Tiga tahun berlalu sejak Bapak meninggal.
Kami menjalani keseharian dengan sangat berat. Gaji dan tunjangan Bapak sebagai Kepala Desa yang semula mampu mencukupi kebutuhan kami, kini tidak ada sama sekali, berganti gaji pensiunan Bapak senilai 2.779.000 dipotong biaya admin dan tabungan, jadi tersisa 2.500.000.
Semasa Bapak masih hidup, biaya per bulan kami bisa mencapai lima juta rupiah, di luar biaya kuliahku. Kalau ditambah dengan biaya kuliah dan jatah bulananku di Surabaya (untuk makan sehari-hari, naik angkot, bayar kos, bayar uang semester, beli buku literatur, dan sebagainya) bisa mencapai delapan sampai sepuluh juta per bulan.
Sekarang, dengan gaji pensiunan Bapak dan sisa uang hasil penjualan tanah, kami hanya menerima maksimal tiga juta per bulan. Sebab uang penjualan tanah sudah kami pakai untuk melunasi hutang, membeli sepeda motor, dan menggelar acara selamatan Bapak sampai tujuh harinya. Uang itu hanya tersisa 100 juta.
Aku memutuskan untuk berhenti kuliah. Dengan pemasukan sangat terbatas, dan kondisi Ibu yang kesusahan, aku tidak mungkin melanjutkan kuliah. Aku lebih memilih membantu Ibu mencari uang.
Tahun pertama setelah kematian Bapak, saudara sepupuku dipinang oleh seorang pegawai pajak kaya raya. Saudara sepupuku bernama Lastri itu dulu gendut, jelek, hitam, jauh dari kata cantik. Tapi setelah bekerja di Korea, dia berubah jadi sangat cantik. Kulitnya putih mulus, rambutnya halus lurus, wajahnya glowing, dan tubuhnya langsing. Aku, Ibu dan warga Desa Kanyoran terkejut melihat perubahan drastis itu. Tidak heran jika dia berhasil menggaet pegawai pajak yang tampan dan kaya raya.
Sejak saat itu, Ibu yang merasa tidak mau kalah dengan budeku menyuruhku mencari pekerjaan ke luar negeri. Tapi, tentu saja, langsung kutolak. Kalau aku bekerja di luar negeri, siapa yang akan menemani Ibu di rumah?
Tidak bisa kubayangkan, saat Ibu sakit, tidak ada aku di sisinya. Bagaimana kalau beliau menderita lalu meninggal? Aku tidak mau jadi sebatang kara yang tidak punya siapa-siapa lagi. Aku sudah kehilangan Kakak dan Bapakku. Aku tidak mau kehilangan Ibu juga.
Mendengar alasanku tidak mau bekerja di luar negeri, Ibu menyuruhku memakai uang sisa hasil penjualan tanah untuk biaya perawatan di klinik kecantikan. Beliau tidak ingin aku dipandang kasihan oleh warga desa karena sudah ditinggal Bapak mati, ditambah lagi kalah dari Lastri. Sejak sepupuku itu pulang ke desa Kanyoran, status bunga desa yang dulu kusandang kini jadi beralih padanya. Ibu tidak suka itu. Harga dirinya terluka. Apalagi aku dan Lastri memang berbeda jauh dari segi fisik. Aku cantik alami dari sejak lahir. Sedangkan Lastri cantik berkat perawatan. Bahkan ada yang menggosipkan dia melakukan operasi plastik di Korea. Mungkin saja. Sebab, Korea adalah surganya kecantikan terutama dalam hal operasi plastik.
"Ayo, Nduk. Kamu juga jangan mau kalah sama Lastri. Perawatan sana di klinik kecantikan yang aman, biar Lastri nggak bisa mengalahkanmu." Ibu menggebu-gebu memberiku semangat.
Ibuku yang kalem itu entah mengapa jadi sensitif setelah melihat perubahan Lastri. Mungkin karena setelah Bapak meninggal, kehidupan kami jadi serba sulit dan banyak dipandang rendah oleh warga desa. Dari yang semula terpandang, kini jadi terendahkan. Harga diri Ibu jelas sangat terluka.
Dengan berbekal ucapan Ibu, aku menjalani infus vitamin C di klinik kecantikan di kota seminggu sekali. Sejak saat itu, warna kecokelatan kulitku berangsur-angsur berubah putih. Tidak hanya itu, kulitku juga jadi halus dan mulus bak kulit para selebgram.
Lalu, suatu ketika saat aku mendatangi klinik untuk yang kesekian kalinya, aku bertemu dengan Heni, temanku satu SMA. Kami berbincang lama di lobi klinik, bercerita tentang kisah hidup masing-masing setelah lulus SMA.
Aku bercerita bahwa kehidupanku sekarang sedang hancur berantakan paska ditinggal Bapak. Dan dia bercerita, sekarang bekerja sebagai apoteker di salah satu apotek terbesar di Kediri. Mendengar kisah hidupku yang mengenaskan, dia mengajakku bekerjasama menjual krim kecantikan racikannya. Bahkan katanya, klinik tempat aku menjalani perawatan kulit ini juga mengambil krim racikan darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ningsih, Wanita Simpanan
RomansaBacaan dewasa untuk usia 21+ Pembaca di bawah umur mohon jangan menyentuh lapak ini. ***** Tony menikahi Salma. Mereka tinggal di Surabaya. Ketika menjenguk Ibunya yang sedang sakit dan kurawat di Mansion Kediri, kami selalu bertemu. Awalnya hubunga...