya bisa memendam, tanpa mampu mengungkapkannya.

"Obat yang harus diminum Mami ada lima macam."

Suara Tony membuyarkan lamunanku. "I-- iya, Mas. Apa saja itu? Bisa tolong jelaskan padaku?"

Tony membuka tas karton seukuran buku tulis berisi obat-obatan. "Yang ini obat darah tinggi, diminum sehari sekali sesudah makan." Dia menunjukkan pil warna merah. "Ini untuk asam urat, diminum tiga kali sesudah makan" Dia ganti menunjukkan kapsul warna biru. "Yang cokelat ini vitamin, diminum sehari sekali sebelum makan. Dan yang pil kuning ini diminum kalau Mami nggak bisa tidur. Tapi beliau selalu nggak bisa tidur, jadi kamu harus meminumkan obat ini setiap malam, sebelum Mami tidur."

Ningsih, Wanita SimpananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang