"Ton, jaga mulutmu. Nanti kalau Ningsih dengar gimana? Lagipula, memangnya kenapa kalau dia pembantu? Selama dia baik, jujur, cantik dan pinter masak ya nggak masalah, kan?"
"Ning!" Nyonya majikan berseru memanggil namaku, mungkin untuk memastikan aku tidak mendengar percakapan mereka. "Mana Hpku?"
Aku meremas ponsel Nyonya Zulfa untuk mengusir perih yang masih menusuk hatiku. Aku tidak boleh menunjukkan sakit hatiku pada mereka. Aku harus bisa bersikap profesional dalam bekerja di rumah ini. Aku harus kuat.
Agar tidak menimbulkan kecurigaan --bahwa aku sudah menguping-- kuputuskan untuk berjalan ke ruang tamu dan mengambil vas bunga, lalu menuju ruang TV. "Maaf, Bu. Saya tadi masih mengambil ini, mau saya ganti airnya, biar bunganya nggak layu," kataku beralasan, lalu duduk bersimpuh di hadapan Nyonya majikan sambil mengulurkan Hp.
"Makasih ya, Ning." Majikanku menerima Hpnya dari tanganku.
Aku berdiri dan berjalan ke dapur untuk mengganti air vas.
"Aduh." Saat mengeluarkan bunga-bunga mawar, tanganku tertusuk duri yang luput kupotong.
Aku menyesap ujung jariku yang berdarah. Tanpa diperintah, ingatanku tertuju pada Tony yang memasukkan jempolnya ke mulutku lalu aku mengulumnya seperti seorang pelacur murahan dalam kamar bar di lantai atas.
Aku memejam, mengusir ingatan bodoh itu.
Tony tidak salah. Dia benar. Aku memang rendah, bersedia dicium dan diperlakukan layaknya perempuan tanpa harga diri. Padahal dia sudah punya istri yang merupakan seorang wanita berderajat sosial tinggi. Sedangkan aku hanya seorang pembantu. Tidak heran kalau dia memandangku rendah dan menganggapku tidak pantas bersanding dengan Surya.
Tapi ... tetap saja, hatiku sakit.
Sudah kucurahkan segenap perasaanku padanya. Tapi sebagai balasannya, pria yang kucintai malah merendahkanku di hadapan ibunya. Sakit sekali. Rasanya lebih sakit dari tertusuk duri mawar ini.
Aku duduk berjongkok, menahan isak tangis dan meremas jariku yang terluka. Perihnya menjalar sampai ke hatiku.
*****
Sejak Tony menganggapku rendah, aku tidak lagi mau melirik atau mencuri pandang padanya. Tidak sudi.
Aku masih sakit hati dikatai seperti itu. Yaa ... meskipun dia benar, aku perempuan rendah dan murahan.
Tapi aku merasa tidak seharusnya dia berkata seperti itu pada Ibunya. Meskipun sekarang jadi pembantu, toh aku dulu anak pak Kades. Aku juga bukan maling atau pekerja seksual yang bisa direndahkan seperti itu. Tapi dia malah tega mengolokkanku tidak sekelas dengan keluarga mereka, seolah aku ini penyakit mematikan yang harus dijauhi.
Aku menghela napas untuk kesekian kali. Tony selalu berhasil mengacaukan hatiku. Satu waktu, dia membuatku terbang tingggi sampai ke awan. Di lain waktu, dia menjatuhkanku ke jurang penuh duri-duri tajam. Meski begitu, tetap saja aku tidak bisa berhenti mencintainya.
"Ning ..."
Sapaan Surya membuyarkan lamunanku tentang Tony.
Aku tertawa sinis dalam hati. Bahkan saat bersama pemuda lain pun, yang kupikirkan tetap saja pria berengsek itu. Lucu.
"Ya?" Aku menoleh pada Surya, memaksakan sebuah senyuman.
"Ada apa? Sejak tadi kamu murung." Wajah rupawan itu memberiku tatapan cemas. "Apa kamu nggak suka tempat ini? Atau menu makannya nggak enak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ningsih, Wanita Simpanan
RomanceBacaan dewasa untuk usia 21+ Pembaca di bawah umur mohon jangan menyentuh lapak ini. ***** Tony menikahi Salma. Mereka tinggal di Surabaya. Ketika menjenguk Ibunya yang sedang sakit dan kurawat di Mansion Kediri, kami selalu bertemu. Awalnya hubunga...